Peta Garam yang Hilang, Kapan Ditemukan?
KEMPALAN: Garam, ternyata tidak sekadar asin tapi juga “licin”. Tidak mengherankan kalau akhirnya di 2017 menjadikan direkturnya terpeleset atas dugaan penyalahgunaan izin impor. Garam yang seharusnya sederhana mulai dari produksi distribusi sampai konsumsi, ternyata dari waktu ke waktu malah menjadi meriah keberadaannya.
Dengan pembenaran bahwa kita masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri, terutama untuk garam industri, akhirnya di 2020 impor garam tembus 2,6 juta ton. Sesuai hitung-hitungan mereka yang ahli geografi, Indonesia kita memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km yang berarti kita sebenarnya bisa menjadi penguasa garam.
Pakar garam cukup banyak, petani garam lebih banyak lagi, namun sepertinya swasembada garam baru sebatas mimpi. Sejatinya 2015 sudah pernah dibuat peta jalan menuju swasembada garam nasional dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi.
Mungkin peta tersebut “hilang” terselip entah dimana, yang mengakibatkan sampai sekarang kita masih babak belur terkait pengadaan garam. Peta Jalan Swasembada Garam dengan target mulia 2015 terbebas dari garam impor, ternyata sampai sekarang kita masih kebanjiran garam impor. Saatnya para “pendekar” garam negeri ini berusaha keras menemukan kembali peta yang hilang tersebut.
Keputusan sudah dibuat, di tingkat Menko sudah disepakati bahwa pemerintah akan kembali impor garam tahun 2021 ini. Pelaksanaannya tinggal menunggu data kebutuhan dan kekurangan pasokan. Dalam beberapa kesempatan disampaikan bahwa produksi garam nasional masih rendah.
Kebutuhan garam nasional mencapai 4 juta ton per tahun namun kemampuan produksi baru setengahnya. Impor garam tentunya menjadi solusi alternatif termudah yang dapat dilakukan disamping tentu saja tetap mengkreasi beberapa terobosan, seperti pembenahan supply chain dari hulu sampai hilir.
Impor garam, tentu saja yang paling berteriak adalah petani garam. Tanpa impor garam saja, petani garam sebenarnya sudah dalam posisi kembang kempis. Produksi sangat tergantung cuaca, harga tidak kunjung membaik (baca: naik).
Ini adalah situasi-situasi yang kurang bersahabat bagi petani garam. Sering ada pemahaman; kalau memilih jadi penyanyi janganlah menjadi penyanyi seriosa, dan kalau memilih jadi petani janganlah menjadi petani garam. Penjelasannya sederhana, kalau orientasinya ekonomi, menjadi penyanyi dangdut/pop/rock tentu lebih menjual dibanding penyanyi seriosa.
Demikian pula petani, memilih untuk menjadi petani garam berarti harus siap dengan beberapa benturan. Dari sisi elastisitas permintaan atau kepekaan harga barang terhadap perubahan jumlah barang yang diminta, bertani garam lebih beresiko dibanding bertani padi dan palawija.
Padi – palawija memiliki elastisitas permintaan yang elastis, sementara garam dapat dikatakan memiliki elastisitas permintaan yang in-elastis sempurna. Perubahan harga padi – palawija berimbas pada perubahan jumlah barang yang diminta secara proporsional. Garam tidak demikian, in-elastis sempurna.
Artinya, berapapun perubahan harga garam yang terjadi, baik itu harga naik atau turun, tidak akan mengakibatkan perubahan jumlah garam yang diminta. Sederhana-nya, sekalipun harga garam turun cukup banyak, hal ini tidak akan membuat masyarakat beramai-ramai beli garam dalam jumlah banyak untuk kemudian disimpan sebagai cadangan dirumah.
Pun demikian sebaliknya jika harga garam mengalami kenaikan cukup besar, tidak akan membuat masyarakat mengurangi konsumsinya garamnya. Sifat ini tentu berbeda dengan elastisitas atas barang-barang lain seperti emas misalnya. Mengapa demikian? Ya karena memang seperti itulah elastisitas dari garam. Mencermati situasi yang demikian, tentu saja petani garam akan selalu berada dalam posisi yang tidak mudah.
Berbudi daya garam, berproduksi garam yang memiliki elastisitas permintaan in-elastis sempurna, ketika harga naik petani garam dapat dikatakan tidak menikmati efek dari kenaikan harga tersebut, sebab jumlah garam yang diminta tidak mengalami kenaikan.
Sementara kalau harga garam turun, dapat dipastikan petani garam adalah kelompok pertama yang mengalami imbas atas penurunan harga tersebut. Dalam tataran teori, inilah sisi lain yang jarang disadari bahwa menjadi petani garam lebih berat dari petani padi – palawija.
Wajarlah jika akhirnya petani garam lebih babak belur dibanding petani padi – palawija pada saat pemerintah memutuskan impor garam dan beras. Butuh restu semua pihak, semoga peta jalan swasembada garam yang “hilang” segera ditemukan, dan kita bisa menikmati kemandirian garam ini. Semoga. (Bambang Budiarto–Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya)
