Pengakuan Sumiati

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Pak Lurah Sindhu berencana mengadakan program pendirian bank untuk penduduk desanya. Ini dalam rangka membantu mereka yang kesulitan keuangan. Bank ini tetap menerapkan bunga namun dengan tingkat yang sangat rendah. Sindhu berangkat ke Jakarta menemui beberap teman SMA dan teman kuliah. Di ingin menggalang dana sebagai modal bank tersebut sekalian untuk modal beasiswa bagi anak-anak kurang mampu di desanya. Meskipun pesimis teman-teman mau membantu tapi Sindhu tetap mencoba.

“Aku mau ke Jakarta..”

“Kapan mas?”

“Besok naik bis dari Delanggu.”

“Yakin teman-temanmu mau bantu?”

“Ya akan kucoba ke beberapa teman. Ada yang jadi kontraktor , ada yang jadi konsultan. Beberapa kerja di migas.”

“Semoga mau.”

**

Sindhu menuju tempat kerja teman kuliah yang lulus berbarengan, Asep.

“Aku punya proyek akherat Sep.”

“eh sejak kapan ada proyek akherat?”

“istilah yang lebih mudah dipahami.”

“Bagaimana Sin, penasaran gue.”

“Merepotkan kamu. Mau bikin bank model Grameen bank. Bank untuk ibu-ibu miskin. Peminjaman jangka pendek. Ibu2 biasanya lebih mudah dipercaya untuk mengembalikan pinjaman. Ibu2 juga menggunakan uang lebih tepat guna.”

“Grameen bank seperti yang di Bangladesh?”

“iya dan sukses di sana. Sasarannya ibu2, yang lebih bisa dipercaya.”

“Gue sih seneng Sin. Gue dukung. Uangnya gampang, masalahnya di pengelolaan Sin. Itu yang harus dipikirkan. Bagaimana dana dikelola dengan jujur dan akuntabel.”

“iya itu yang aku pikirkan juga. Sekalian nanti ada program beasiswa bagi anak-anak kurang mampu.”

“Lah kamu ini mau kasih kail apa kasih ikan?”

“jelas kail dong. Tapi sekali lagi ini proyek akherat. Aku butuh dana tapi tidak kukembalikan. Benar-benar sodakoh.”

“Nggak masalah Sin, “ Asep nampaknya tidak keberatan menyumbang dana cukup besar dalam mendukung program Sindhu.

“Kalau berhasil bisa diperluas.., “lanjut Asep.

“iya kita coba untuk desaku dulu.”

Sindhu mendatangi juga teman SMAnya, Yudhi.

“Program yang bagus. Tapi aku lebih suka membantu pembangunan tempat ibadah. Lebih nyata , amal jariyah.”

“eh tapi ini juga ada program beasiswa. Memajukan pendidikan. Ini juga jariyah.”

“Tapi kan nggak langsung berkaitan dengan ibadah. Beda kan kalau bikin mesjid atau membiayai umroh?”

“Ini program pengembangan masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan pendidikan Yud. Bukan membuat masyarakat beriman. Ini aplikasi iman yang nyata. Kalau kita membiayai umroh, pulang nggak ada bekasnya. Coba kau bisa membantu anak2 menikmati pendidikan, mereka bisa seperti kamu, jadi kontraktor sukses.”

“Lalu setelah mereka pinter memang dunia jadi lebih baik?”

“paling tidak lebih baik bagi kita dan mereka. Mereka punya kesempatn bekerja lebih baik. Kalau kondisi dunia sih di luar urusan kita.”

“Aku butuh waktu Sin untuk berpikir.” Nampaknya Yudhi masih berpikiran beramal itu harus berkaitan dengan ibadah mahdoh, ibadah vertikal.

Sindhu tidak patah arang. Dia berkeliling ke teman-temannya.

“itu ide lama bro. Masalahnya bukan soal pengumpulan modalnya. Tapi bagaimana para pengurusnya nanti tidak menilep uang atau pilih kasih dalam memberi pinjaman,” kata Sentot sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Sejarah koperasi simpan pinjam di negara kita sudah cukup membuktikan. Koperasi banyak gulung tikar karena masalah pengelolaan,”lanjut Sentot.

“Jadi maksudmu bagaimana?”

“Bangsa ini butuh perubahan mental. Bukan soal pengembangan ekonomi atau biaya pendidikan.”

“kita kan harus ambil bagian Tot. Di situ aku ingin berkontribusi.”

“Aku paham bro. Tahu kenapa koperasi justru berkembang di negara-negara Skandinavia?”

“Ya soal mental kan?”

“iya soal kejujuran. Itu nomer satu. Kalau mau membangun, ya mulai dari sana.”

“Kalau mengubah itu, malah kita nggak beranjak Tot. Dari program ku ini aku ingin menerapkan tata kelola yang baik.“

“Harusnya kamu bikin sekolah bro. Sekolah yang mengedepankan pembangunan karakter. Bukan sekolah yang mengajarkan hafalan, dan ritual. Tiru saja sekolah katolik. Di sana kedisiplinan, kebersihan, kepedulian dan juga kejujuran diajarkan.”

Sindhu diem. Dia tidak menolak saran Sentot. Bener sekali apa kata Sentot.  Pendidikan memang jadi kunci untuk semua.

*

“Bagaimana mas hasilnya?” tanya Sumi sambil rebahan di ranjang.

“ya bagus. Ada dukungan, ada masukan.”

“Tidak mudah memulai sesuatu yang bagus. Tapi memang harus dicoba. Gagl nggak masalah,”Sumi memberi semangat.

Sindhu senang sekali istrinya bicara begitu.

Malam itu mereka menikmati kebahagiaan jasmani rohani setelah beberapa hari Sindhu pergi.

Dalam satu bulan sudah ada beberapa donatur yang siap mendukung programnya. Termasuk tentu saja uangnya sendiri dan juga bantuan dari papa mertuanya.

“Ini program membantu beneran atau pencitraan saja?” tanya papa Shanghai serius ke Sindhu.

“Bener-bener pa. Tidak ada niat pencitraan untuk karir politik saya.”

“oh bagus kalau begitu, papa dukung. Tapi jika hanya pencitraan biar namamu dikenal harum lalu kamu mau nyalon bupati, papa nggak setuju.”

“Tujuan utamanya membantu masyarakat. Jai programnya jalan. Jika ada efek nama baik saya dikenal masyarakat, itu urusan nanti pa.”

“Ya nggak apa-apa jika namamu lalu dikenal semakin harum. Tapi fokusnya harus ke programnya.”

Sindhu merasa beruntung punya mertua yang satu visi. Langkahnya melakukan perbaikan di desanya mendapat dukungan yang pas. Bagi Sindhu uang untuk menghajikan orang tuanya lebih baik digunakan untuk modal program bank untuk ibu-ibu miskin dan beasiswa anak-anak kurang mampu. Untuk menjaga agar dana tidak habis, para peminjam tetap dikenai bunga tapi harus di bawah BPR atau bank umum.

“Akan bagus kalau modalnya juga diputar di sektor usaha. Ikutkan di usaha pemancingan Janti atau pembibitan ikan. Jadi modalnya nggak akan habis, bisa diputar dulu,” saran papa Shanghai.

Nah bagian itu yang Sindhu harus berpikir keras. Modal sebaiknya bisa terus dijaga agar tidak selalu minta donatur tiap tahun.

Mendengar rencana ini, ibu2 di desa Cokro sangat antusias. Mereka sering butuh uang tunai cepat untuk membiayai hidupnya, juga usaha kecil-kecilan di pasar.

“Wah saya tertarik ini dengan programnya pak lurah.”

“Nggak hanya kamu yu, aku juga tertarik.”

“Tapi jangan lupa mengembalikan lho kalau pinjam uang. Kalau nggak mengembalikan, nanti uangnya habis, kita nggak bisa pinjam lagi.”

“Yalah kita harus ikut membantu agar program bisa jalan. Kan kita-kita yang untung kalau usaha pak lurah ini lancar.”

“Program desa mbah, bukan usaha pak lurah.”

“yo maksudku ngono.”

Ibu-ibu umyek membicarakan jika saja nanti benar-benar bank desa ini bisa jalan.

Sindhu mengajak aparatnya mendata penduduk miskin dan anak-anak sekolah yang perlu bantuan. Kemudian dia hitung uang yang ada. Dia optimis jika program berhasil pasti akan ada teman2nya yang mau ikut menyumbang. Kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas pegelolaan dana.

“Mas kamu jadi lurah kok aneh-aneh saja yang kamu pikirkan? Sudahlah seperti lurah yang lain saja aman. Banyak lho lurah yang begitu-begitu saja tapi tetap dipilih lagi.”

“ya memang enak begitu. Tapi kalau kita bisa berbuat lebih, kenapa tidak?”

“nanti kalau gagal lalu kamu dituduh menilep uang , dan sebagainya bagaimana?”

“Ya siap. Berbuat baik memang ada risikonya. Tapi saya nggak punya kepentingan lain Sum.”

Sumi terharu mengetahui suaminya begitu peduli dengan kemajuan desanya. Padahal Sindhu bukan asli dari situ. Dia datang dari desa lain. Tapi justru Sindhu lebih peduli kemajuan desa itu dari pada yang penduduk asli.

Sumi ingat buku bacaan yang dulu sering dikirim Sindhu. Memang sering ada cerita begitu. Tahun 1850an Douwes Dekker memikirkan rakyat Lebak Banten lebih dari bupati Lebak Adipati Karta. Adipati Karta malah tega memungut pajak pada petani Lebak yang hidup dalam kemiskinan.  Douwes Dekker yang membongkar pemerasan rakyat pribumi oleh para pejabat pribumi. Douwes Dekker juga jadi pelopor Indische Partij, partai politik pertama di tanah air. Partai yang bercita-cita memerdekakan pribumi dari penjajahan bangsa Belanda. Banyak pejabat pribumi yang memilih bermitra dengan Belanda untuk melanggengkan hak-hak istimewa yang mereka nikmati. Dalam bentuknya yang lain, hal-hal seperti itu sampai kini masih berlangsung. Banyak pejabat yang lebih memikirkan nasib kekuasaan dan jabatannya daripada memikirkan nasib rakyatnya yang dipimpin atau diwakili. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Sebuah Pertaruhan

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
1

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *