Pengakuan Sumiati

waktu baca 8 menit
Dia dengan lantang teriak-teriak ketika Francois Miterrand Presiden Perancis datang di kampus ITB tahun 1986 lalu.

KEMPALAN: *  Dua tahun kemudian*-

Pembangunan tempat wisata sudah akan dimulai. Izin ke kelurahan, kecamatan dan kabupaten sudah beres. Sindhu sudah melakukan banyak pekerjaan rumit mengurus perijinan. Dia mulai optimis apa yang dia pikirkan akan bisa terwujud.

Tapi pada suatu hari terjadi demo di depan kelurahan Cokro .

‘Kami tidak mau kehilangan sumber rezeki’ isi salah satu spanduk.

‘Ingat bapak simbokmu dulu cari pasir di situ!’

Dan ada yang oorasi menggunakan speaker.

“Keaslian alam jangan diganggu. Jangan komersilkan tempat rekreasi. Pemilik modal dapat untung, kami rakyat kecil buntung.”

“Jangan biarkan fasilitas umum diambil oleh swasta! Enyahkan China dari bumi Cokro”

Sindhu heran selama ini usahanya mengurus ijin lancar -lancar saja. Kalau pun ada kerumitan memang melibatkan beberapa dinas di kabupaten. Tapi bukan penentangan dari warga. Kini beberapa warga yang dia kenal yang selama ini diam-diam saja tiba-tiba ada dalam rombongan demo itu.

Sindhu jadi nyiut juga nyalinya. Padahal beberapa tahun lalu dia pernah sekali waktu dengan gagah berani ikut demo di kampus. Dia dengan lantang teriak-teriak ketika Francois Miterrand Presiden Perancis datang di kampus ITB tahun 1986 lalu.

“Pergilah kapir Perancis”! teriaknya bersama-sama mahasiswa lain di depan pintu gerbang masuk kampus Ganesha. Dia saat itu juga tidak tahu benar apa yag dia perjuangkan. Pokoknya sudah tradisi di kampus kalau ada pejabat datang harus diprotes. Termasuk tamu asing pun juga didemo. Yang dia tahu Perancis masuk anggota IGGI yang memberi pinjaman pada Indonesia. Hutang luar negeri yang menjadi andalan pemerintah Orba sering dikritik mahasiswa.

Sindhu kini jadi pihak yang didemo. Demonya lebih nyata, dari masyarakat sekitar. Isunya pun jelas persoalan yang tiap hari mereka lihat, Umbul Ingas. Ia pucat melihat demo yang begitu bersemangat apalagi disinggung-singgung kata-kata China. Ini bisa bahaya. Isu itu sangat sensitif di masyarakat.

Sindhu mengakui bahwa usahanya akan dimodali papa Shanghai. Tapi tidak ada yang salah. Semua lewat prosedur yang benar. Bahkan dia sudah berpikir nanti masyarakat akan ikut menikmati keuntungan dengan usaha rekreasi ini. Mereka bisa terlibat membuka warung di sekitar telaga besar di sekitar Umbul Ingas. Penduduk bisa menyewakan tempat parkir. Banyak hal akan mengikuti tempat wisata itu sebagai fasilitas pendukung.

“Dipo di belakang semua ini”, kata pakliknya Sindhu yang ikut mendampingi Sindhu. Pak Sodik yang lama malang melintang di dunia preman dan sering terlibat sebagai kader dalam pemilihan kepala desa sangat ditakuti.

“Lho?”

“iya. Pegang kepalanya, semua akan diam,” tegas paklik Sindhu.

Sindhu mengatakan pada Pak lurah, perwakilan pendemo suruh masuk.

Ada Dono dan Tejo. Mereka masuk ke ruang kelurahan. Sindhu didampingi Pakliknya.

“Dapat berapa dai Dipo?”

“Kok tahu sampeyan mas?”

“Ah gampang mendeteksi siap adi bali ini semua.” Sindhu sok yakin Padahal dia cuma dikasih tahu pakliknya.

“Saya jamin sampeyan nanti jadi pengelola parkir.”

“Bener ya?”

“Saya nggak suka bohong!” tegas Sindhu.

Maka Dono dan Tejo keluar ruang dengan wajah sumringah..

“bubar-bubar…!” seru Dono dari pengeras suara.

“Bener saja. Warga yang dapat uang amplop itu pulang. Mereka Cuma dikompori oleh Dono dan Tejo, pentolan preman yang sudah lama malang melintang. Keduanya pernah dicari-cari Kodim sewaktu operasi Petrus (penembakan misterius beberapa tahu lalu). Tejo lari ke Lampung, Dono pergi ke Kalimantan. Setelah Operasi Petrus dihentikan karena dikritik beberapa lembaga sebagai pelanggaran hak asasi, maka keduanya pulang kampung.

Tejo dikenal punya ajian belut. Dia licin seperti belut . Mencuri sudah jadi kebiasaan sejak masih SD. Beberapa kali mencuri tapi lolos nggak pernah ketangkap. Tapi anehnya dia takut juga ketika mendengar para preman akan ditembak mati oleh  tentara atau polisi setempat.  Dono juga begitu, maling yang nggak pernah kapok. Suatu saat ketangkap dan digebuki penduduk, tubuhnya berlumurah darah. Orang sudah menganggap dia pasti akan mati. Diserahkan dia ke polisi. Tapi di tengok simboknya lalu lukanya dilap pakai ujung jarik simboknya, langsung bregas lagi. Tapi Dono sangat takut sama pakliknya Sidhu, Paklik Sodik. Makanya ketika Sindhu mengajaknya negosiasi ditunggui pakliknya, Dono sudah langsung takluk.

Keduanya memang dapat uang dari Dipo untuk mengorganisir demo. Dipo nggak mau Sumi dan Sindhu memulai usaha di daerah Cokro yang akan berpotensi maju. Dipo tidak punya rencana lain, selain dendam saja. Uang itu sebagian diberikan kepada  warga yang mau demo. Sisanya untuk mereka berdua.

“Wedhus !! ternyata kita cuma dimanfaatkan Tejo sama Dono”, ucap salah seorang di warung soto Lik Marto

“Lah piye to?”

“Begitu mereka dapat hak mengelola parkir, demo suruh bubar. Rak asu to?”

“Lha kalian kenapa mau diajak demo nggak jelas,”  sahut yang lain yang nggak mau ikut-ikutan demo.

“lha dikira memperjuangkan nasib kita.”

“Nasib opo? Yo kowe tetap wae dodolan nyang pasar “ kata yang lain lagi.

“Kalau aku justru seneng mas Sindhu karo mbak Sumi bikin usaha. Kalau ramai kita ikut untung. Bisa buka warung, bisa menyewakan ban atau jualan es.”

“Iyo bener-bener. Tejo karo Dono kan dari dulu memang preman. Begitu kok dipercaya”, yang lain menambah.

*

“Jadi gimana tambahan uang jasanya?” tagih Dono ke Dipo sambil mengisap rokoknya.

“Ah demo gagal kok minta bayar.”

“oh dasar pengecut!” Tejo menimpali.

“Kowe pengecut, tiba-tiba sepakat sama yang didemo.” Suara Dipo meninggi.

“Awas ya.!” ancam Tejo

“Wah siapa takut?!” Dipo menggertak.

Lalu terjadilah baku hantam di pinggir jalan dekat kelurahan. Dipo sempoyongan dipukuli Dono dan Tejo dengan kepalan tangannya yang mengenai muka dan perutnya. Dia melawan dengan menggunakan kayu yang dia ambil dari pojokkan rumah di dekat kelurahan. Kayunya diayunkan kiri kanan dengan kekuatan penuh. Dono dan Tejo kewalahan. Pukulan kayu Dipo sempat mengenai Tejo tepat di punggungnya. Tejo tambah emosi. Dono pun mencari batang kayu seukuran satu meter untuk mengimbangi serangan Dipo. Makin ramai. Akhirnya Dipo kepukul bagian perutnya lalu terjatuh. Beberapa kali pukulan tambahan dengan kayu dan diinjak oleh Tejo membuat Dipo terkapar tidak berdaya. Dia diselamatkan penduduk yang masih merasa kasihan karena dulu Pak Jarwo dan Bu Jarwo termasuk orang baik. Dipo dilarikan ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan pertolongan.

**

“Piye mau mas?” tanya Sumi ke suaminya

“Ya demo. Takut juga aku. Untung ada Paklik Shodik. Dipo di belakang ini semua.”

Sumi langsung emosi mendengar nama Dipo yang tidak habis menyiksa batinnya dari dulu.

“Ia bukan manusia. Bisanya cuma bikin susah”, kata Sumi sambil menyusui bayinya yang masih berumur 6 bulan.

“Ya memang pasti segala rencana besar ada halangan. Kadang halangan justru dari orang dekat kita.”

Sumi menggoyang bayinya agar tetap bobok. Jangan sampai tahu si bayi soal hatinya yang sesak ketika tahu Dipo di belakang semua ini. Untung gangguan ini terjadi sekarang bukan beberapa bulan lalu ketika dia hamil. Bisa jadi akan mempengaruhi kondisi bayinya. Konon kejiwaan sang ibu sangat berpengaruh pada bayi yang dikandungnya.

“Kalau nggak ada halangan akan kita mulia minggu depan. Bangun tanggul sehingga air buangan dari Umbul bisa ditahan dan akan menggenangi kolam besar. Air akan naik.”

“Moga-moga.”

Keberhasilan ini sebagai rejeki anak pertamanya. Sindhu memberinya nama Gangsar Pramono. Gangsar berarti lancar, tidak ada halangan. Begitulah dia berharap agar anaknya nanti dalam hidupnya tidak menemui banyak masalah. Sebenarnya itu juga doa untuk dirinya yang sedang mengurus proyek tempat wisata itu. Doa untuk anak sekaligus tetenger/pertanda bahwa saat anaknya lahir dia sedang mengerjakan proyek besar. Beberapa lama dia menyiapkan nama untuk anaknya. Dia siap dua nama untuk laki maupun perempuan. Tapi dia sudah sepakat sama Sumi kalau anaknya harus diberi nama Jawa.  Agar dari namanya orang tahu si anak berasal dari suku apa.

Dia ingat ketika ke bidan dan mendengar

“Ibu hamil Pak”, tutur si bidan.

Sumi nampak bangga sebagai seorang ibu yang akan punya anak.

” Kamu memang joss mas,” puji Sumi.

“Lho baru tahu. Aku kan sudah bilang waktu tidur di rumahku itu, “kata Sindhu nggak kalah bangga.

Sumi sempat ngidam gempol dan pleret makanan tradisional masa kecilnya. Saat dia hamil sudah tidak ada lagi makanan itu di pasar Cokro. Maka Sindhu harus mencarinya ke Pasar Gede Solo. Untung masih ada. Jadi ngidam Sumi keturutan.

Gangsar punya kulit putih seperti Sumi. Wajahnya mirip Sindhu. Dia lahir normal tanpa pertolongan dokter. Justru mbah dukun bayi yang membantu persalinannya. Mbah dukun itu juga yang rajin memijit Sumi agar bayi dalam posisi normal tidak sungsang menjelang kelahiran. Mbah dukun juga rajin membantu memandikan Gangsa tiap pagi sore di satu bulan pertama. Habis dimandikan lalu dibedhong.

Gangsar jadi cucu pertama Lik Kartiyem dan Sugiyono. Begitu juga untuk tuan Shanghai. Tapi idak untuk bu Padmo. Jadi bagi keluarga Sumi Gangsari jadi penghibur dan pemberi kebahagiaan. Gangsar mendapat perhatian penuh dari kakek neneknya, juga adik Sumi. Sejak kelahiran Gangsar tuan Shanghai jadi sering datang ke rumah Sumi sekedar untuk menggendong sebentar, melihat Gangsar tersenyum, menangis atau cuma ngompol. Memang tidak terduga bahwa kebahagiaan itu justru didapat dari Sumi, anak hasil hubungan gelapnya. Bukan dari Andi atau Yenni yang justru anak resminya. Itulah dunia yang ceritanya kadang tidak seindah harapan atau kadang harus melewati liku yang tidak terduga.

Shanghai jadi ingat cerita Ibrahim. Ya ibrahim harus kawin dulu dengan Hajar sebelum istri pertamanya, Sarah, punya anak Ishak. Padahal apa susahnya bagi Tuhan yang Maha Kuasa membuat makhluk berupa Ishak tanpa Ibrahim harus mengawini Hajar dulu. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *