Rezim Ordal
KEMPALAN: Debat putaran pertama calon presiden 2024 masih terus bergaung sampai beberapa hari. Salah satu isu yang muncul dan menjadi perbincangan nasional adalah masalah ‘’ordal’’. Hal itu disampaikan oleh Anies Baswedan dalam sesi tanya jawab dengan Prabowo Subianto.
Ketika menyebut istilah ordal, Anies sengaja tidak menjelaskan apa maksudnya. Bagi generasi kolonial istilah itu mungkin asing dan tidak pernah terdengar. Tetapi, bagi kalangan milenial dan generasi Z istilah itu sudah sangat akrab dan sudah menjadi kosa kata percakapan sehari-hari.
Orang-orang yang hadir secara langsung dalam perdebatan di KPU mungkin diam-diam membuka gajet dan mencari di Google. Penonton generasi milenial yang menyaksikan nobar debat dengan malu-malu membuka gajet untuk mengecek Mbah Gugel. Setelah tahu bahwa ordal adalah akronim dari ‘’orang dalam’’, mereka tersenyum simpul dan terlihat lega.
Fenomena ordal diungkap oleh Anies untuk menggambarkan gejala nepotisme yang sekarang meluas di lingkungan masyarakat. Awalnya Anies merespons Prabowo soal keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden. Anies menyebut ada pelanggaran etika berat dalam keputusan itu. Gibran bisa mulus menjadi cawapres karena ada ordal di MK, yaitu Anwar Usman, sang paman.
Anies tidak menyebut langsung ordal di MK. Tapi dia menyebut fenomena ordal sudah sangat meluas dimana-mana. Mau kerja ada ordal, mau masuk sekolah ada ordal, mau kuliah ada ordal. Bahkan mau beli tiket konser pun ada ordal. Fenomena ordal meluas tidak sekadar di lembaga birokrasi dan pemerintahan, tetapi sampai ke lembaga-lembaga swasta.
Lawan politik Anies menyerang balik dengan mengatakan bahwa Anies seperti menepuk air di dulang dan terpercik muka sendiri. Ketika menjadi menteri pendidikan Anies menempatkan ordal sampai ratusan orang, ketika menjadi gubernur DKI Anies menempatkan 70 orang ordal sebagai anggota TGUPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan).
Serangan balik ini miss the point alias meleset dari sasaran. Fenomena ordal adalah bagian dari penyakit KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang menyebabkan sistem meritokrasi tidak jalan, sehingga birokrasi tidak berjalan secara afektif dan efisien.
TGUPP yang dibentuk oleh Anies bertujuan memangkas jaringan birokrasi yang biasanya lelet dalam bekerja. TGUPP terdiri dari berbagai unsur dari berbagai kalangan, mulai dari birokrasi, akademisi, dan profesional. Serangan terhadap TGUPP menyempitkan fenomena ordal hanya sebagai kasus birokrasi saja. Padahal fenomena ordal ini menyangkut esensi demokrasi yang mengharuskan adanya meritokrasi sebagai bagian dari pelaksaan good governance yang harus ditegakkan di setiap level kehidupan.
Ordal adalah bagian dari KKN yang menjadi musuh demokrasi. Rezim Reformasi pasca Orde Baru di Indonesia seharusnya menjadi rezim yang bersih dari ordal. Rezim Orde Baru yang berkuasa di Indonesia selama 32 tahun akhirnya jatuh karena penyakit KKN sudah menggerogoti rezim sampai ke tulang sumsum.
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa menjadikan KKN sebagai musuh bersama yang harus dihapuskan. Rezim Soeharto menjadi rezim yang penuh dengan KKN karena terlalu lama bertahan dengan kekuasaannya.
Pada masa awal-awal kekuasaannya Soeharto relatif bersih. Kondisinya kemudian berubah setelah anak-anaknya dewasa dan mulai berbisnis. Sejak itulah fenomena ordal mulai muncul. Anak-anak Soeharto menjadi ordal yang kemudian mendapatkan konsesi bisnis di berbagai sektor. Kroni-kroni Soeharto juga menjadi ordal yang memperoleh privilege berbagai bidang bisnis.
Soeharto memelihara sekumpulan konglemerat yang diberi berbagai macam konsesi dan hak monopoli perdagangan. Strategi pembangunan ekonomi Orde Baru adalah menumbuhkan ekonomi melalui pertumbuhan sektor-sektor strategis yang dikuasai oleh konglomerasi melalui monopoli dan konsesi.
Kebijakan ekonomi yang diambil Orde Baru adalah membesarkan konglomerasi untuk menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Setelah para konglomerat menjadi besar dan kue ekonomi tumbuh maka diharapkan akan ada efek luberan. Strategi ini dikenal sebagaui ‘’trickle down effect’’ atau efek luberan ekonomi.
Asumsinya adalah kue ekonomi yang melimpah itu tidak tertampung oleh para konglomerat, kemudian terjadi luberan ke bawah yang bisa dinikmati oleh rakyat. Yang terjadi tidak demikian. Luberan dari hasil pertumbuhan ekonomi itu tidak menetes ke bawah tapi ditadah lagi oleh ember-ember konglomerasi. Pak Harto kehabisan kesabaran, sampai akhirnya memaksa para konglomerat itu untuk memberikan sahamnya kepada koperasi.
KKN rezim Soeharto terjadi setelah puluhan tahun berkuasa. Jokowi baru berkuasa beberapa tahun, tapi kata Megawati Soekarnoputri, sudah bertindak seperti rezim Orde Baru. Mega menyoroti tindakan represif oleh aparat Jokowi dalam proses pemilu.
KKN dan politik dinasti yang dilakukan oleh Jokowi dianggap melebihi era Pak Harto. Di masa Orde Baru Pak Harto tidak menjadikan anak-anaknya sebagai kepala daerah. Satu-satunya anak yang diangkat menjadi menteri ialah Siti Herdiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Itupun setelah Pak Harto berkuasa selama 6 periode.
Jokowi belum genap dua periode ketika anak dan menantunya menjadi walikota Solo dan Medan. Tidak lama berselang anak bungsunya, Kaesang Pangarep, secara instan dijadikan sebagai ketua partai politik. Fenomena ordal di pemerintahan Jokowi lebih lengkap setelah ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Anwar Usman menikah dengan adik kandung Jokowi.
Fenomena ordal inilah yang dianggap sebagai faktor yang membuat indeks demokrasi Indonesia merosot dari tahun ke tahun. Kondisinya semakin buruk ketika Jokowi melakukan cawe-cawe untuk mengatur pasangan capres-cawapres yang akan mendapatkan restunya.
Prabowo Subianto salah alamat ketika menyerang Anies dengan mengatakan bahwa Anies tidak akan menjadi gubernur kalau tidak ada demokrasi. Anies tidak akan menjadi gubernur kalau Jokowi diktator. Rupanya Prabowo kudet alias kurang update, karena undang-undang terbaru akan memberi kewenangan kepada Jokowi untuk menunjuk gubernur DKI tanpa melalui mekanisme pemilu.
Sudah pasti undang-undang ini memberi kewenangan penuh kepada Jokowi untuk mengangkat ordal sebagai gubernur DKI. Masih perlu bukti lagi?
Oleh: Dhimam Abror Djuraid, founder kempalan.com