Pengakuan Sumiati

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: Di tengah aktivitas suami yang penuh dan juga dirinya mengurus toko, Sumi sebenarnya kepikiran melihat pertumbuhan anaknya, Gangsar. Sampai usia 4 tahun masih belum berkembang seperti anak lain. Gangsar sulit diajak bicara. Bicara sepertinya seenaknya sendiri. Ketika bicara dengan orang lain, kata-kata banyak yang tahu, tapi seperti tidak nyambung dengan apa yang ditanyakan. Maka dia agak merasa aneh ketika ada bu lurah Ngalas minta tolong pada suaminya. Lha wong anaknya sendiri bukan anak yang berkembang seperti anak-anak lainnya.

“Mas anak kita sepertinya harus dibawa ke dokter.”

“Iya saya juga kepikiran.”

“Umumnya anak umur 4 tahun sudah bisa diajak bicara. Jangan-jangan anak kita itu ..apa yang berkebutuhan khusus ?

“Autis?”

“hmm…iya..”

“Jangan bilang autis..!” Sindhu agak marah.

Sudah umur tahun Gangsar memang tidak menunjukkan kemampuan dan perilaku seperti umumnya anak-anak lain. Ini membuat Sindhu mulai khawatir dengan anaknya. Dia getol ingin membangun desa dan masyarakatnya tapi justru anaknya sendiri butuh perhatian lebih. Gangsar seperti asyik dengan dunianya sendiri, sulit diajak bicara, bergerak ke sana kemari tanpa mau berhenti, makanpun hanya makanan tertentu yang dia mau. Ketika diajak nonton TV dia juga tidak bisa fokus. Lebih suka melakukan apa yang dia maui. Kadang bicara sendiri, tertawa dan kadang seperti sedih. Malam pun tidurnya pasti larut. Sulit mengajak bicara dia untuk menanyai apa yang dirasakan. Sumi kadang menangis sendiri melihat anaknya begitu. Meski secara fisik kelihatan tumbuh sehat.

“ Ee anake bu Sumi ternyata cacat, “ suatu saat dia dengar komentar dari seseorang di sebelah toko.

“Memang. Nggak cocok ya. Bapaknya insinyur, ibunya pinter, kok anaknya begitu.”

“Iya itu kadang anaknya tertawa sendiri. Nggak bisa diajak ngomong,” cibir yang lain.

Sebenarnya selama ini Sumi sudah membatin kondisi anaknya itu. Tapi sebagai ibu dia nggak terima jika dibilang anaknya cacat.Dia selalu berharap akan tiba saatnya Gangsar tumbuh normal. Hingga usia 4 tahun seperti belum juga harapan itu terpenuhi.

Hari itu mereka membawa Gangsar ke Dokter spesialis anak di Solo.

“Bagaimana dok?”

“Ya sepertinya gejala begitu..Tapi jangan khawatir. Bisa dilatih.”

Sindhu dan Sumi berpandangan. Lalu diam. Mereka seperti menerima cobaan yang begitu besar.

“Nanti harus di sekolahkan di sekolah khusus,” lanjut dokter.

Bapak ibu harus memberi perhatian lebih. Putra bapak ibu berkebutuhan khusus. Tidak bisa diperlakukan seperti anak normal.”kata dokter. Hal yang sebenarnya Sindhu dan Sumi juga sudah paham.

Sindhu, Sumi dan Gangsar pulang…Ya Gangsar kadang-kadang ngomong-ngomong sendiri. Kadang dia marah atau tertawa tanpa jelas penyebabnya. Ketika di dalam mobil dia bicara sendiri dan mengamati hal-hal yang Sumi sendiri tidak tahu.

“itu ada andong…”kata Sumi mencoba menghibur ke Gangsar.

Gangsar begitu girang melihat kereta kuda itu.

“Andong…andong!” sahut Gangsar mengulangi berkali-kali dengan tekanan suara yang tidak bisa .  Tapi lumayan mau nyahut. Seringnya tidak begitu.

“Kemana mau disekolahkan ya mas?” tanya Sumi.

“Belum ada, belum tahu.”

Hmm Sindhu pusing. Di desa belum ada sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Kemana anaknya harus disekolahkan. Dia juga mencari informasi di seputaran Klaten belum ada sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Lalu mencari di Solo, ada satu buah. Tapi terlalu jauh jika harus ke Solo tiap hari selain itu biayanya sangat mahal. Anak juga harus ditunggui saat belajar. Tidak mudah.

“Apakah kita buka saja sekolah untuk anak berkebutuhan khusus mas?“ usul Sumi.

