Pengakuan Sumiati

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Operasi bedah otak untuk Sindhu dimulai siang jam 13.00. Beberapa saudara dan tetangga menunggu di luar kamar. Beberapa orang siap donor darah jika diperlukan. Mereka saling ngobrol untuk mengisi waktu. Namun Sumi tidak bisa menghilangkan rasa gelisahnya. Apa yang terjadi di ruang operasi, membuat dia sangat khawatir. Kebayang jika Sindhu nggak bisa diselamatkan, dia akan hidup lagi sendiri. Pasti akan jadi cibiran tetangga. Meski kini sudah ada Gangsar tapi dia akan memikirkan apa-apa sendiri, memutuskan apa-apa sendiri. Atau kalau Sindhu selamat tapi tidak bisa pulih, Sumi akan harus merawat dengan sabar. Oh..Sumi nggak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sepertiya tipis kemungkinan Sindhu  untuk bisa pulih lagi.

Di ruang operasi tim dokter bekerja keras membersihkan darah di otak yang tercecer di uar pembuluh darah.Operasi rumit itu dilakukan dengan sangat hati-hati. Dokter bedah saraf terbaik di Solo yang  menangani Sindhu. Para dokter dan perawat pun tidak kalah tegang. Mereka juga berharap operasi ini bisa berhasil. Mereka ingin membuktikan bahwa pendarahan di otak bisa diselamatkan.

Semua sebenarnya gelisah. Ada tetangga, ada bu Padmo , ada para punggawa desa. Bu Padmo yang biasa tegar kali ini juga harus merasa tegang dan gelisah. Kenapa anaknya itu harus menjalani nasib seperti ini. Dia sampai berkata dalam hatinya ‘seandainya boleh digantikan biar saya saja yang menanggung beban anakku’. Begitulah kasih sayang seorang ibu.

Satu jam, dua jam hingga lima jam , Sindhu belum keluar dari ruang operasi. Beberapa orang sudah berangsur  pulang. Hanya Sumi, Bu Padmo dan beberapa saudara yang bertahan. Lalu  Sumi dipanggll masuk.

“Ibu istrinya?”

“iya Dok..”

“ini suami ibu belum sadar dari kondisi tidak sadarkan diri karena efek obat bius.”

“Biasanya berapa jam dok?” tanya Sumi sekenanya saking gugupnya.

“Mestinya 5 jam sudah sadar.”

“Lalu gimana dok?” tanya Sumi sangat khawatir.

“Kita hanya bisa menunggu. Berdoa saja bu”

Sumi menunggu dan tidak berhenti berdoa. Dia menunggu hingga larut malam. Dia terlelap di luar ruang operasi. Bu Padmo menemani dan juga Lik Kartiyem. Mereka tidak banyak bicara. Hanya menunggu dalam diam. Menjelang tengah malam Sumi terbangun.

“Ibu kondur mawon..” pinta Sumi ke bu Padmo. Waktu sudah menjelang tengah malam.

“Simbok istirahat saja nemani Gangsar.Biar saya saja yang menjaga di sini.” kata Sumi.

Ternyata waktu sudah berganti hari, Sindhu belum sadar juga. Dia dipindah ke ruang ICU. Sumi bisa melihatnya. Tidak biasa obat bius habis efeknya tapi pasien belum sadar. Dari waktu ke waktu Sumi mengamati. Sumi terus menanti. Tidak ada kabar baik hingga berganti hari berikutnya. Sindhu hanya terbaring dengan mata tertutup. Tapi Sumi menyaksikan wajah yang damai dan tenang. Tidak lagi ada gurat menahan sakit. Sindhu seperti tidur nyenyak sekali. Sumi khawatir jangan-jangan…tapi Sindhu masih bernafas. Sumi kadang menangis sendiri melihat suaminya terdiam  hingga berhari-hari. Entah mau sampai berapa hari, berapa minggu atau…

Hingga hampir seminggu belum juga Sindhu sadarkan diri. Sumi makin putus asa.

“Kenapa mas Sindhu harus menderita bagini ,“ bisiknya dalam hati. Dia mengenal suaminya sebagai orang baik. Tapi kenapa orang baik harus menderita. Walaupun Sumi tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Sindhu selama seminggu itu. Apakah benar Sindhu menderita seperti dia pikirkan. Dunianya serasa sepi. Tidak lagi ada teman ngobrol semenjak Sindhu terjatuh. Kembali ia  teringat masa-masa lalu sebelum dia bersuami.

Tiap malam di rumah Sumi diadakan tahlilan dan pembacaan surat  Yassin. Mereka berharap jika memang Sindhu masih bisa diselamatkan semoga Tuhan memberi kemudahan untuk sembuh. Tetapi jika harus terjadi sebaliknya, semoga dimudahkan jalannya.

Tradisi yang telah lama dijalani oleh masyarakat. Mereka juga tidak tahu mengapa yang dibaca surat Yassin. Kebanyakan mereka hanya mengikuti apa yang dilakukan pendahulu mereka.

**

Sementara Sindhu masih kehilangan kesadarannya. Dia merasakan perjalanan spiritual yang aneh. Belum pernah dirasakan. Jiwanya melayang . Ia seperti mengembara ke alam suwung yang damai dan tenteram. Dia melihat pemandangan yang serba indah. Dia mendengar suara-suara yang indah, yang belum pernah dia alami di dunia selama ini. Alam yang serba indah. Ada pemandangan hijau dan langit biru, cahaya yang tidak panas, tidak menyilaukan, berwarna-warni. Apakah ini yang disebut surga. Dia tidak merasakan sakit seperti yang dipikirkan Sumi. Dia bertemu orang-orang dari masa lalunya. Ada bapaknya, ada neneknya, ada beberapa kerabat yang dulu pernah dia temui di masa hidupnya. Mereka tersenyum bicara dengan bahasa yang dia tahu tapi bukan bahasa yang selama ini dikenalnya. Rasanya dia nggak mau kembali lagi ke tempat asalnya.

Sumi masih menunggu di dekat ranjang tempat Sindhu berbaring. Penantian tiada batas waktu. Dia iingin menangis tapi dia tahan. Dia menyaksikan wajah suaminya adalah wajah bahagia. Jadi dia berpikir jangan-jangan suaminya sedang menikmati kebahagiaan di alam yang berbeda. Tengah malam saat melewati 7 hari, semua itu berlalu. Sumi di ruang ICU melihat mata suaminya bergerak-gerak lalu terbuka pelan. Sindhu seperti bangun dari tidur panjang. Kesadarannya seperti pulih. Saat itu pulan pengembaraan jiwanya terhenti. Tapi wajahnya seperti kosong.Dia merasa seperti terlahir ke dunia baru. Matanya mengamati keadaan sekeliling dengan tatapan mata asing. Sindhu seperti  merasa semuanya baru dilihat.

Dia bisa bicara tapi tidak tahu kata-kata yang harus diucapkan. Tangannya bisa digerakkan, tapi satu tangan masih susah. Ketika Sumi memandanginya , Sinhu tidak tersenyum atau menyapa. Sidhu melihat Sumi seperti orang asing, apa yang dia lihat seperti obyek baru. Perlahan memorinya mulai pulih sedikit demi sedikit. Tapi tetap tidak seperti mengenal Sumi. Sumi bingung dengan apa yang terjadi pada suaminya. Tapi Sumi tetap memperlakukan Sindhu layaknya orang normal. Dia suapi, dia bersihkan badannya.

Pada hari ke sepuluh dia diizinkan pulang. Tapi kondisinya masih jauh dari normal. Sindhu seperti bayi. Dan hanya mengingat sedikit hal-hal yang pernah dia ingat. Ketika di rumah dia melihat anak satu-satunya, juga tidak menunjukkan tatapan yang bahagia. Malah seperti orang yang baru dia kenal.

Hari demi hari memori Sindhu mulai kembali. Perlahan. Dia mulai mengingat Sumi , Gangsar. Bicaranya masih agak sulit. Tangan kirinya belum bisa digerakkan. Atas saran beberapa kerabat seminggu sekali Sindhu berobat ke seorang Sinshe di Solo. Ditretment tusuk jarum atau akupuntur. Dia juga diberi ramuan herbal untuk memulihkan memori dan melancarkan peredaran darah.

Begitu juga setiap pagi Sindhu ditemani Sumi jalan kaki dan berjemur beberapa saat. Kesabaran Sumi benar-benar diuji. Kalau dulu melayani Pak Jarwo yang sudah tua, kini Sindhu yang sakit.

Dari terapi sinshe dan olahraga pagi memang ada sedikit kemajuan. Wajah Sindhu makin bugar. Bicaranya perlahan  makin lancar. Hari-harinya dipakai untuk membaca atau nonton tivi. Ini juga membantu melatih saraf dan ingatannya.

*

Beberapa minggu kemudian.

Sindhu lalu ingat lagi peristiwa yang dia alami beberapa saat lalu. Ya ketika operasi dan sesudahnya. Dia atau jiwanya menjalani perjalanan yang tidak biasa. Tempat dan pemandangan yang juga belum pernah dia lihat. Dia lalu mengingat cerita tentang Isra’ Mi’raj. Jangan-jangan itu perjalanan spiritual, jiwa bukan raga, seperti yang dia alami. Cerita soal dada dibelah, hati dicuci, yang biasa disampaikan guru agama SDnya itu cuma cerita yang dibuat-buat. Muhammad Haikal membantah cerita itu dalam bukunya mengenai sejarah Muhammad. Bagaimana seorang manusia dibelah dadanya oleh malaikat. Itu cerita mistis bercampur cerita riil yang menguji akal sehat. Mungkin itu simbol pencucian hati dan jiwa bukan kejadian fisik. Ya itu angan2 Sindhu ketika membaca buku dan mengingat peristiwa yang baru dia alami selama masa operasi dan pasca operasi. Tapi dari situ Sindhu berjanji akan menggunakan hidupnya untuk mengabdi pada kemanusiaan. Dia akan bekerja lebih baik untuk masyarakat . Tidak semua orang diberi kesempatan melihat alam lain yang begitu indah bahkan sulit diceritakan kembali.

(Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *