Pengakuan Sumiati
KEMPALAN: Hari pemilihan kepala desa makin dekat. Rumah Sindhu sering ramai dikunjungi pendukung. Meski sudah mendeklarasikan diri maju tanpa amplopan tapi nyatanya tiap malam minggu selalu ada yang datang dan ramai. Otomatis harus menyediakan makanan, kopi, teh dan rokok. Tak terhindarkan, itulah biaya politik. Sumi juga sudah sepakat agar suaminya maju dalam pilkades. Sumi ingin agar keluarga yang berbau Tionghoa juga terlibat dalam pemerintahan, tidak cuma jadi pedagang.
“Kalau kamu mau maju jadi kepala desa, harus kau gunakan jabatanmu untuk menolong masyarakat”, petuah tuan Shanghai suatu kali.
Sindhu kaget, nggak menyangka papanya punya filosofi yang begitu mulia soal kekuasaan. Itu selaras dengan pemikiran Sindhu bahwa kekuasaan harus dipakai untuk mensejahterakan rakyat. Dia ingat buku Tahta Untuk Rakyat yang bercerita soal kepemimpinan Hamengkubuwono IX yang selalu memikirkan dan memihak rakyatnya. Bahkan pernah ada seorang mbok-mbok yang mau ke pasar dan diajak numpang mobil jeep yang dikendarainya. Tenggoknya dibantu diangkat oleh pengendara mobil itu. Si mbok tidak tahu kalau yang menawari itu Sultan. Saat sampai di pasar dia turun dan orang-orang heran.
“Kamu tahu itu siapa yang memberi tumpangan itu tadi?”
“nggak tahu.” sahut si mbok itu lugu.
“itu kanjeng Sultan” sahut para pedagang di pasar.
Si mbok langsung pingsan saking kagetnya menemukan raja Jogja itu begitu rendah hati mau mengangkut mbok-mbok tua seperti dia.
Sindhu selalu ingat cerita itu. Meski cuma level kepala desa dia berharap nanti bisa membantu masyarakat untuk hidup lebih baik.
**
Di kubu lawan juga begitu. Pak Rawuh saingan Sindhu juga selalu ramai rumahnya. Para kader dan pendukung brkumpul memikirkan strategi atau sekedar numpang makan. Sekilas keduanya seperti orang penting. Tapi sebenarnya banyak juga yang datang hanya untuk mendapat keuntungan pribadi. Kader utama atau tim sukses sering terima uang untuk konsolidasi. Bagi tim sukses tidak penting calonnya menang atau kalah, yang penting selama persiapan mereka dapat tambahan uang. Kadang-kadang para angota tim sukses ini mengada-ada dan memberikan laporan yang berlebihan agar dia dapat nama di depan calon yang didukung.
“Di Boyolali ada dukun joss. Kita perlu ke sana” kata Daliyo salah satu kader pak Rawuh.
Mereka pun mendatangi dhukun itu suatu siang. Ada 4 orang ke sana Daliyo, Pak rawuh sopir dan satu lagi pendukung pak Rawuh.
“Kalau saya terawang ini ada cahaya terang “, ucap sang dukun setelah baca mantera dan membakar dupa. Dhukun yang berkumis dan berjenggot tebal serta pakai ikat kepala itu mengatakannya dengan suara berat dan mantap. Dhukun itu nampak lebih tua dari umurnya.
Daliyo melihat ke arah Pak Rawuh dan mata mereka bertemu pandang, sepertinya mereka kompak bahwa itu sinyal bagus untuk maju terus.
Pulang dari dukun itu rombongan Pak Rawuh mampir Soto Pasar Rumput Boyolali yang kondang itu. Mereka pun makan puas dengan ditraktir calon kepala desa itu. Pak Rawuh merasa makin optimis dengan terawangan dhukun tadi.
Sampai rumah Daliyo dapat amplop sebagai tanda terima kasih pak rawuh karena sudah ditunjukkan dukun yang joss.
“Bagaimana Pak hasilnya?” tanya Bu Rawuh ke suaminya yang nampak sumringah.
“wah sepertinya kita bakal menang bu.”
“Apa memang katanya mbah dhukun?”
“ada cahaya terang yang dilihat mbah dhukun.”
Oh bagus ya. Sinyal bagus” sahut Bu Rawuh dengan optimisme tinggi. Pak Rawuh makin tersanjung.
Sementara paklik Sindhu tanpa sepengetahuan Sindhu datang ke Solo menemui kakak sepupunya yang memang erkenal punya ilmu linuwih, tahu sebelum kejadian. Ilmu forecast yang canggih, nggak tahu pakai metoda artificial intelligence atau ramalan dengan regresi biasa.
“Le aku bar soko pakdhemu Solo.”
“Lalu bagaimana Lik?”
“kalau malam bangun jam 3, lalu berdoa supaya lancar.”
“Itu saja?”
“oo anu..ada yang penting lagi.”
“Apa?”
“Kamu yang baik sama tetangga, jangan adigang adigung adiguna.”
“Maksude napa niku Lik?”
“Ya gampangane aja sombong, jangan sok. Tetap lembah manah, rendah hati. Nggak merasa yang paling berjasa.”
Sindhu benar-benar diingatkan dengan petuah itu. Sering sekali orang baru sedikit berjasa bagi masyarakat terus sombong “kalau nggak ada saya pasti….” Begitulah sering ucapan yang muncul.
Ya nasehat pakdhenya juga senada dengan pandangan ibunya selama ini. Bu Padmo sering menasehati hal yang sama.
Para pendukung Sindhu menggunakan saluran wisata Cokro sebagai upaya memastikan dukungan suara. Orang-orang yang bekerja di proyek rekreasi ddan terlibat dalam pengelolaan jadi sasaran pendekatan. Tentu tidak memaksa, tapi ajakan untuk mendukung Sindhu. Sementara pak rawuh menggunakan usaha mesin selepan gabahnya untuk mempengaruhi para pekerjanya dan sanak saudaranya. Suasana makin panas ketika pilkades tinggal 3 hari. Berembus issu bahwa Sindhu anak PKI. Berita segera menyebar.
“Bapaknya dulu kan penggerak BTI” salah seorang mengompori.
“Apa itu ?”
“ Lho Barisan Tani Indonesia, organisasi di bawah PKI.”
“Memang kenapa kalau aktivis BTI?”
“Lho kan PKI anti Tuhan. Jelas nggak beriman.”
“Tapi pak Padmo dulu baik kok sama tenagga. Bahkan sepakat ada landreform biar para petani mendapat bagian tanah, biar merata.”
“Nah itu kan programnya PKI.”
“Lho kalau kamu sebagai wong cilik apa nggak seneng dapat bagian tanah? Daripada tanah dikuasai para tuan tanah, kita cuma jadi buruh penggarap?”
“Iya ya..”
“Lha mbok dilhat mas Sindhu orang baik, rajin ibadah.”
“Betul-betul. Jangan tertipu kemasan. Ingat isinya”, masyarakat nampak jadi kritis menjelang pesta demokrasi.
Tapi tidak sedikit yang kemakan issu itu.
Itu kesempatan pihak lawan untuk makin menekan. Pak Rawuh di sisi yang berbeda. Dulu orang tuanya orang Masyumi. Partai yang sangat menentang PKI. Luka lama diungkit lagi hanya untuk kepentingan pilkades.
“Lihat asal usulnya saja. Pak Rawuh kan orang tuanya agamis. Pasti anaknya nggak jauh lah.”
“Iya beda sama Sindhu, anak PKI. Wong mambu. Pasti tidak beriman, nanti kita pemilihnya akan masuk neraka. Memilih pemimpin harus yang beriman.”
Beberapa orang menggunakan ungkapan yang sama untuk menyerang Sindhu. Tapi tidak sedikit yang masih waras.
“Ya memang Pak Rawuh rajin ke mesjid, sudah haji. Tapi kalau nggaji karyawan di mesin selepannya, pelit.”
“O betul. Iya betul. Pelit. Itungan banget”, sahut yang lain.
“Nah beriman cuma sebatas sholat dan haji saja. Tindakannya beda.”
“Lha buktinya Mas Sindhu bikin tempat wisata, kita semua menikmati. “
“iya yang nyata-nyata saja. Nggak usah bawa-bawa neraka di pilkades. Neraka urusan masing-masing.”
Beberapa orang jadi jothakan sama tetangga gara-gara beda jago. Mereka tidak bertgur sapa meski berpapasan di jalan atau menghindar jika musuhnya akan lewat.
Malam menjelang pilkades tiba. Pra pendukung Pak Rawuh bergerilya mengantar uang yang terbungkus di amplop. Masing-masing berisi uang 25ribu. Mereka mencoba menyusup masuk ke rumah-rumah pendukung Sindhu.
Pihak Sindhu hanya melindungi kampung dari susupan orang luar. Penduduk jangan sampai terpengaruh, terutama kantong-kantong pendukung sindhu. Mereka rela tidak tidur untuk memastikan suara tidak berpindah.
Saat pagi tiba. Orang berbondong ke kelurahan.Para calon menyampaikan pidatonya sebelum pencoblosan dimulai.
“Ambil uangnya tetap pilih calon yang sesuai hati nurani, sesuai prestasinya. Jangan mau dibodohi dengan issu PKI. PKI sudah mati.” Kata Sindhu berapi-api di atas podium.
“Jangan salah pilih. Jangan terkecoh dengan penampilan. Jangan gadaikan suara nurani gara-gara uang yang nggak seberapa.”
Para pendukungnya bertepuk tangan. Sumi melihat suaminya, dia terharu. Nggak menyangka suaminya juga bisa berorasi seperti Bung Karno . Iya dia ingat buku-buku yang ia baca saat masih jadi pelayan toko dulu.
“Jangan pilih orang yang mambu. Hidup kita nggak akan selamat”, kata Pak Rawuh dengan menyindir orang mambu . Maksudnya bau-bau PKI.
“Pilih yang rajin ibadahnya. Pasti akan menjadi imam yang baik, selamat dunia akherat”, lanjut pak Rawuh.
Pendukungnya pun bertepuk tangan.
Pemungutan suara dimulai jam 10 siang. Orang antri untuk mencoblos. Pak Rawuh mendapat gambar jagung dan Sindhu, padi. Masyarakat segera meninggalkan kelurahan usai coblosan terutama ibu-ibu. Hanya bapak-bapak dan pemuda yang tetap duduk ingin menyaksikan penghiungan suara. Sumi tidak berani melihat perhitungan suara itu.
Banyak juga masyarakat dari luar kelurahan yang ingin menyaksikan proses penghitungan suara. Ada juga beberapa orang ya toh-tohan, main judi. Mereka bertaruh beberapa puluh ribu. Sebagian menjagoi Jagung, Pak Rawuh. Pasar taruhan dikuasai dukungan untuk Pak Rawuh.
Beberapa jam kemudian dilakukan penghitungan suara.
“Jagung “ kata panitia penghitungan suara membaca lewat mic. Tepukan pun bergemuruh.
“Jagung…” lanjut panitia lagi sambil menunjukkan kertas ke para pengunjung yang menyaksikan proses penghitungan.
“Padi….”
Kubu Sindhu mulai lega, ada satu dua suara yang didapat.
Sampai masuk beberapa ratus suara, suara Pak Rawuh unggul. Sorak sorai tidak berhenti. Pak Rawuh kelihatan sangat bahagia melihat hasil perhitungan sementara. Tangannya sudah melambai-lambai. Sebaliknya Sindhu pucat. Tapi dia berusaha tegar. ‘Ternyata rakyat masih suka uang amplopan’ pikirnya.
Tapi penghitungan suara belum usai. Kertas suara terus dibacakan. Keajaiban terjadi. Dari seratusan kertas suara hampir semua memilih Padi. Suara Sindhu mulai menyalip suara Pak Rawuh. Sindhu mulai berani tersenyum. Tapi tidak lama suara itu dikejar lagi oleh Pak Rawuh. Pak Rawuh gantian semangat lagi. Sindhu menunduk lesu. Dia menyesal mengapa mencemplungkan diri dalam politik. Reputasinya bakal jatuh.
Berikutnya sisa-sisa surat suara semua memberikan suara untuk Padi. Sindhu unggul lagi. Nggak disangka. Pak Rawuh nampak lunglai. Sindhu jadi sumringah.
“Padi dinyatakan menang dengan suara 360 – 315.” suara Panitia lewat mic.
Tepuk tangan membahana. Disertai sorakan kegembiraan.
Kemenangan yang tidak terlalu menggembirakan. Tapi bagus bagi hak Sindhu yang tanpa uang sogokan.
“Akal sehat menag” teriak salah satu pendukung. Para pendukung menyalami Sindhu.
Pendukung Pak Rawuh mulai beringsut dari halaman kantor kelurahan.kegembiraan menyelimuti pendukung Sindhu. .
Malam hari rumah Sindhu raai didatangi para pendukungnya.
“kita telah menciptakan sejarah. Menang tanpa sogokan.”
“Betul-betul..” teriak para pendukungnya bangga. Ya mereka bangga memilih karena idealsime, bukan karena iming-iming sogokan yang akan habis dalam 1-2 hari.
Saat para pendukungnya pulang Sindhu mulai mikir. Betapa beratnya memenangkan pilkada ini. Setelah ini dia harus bekerja, harus bisa membuktikan amanah yang diberikan para pemilihnya. Pemilihnya memilih karena ikhlas, tanpa imbalan. Jadi dia harus membuktikan bisa berbuat sesuatu untuk paling tidak para pemilihnya. Dia mulai membayangkan program apa saja yang akan dilaksanakan. Bayangan Sultan Hamengkubuwono IX datang lagi. Ya tahta untuk rakyat. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)