“Bagus sih . Apa ada yang masuk?”

“Mungkin ada. Ya pelan-pelan. Tapi sejauh ini memang kan masyarakat belum tahu.”

Sejak itu Sumi jadi rajin mencari-cari bahan mengenai anak berkebutuhan khusus. Dia percaya ini amanah dari Tuhan. Gangsar harus dirawat sebaik mungkin. Bagaimana pun ini titipan Tuhan. Dia harus memberi perhatian lebih. Dia dan Sindhu tidak malu punya anak seperti itu meskipun berat beban dalam hatinya. Apalagi masyarakat belum bisa menempatkan kejadian seperti ini secara benar.  Teman main juga suka mengolok-olok dan mengejek daripada memahami. Itu yang membuat beban makin berat.

Dua hari lalu Gangsar menangis ketika pulang habis main sama anak tetangga. Hidungnya keluar darah. Salah satu teman mainnya memukul  ketika berebut mainan. Gangsar tidak membalas. Tapi dia hanya lari pulang sambil menangis. Dia pun nggak bisa bercerita kepada ibunya. Menangispun bukan yang keras. Sumi sedih melihat kenyataan itu. Teman-temannya sering memperlakukan Gangsar sebagai bahan ejekan. Dia hanya berpesan ke orang tua anak untuk tidak mengulangi.

**

“Nggak apa-apa. Ini anak harus dirawat sebaik mungkin. Nanti akan ada bakat-bakatnya yang muncul,” Bu Padmo memberi tahu sambil membesarkan hati anaknya. Meskipun dia sendiri juga ikut meneteskan air matanya saat mengatakan itu.

Sindhu berketetapan hati untuk tidak lagi meneruskan karir politiknya. Dia akan berhenti jadi kepala desa. Dai akan mewujudkan membangun sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Banyak sekali rencana-rencana yang mungkin gagal. Bank desa juga salah satu agendanya meskipun dia nggak lagi menjadi kepala desa.  Satu tempat dari papah Shanghai di kota Delanggu akan dipilih untuk lokasi sekolah. Tidak sulit merekrut para sarjana psikologi dari kampus di Solo atau Jogja atau Semarang. Yang terpikir adalah bagaimana nanti akan menggaji mereka.

Sindhu sering bingung dengan dirinya. Apa sebenarnya peran dirinya di dalam hidupnya. Kadang dia bersemangat mengembangkan masyarakat. Usaha sana-sini dilakukan, tapi kadang ya kehilangan semangat.Untuk apa ini semua? Dia melihat beberapa lurah tidak melakukan pekerjaan sebagaimana dia impikan. Banyak lurah yang justru ingin menjabat terus tanpa peduli apa yang bisa mereka kerjakan. Lalu apa gunanya dia kerja keras kalau di tempat lain mereka tidak berubah? Kini malah rencana hidupnya jauh berubah. Ia ingat cerita Arjuna. Dalam Mahabarata ketika Arjuna harus berperang melawan pihak dimana di sana ada sahabat dan saudaranya sendiri. Dia harus membunuh teman dan sanak saudaranya. Arjuna sempat bimbang apa peran dia sebagai individu dalam alam semesta yang begitu besar. Kenapa dia harus berperang, membunuh dan memimpin pasukan Pandawa. Untung ada Dewa Kresna. Ya Dewa Kresna menasihati bahwa itulah dharma yang harus dijalani Arjuna. Dia harus berperang, harus membunuh. Itulah dharmanya sebagai prajurit. Jika setiap orang menjalani dharmanya, dia bisa hidup lebih nyaman, lebih damai. Jangan mencoba menjalani dharma orang lain. Dalam sejarah Arjuna menjadi pahlawan pujaan di masyarakat Hindu.

Ya begitulah Sindhu mulai merenungi lagi sebenarnya apa peran dia dalam semesta yang besar ini. Mengapa dia harus punya anak yang berkebutuhan khusus sementara dia punya cita-cita yang lain yang tidak kalah mulia: mengembangkan ekonomi pedesaan, membangun sekolah yang mengajarkan keterampilan hidup yang nyata. Setiap diri punya tugasnya (dharma) sendiri. Apa yang terlihat di depan mata, itu yang paling baik dijalani. Itu cara Sindhu mencari dharmanya. Dia nggak seberuntung Arjuna yang langsung mendapat bimbingan dari Dewa Kresna. Sindhu memantapkan hati, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus harus diusahakan, diperjuangkan. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Sebuah Pertaruhan

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
1

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *