Pengakuan Sumiati

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: Sumi setia mendampingi Sindhu jalan pagi. Mereka melintasi jalan sambil melihat sawah hijau di sisi timur desa. Kadang Gangsar turut bersama mereka. Ini mempercepat penyembuhan Sindhu terutama dalam hal memulihkan saraf motoriknya. Gerakan tangan sudah jauh lebih baik. Kemampuan bicara pun demikian. Ini juga tidak lepas dari rajinnya mereka berobat ke akupuntur dipadu dengan meminum obat herbal.

Sindhu sudah mendapatkan kembali memorinya yang sempat hilang. Hal-hal yang pernah dia ketahui kini sudah kembali lagi.

“Waktu mas Sindhu nggak sadarkan diri aku sudah siap jadi janda,” Sumi mengawali pembicaraan sambil berjalan pelan.

“Maksumu aku sudah nggak akan kembali?”

“iya kulihat wajahmu adem penuh kebahagiaan, aku sudah mikir pasti ini akan bablas.”

“Saat itu aku berada di tempat yang sangat indah. Hamparan yang penuh warna, hijau, jingga, ,lembut. Suara-suara yang indah. Lebih bagus dari nada mana pun yang pernah aku dengar. Rasanya nggak ingin kembali. Aku ketemu orang-orang dari masa laluku. Mereka tersenyum bahagia. Tapi tiba-tiba mataku melihat lagi dunia nyata.”

“Apa itu yang dimaksud surga ya mas?”

“Nah aku juga tidak tahu. Atau itu halusinasi saja. Aku percaya surga dan neraka ada di dunia ini.”

“Maksudmu balasan perbuatan kita ada di sini?”

“iya. Aku percaya begitu. Surga neraka itu soal hati. Jika kita berbuat baik, hati kita akan bahagia. Itulah surga. Begitu pun saat kita berbuat buruk atau jahat, hati kita merasakan derita. Itulah neraka,” Sindhu serius sambil menggandeng Sumi. Sementara Gangsar berlari ke depan mendahului sambil mencari kupu di pinggir jalan di antara tanaman perdu.

“Bisa juga ya. Orang nggak tahu hati kita. Kita sendiri yang bisa merasakan bahagia derita. Yang dikira bahagia bisa jadi derita. Yang dikira menderita bisa jadi bahagia.”

“Nah begitulah. Para maling nggak tertangkap, tetapi dalam hatinya pasti merasakan penderitaan. Kita saja melihatnya seperti enak-enakan.”

“Kalau begitu enak dong yang berbuat jahat kalau nggak ada neraka di alam nanti?”

“Ya kita yang merasakan di sini. Jangan dikira orang yang berbuat jahat itu hatinya tenang .Tapi alam ini memang terlalu luas untuk kita pahami. Mungkin juga ada lagi nanti neraka. Tapi buat apa Tuhan menciptakan makhluk lalu disiksa?”

“Jadi nggak ada dosa?”

“Dosa itu akibat dari perbuatan buruk. Orang yang berbuat buruk akan mendapat imbalan di dunia. Itulah dosa atau hukuman. Hukuman yang bisa kita rasakan sendiri.”

“Kalau pahala berarti manfaat ya?”

“Iya manfaat dari perbuatan baik. Semua kembali ke kita. Jika kita berbuat baik kita yang akan merasakan pahalanya atau manfaatnya.”

“Ee tapi mas nanti orang-orang akan protes dengan pengertian seperti itu.”

“Ya itu setidaknya untuk aku sendiri. Kalau orang dulu untuk berbuat baik harus diberi iming-iming pahala, kalau orang sekarang mestinya lebih rasional. Pahala adalah manfaat.”

Mereka terus berjalan menyusuri jalan aspal yang mulai ramai. Orang berlalu lalang menuju pasar Cokro. Matahari mulai naik.

“Aku sih setuju. Tapi ini untuk kita saja. Bapak kan lurah, jangan sampai nanti dikira menghasut dengan ajaran aneh.”

“Iya untukku. Bahkan kamu istriku tidak harus punya pendapat seperti itu. Ini hal-hal personal yang kita yakini. Istilah populernya ‘be a good boy in your tribe.’  Jangan bikin gaduh. Sejak sekarang aku memaknainya begitu. Jadi aku berbuat baik  atau buruk akan ada akibatnya langsung di dunia ini. Tidak usah menunggu nanti.”

Sumi mencoba merenungi jalan pikiran suaminya. Ini hal baru bagi dia. Masuk akal. Manusia memang hanya menduga-duga. Bagaimana yang benar juga tidak ada yang tahu. Jadi jika ada yang begitu yakin bicara hidup sesudah mati, kadang jadi aneh. Menjadi manusia baik adalah kunci, apakah nanti ada neraka atau surga, itu nggak penting.

“E mas kalau aku yang mati duluan apa kamu siap jadi duda mas?”

“Ah ngomong apa sih.”

“Lho kan bisa saja. ”

“Iya siap. Akan kubesarkan Gangsar sampai lulus kuliah.”

“Tapi jangan mas. Kamu jangan jadi duda. Kamu bisa nikah lagi, aku rela. Kalau aku menjanda sudah siap. Sudah biasa aku mas. Aku bisa membesarkan Gangsar tanpa kamu.”

Sindhu diam sejenak. Hal-hal begini memang seharusnya dibicarakan karena pasti terjadi.

“Ya setidaknya sekarang aku masih ada. Jadi kamu bukan janda. Keajaiban telah terjadi. Saat aku sadar dari operasi itu aku seperti keluar dari tempat indah itu.”

Mereka lalu berjalan pulang. Tidak lupa mampir membeli bubur beras di pasar. Menu kesukaan Sindhu, bubur ditumpangi dengan lethok, tahu dan sayur gudhangan.

“Wah Pak lurah kesukaannya bubur lethok?” tanya Lik Wiji penjual bubur.

“Ya namanya wong ndeso lik, nggih sama saja seleranya.” kata Sindhu renyah melayani obrolan lik Wiji.

“Mugi2 jadi obat”,  sahut Lik Wiji yang tahu Pak lurah sedang masa pemulihan sakitnya.

“Nggih maturnuwun”, sahut Sindhu dan Sumi berbarengan.

Lalu Sindhu dan Sumi beserta Gangsar pulang.

Para pedagang di pasar masih membicarakan pak lurah itu.

“Jarang lho sakit begitu masih bisa selamat.” kata salah seorang.

“Iya itu nyawa balen.”

“Ampuh itu pak lurah,” yang lain menimpali.

“Makanya jangan macam-macam sama dia,” sahut yang lain.

Di warung lain juga tidak kalah ramai membicarakan keluarga pak lurah Sindhu.

“Wah saat itu malah kalian sudah bisik-bisik mau ada janda baru kan?”

“Ya kecele kan.”

“Makanya mikirnya yang baik, jangan malah mendoakan yang jelek-jelek.”

“Loh kita nggak mendoakan yang jelek, mana tega. Baru kali ini punya lurah bagus. Cuma kita mikir kalau sudah sakit begitu kan biasanya susah sembuh.”

**

Sindhu sudah aktif bekerja di kantor kelurahan. Rencana lama membangun desanya kembali dilakukan. Pengalamannya yang unik selama sakit membuat dia makin semangat untuk mewujudkan desanya menjadi desa yang makmur. Desanya dulu di masa penjajahan Belanda adalah desa yang makmur. Ada pabrik gula, yang dikelilingi tanaman tebu. Ada rel untuk lori yang membentang dari Boyolali hingga Klaten. Kemakmuran seperti dulu ia yakin bisa dikembalikan di bawah administrasi orang pribumi, bukan lagi orang Belanda.

Sejak merdeka,pabrik gula yang ada di sekitar Cokro yaitu Delanggu, Ponggok, Kartosuro, Gondang, Ceper,  perlahan tutup satu per satu. Tanaman tebu tidak lagi memberi penghasilan yang layak bagi penduduk. Penduduk tidak mau lagi menanam tebu. Karena memang efisiensi pabrik gulanya rendah. Produktivitas rendah, permintaan tebu juga berkurang. Mesin-mesin pabrik tidak lagi dirawat. Jadi hanya memakai dan menunggu hingga rusak. Semua gara-gara manajemen yang buruk.

Orang kita harus belajar dalam hal manajemen. Kita melihat Belanda hanya dari sisi enaknya, bukan kerja kerasnya. Memang benar banyak hasil bumi kita dinikmati Belanda. Karena memang mereka mampu mengolah dan mengelola dengan baik. Makanya kita berpikir kalau kita merdeka kita akan makmur seperti Belanda. Ternyata tidak begitu. Kita tidak membiasakan kerja disiplin, kerja keras.

Perkebunan, sawah, pabrik ternyata hasilnya tidak sebagus ketika dulu dikelola Belanda.

Ah Sindhu bermimpi dia bisa menjadi lurah yang bagus , yang mampu mengembalikan kejayaan masa lalu. Tapi di sisi timur desanya, ada pabrik aqua. Dia ragu apakah itu sebesar-besarnya memberi kemakmuran bagi rakyat sekitarnya. Karena rakyat hanya jadi pegawai, bukan pemilik. Sementara airnya disedot ribuan kubik tiap hari. Jalan dari depan pabrik menuju Delanggu rusak karena tiap hari dilalui truk-truk besar pengangkut botol air kemasan. Seandainya dia bisa punya kekuasaan lebih tinggi dia ingin bagi hasil atau pabrik itu lebih menguntungkan bagi daerah. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Pengakuan Sumiati

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *