Lebih Sulit Membangun Benci Dibanding Membangun Cinta

waktu baca 3 menit

KEMPALAN: Selalu akan ada yang menarik ketika seorang pemimpin bangsa menyampaikan pesannya. Demikian pula yang teradi pada Kamis, 4/3/2021 saat Presiden Jokowi memberikan pengarahan pada Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan.

Presiden berharap pengusaha mal maupun pusat perbelanjaan memberikan ruang paling strategis bagi produk pelaku UMKM. Menghimbau untuk cinta produk dalam negeri. Jangan sampai ruang depan sebagai lokasi strategis justru diisi oleh brand luar negeri. Harus mulai digeser, produk dengan brand luar negeri digeser ketempat tidak strategis, lokasi yang baik diberikan kepada produk dengan brand lokal.

Penduduk Indonesia yang lebih dari 270 juta jiwa adalah pasar yang besar, untuk itu harus cinta barang dalam negeri dan benci produk dari luar negeri, sehingga masyarakat menjadi konsumen yang betul-betul loyal.

Demikian kira-kira garis besar harapan presiden, dan jika dicermati lebih jauh pesan yang demikian sebenarnya  bukan yang pertama kali ada dan beberapa pihak juga sudah pernah menyampaikannya. Yang baru dan patut untuk dipikirkan lebih adalah ajakan dari presiden untuk meng-gaung-kan benci produk luar negeri.

Release terbaru di Januari 2021 untuk nilai impor menurut penggunaan barang, total terdapat sebanyak US$ 13,34 miliar. Dari jumlah tersebut sebesar US$ 9,93 miliar adalah bahan baku/penolong (74,39%), dan barang modal sebesar US$ 1,99 miliar (14,93%), sedang yang 10,68% adalah konsumsi yang besarnya US$ 1,42 miliar.

Selanjutnya berdasarkan urutan besaran jumlah barang impor yang membanjiri republik ini berturut-turut adalah: mesin dan peralatan mekanis, mesin dan perlengkapan elektrik, plastik dan barang dari plastik, besi dan baja, kendaraan dan bagiannya, bahan kimia organik, berbagai produk kimia, produk farmasi, gula dan kembang gula, serealia.

Demikianlah fakta konsumsi kita terhadap produk luar negeri dan harapan presiden untuk cinta produk dalam negeri dan benci produk luar negeri. Cinta, mungkin pelan-pelan dapat dilakukan tapi untuk benci sepertinya menjadi sebuah kesulitan tersendiri.

Cinta dapat dibangun dengan ketika kita merasa membutuhkan barang tersebut, melihat kualitas barang tersebut, memahami harga barang tersebut. Jika itu sudah terjadi harapan selanjutnya adalah membabi buta cinta mati dan loyal terhadap barang tersebut, produk-produk dalam negeri.

Tapi benci, tidak mungkin terjadi begitu saja. Benci memerlukan sebab-sebab yang memang membuat kita luka hati dan sakit hati. Jika selama ini baik-baik saja dan tidak ada masalah sudah barang tentu sangat tidak mudah membangun benci.

Pendek kata, membangun benci sejatinya jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun cinta. Oleh karenanya ketika ada ajakan presiden untuk meng-gaung-kan benci terhadap produk luar negeri, tentu ini tidak mudah. Pemahaman berikutnya, ketika sudah cinta terhadap produk dalam negeri dan benci terhadap produk luar negeri, sejatinya juga belum tentu akan diikuti oleh pergeseran konsumsi, dari produk dalam negeri ke produk luar negeri.

Membolak-balik sebentar konsep dasar perilaku konsumen, secara sederhana diketahaui terdapat yang rasional dan irrasional. Perilaku konsumen rasional tentu saja adalah  konsumen yang akan memilih barang sesuai kebutuhan, barang yang dipilih memiliki kegunaan optimal, dipilih karena kualitas terjamin, dan tentu saja harganya sesuai dengan kemampuan. Sementara untuk yang irrasional dicirikan dengan konsumen yang cepat tertarik karena promosi, konsumen memilih barang karena ber-merk, dan memilih barang bukan karena kebutuhan tapi karena prestise.

Mencermati pemahaman yang demikian sesungguhnya kalau mau jujur perjalanan untuk sampai pada tujuan terjadinya pergeseran konsumsi dari produk-produk luar negeri ke produk-produk dalam negeri sejatinya masihlah jauh. Tapi apapun perlu untuk dicoba dan dilakukan.

Meng-gaung-kan cinta produk dalam negeri dan benci produk luar negeri. Sekali lagi ini adalah sebuah perjalanan yang masih sangat jauh untuk sampai pada pergeseran konsumsi, dari produk luar negeri ke produk dalam negeri. Belum lagi dukungan pemahaman bahwa membangun benci lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun cinta. Salam. (Bambang Budiarto–Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya)                 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *