Kepenyairan Tak Bisa Dimanifestasikan Oleh AI
Oleh: Amang Mawardi
SURABAYA–KEMPALAN : Era online telah
melahirkan banyak penulis, termasuk penyair. Mereka dimudahkan dengan begitu cepatnya karya-karya mereka dimuat di media digital maupun media sosial. Tidak perlu menunggu seminggu di media cetak konvensional, itu pun belum tentu dimuat karena harus antre di meja redaksi seni & budaya untuk diseleksi.
Bahkan era online menyediakan template untuk membantu para penulis atau penyair demi memudahkan lahirnya karya-karya mereka, di antaranya dengan hadirnya AI (Artificial Intelligence).
Nah, ketika para penyair sampai pada depan “mulut” AI, di sinilah persoalannya. Karena kepenulisan penyair menyangkut rasa personal. Pada titik ini tidak bisa diwakili atau dimanifestasikan oleh AI.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ribut Wiyoto penyair, jurnalis, dan Ketua Dewan Kesenian Sidoarjo, saat menjadi pemantik ‘Pembacaan dan Diskusi Puisi 2 Gen’ yang menampilkan Amang Mawardi, Tri Wulaning Purnami, dan HD Aisya, di Studio Kecil BMS (Bengkel Muda Surabaya), kompleks Balai Pemuda, Senin 28 Oktober 2024.
Jil Kalaran yang bertindak sebagai PO (Project Officer), akan terus mengupayakan acara sastra sebulan sekali ini dengan pembacaan dan diskusi. Meskipun itu nanti akan menampilkan novelis, tetap akan dibacakan potongan-potongan novel karyanya, yang lantas akan digiring oleh pemantik ke floor.
Kata Jil, untuk bulan depan akan ditampilkan sastrawan Jawa. Siapa? “Nanti. Nanti akan kita tentukan…” sambung Jil.
Saat berangkat menuju lokasi, saya membayangkan semoga nanti Studio Kecil BMS adem, ada AC-nya. Saya tidak bisa bayangkan, betapa gerah dan pengapnya studio itu, jika tak ada AC, mengingat siang hari layar HP saya mencatat temperatur kota Surabaya 36° C. Eh, ternyata adem banget, kendati Studio Kecil BMS malam itu cukup uyel-uyelan dengan hadirnya sekitar 25 orang.
Di antara mereka tampak Ndindy Indiati memberi kata sambutan mewakili Ketua BMS Heroe Budiarto yang berhalangan hadir, penyair Denting Kemuning, penyair Fatimah Hamidahtul Masjid, aktivis grup WA Sastra Bulan Purnama BMS Nur Azis Asmuni, deklamator Jamal, Peni Citrani Puspaning Citra networker seni budaya, sesepuh BMS Amir Kiah dan Choirul Anam serta sejumlah pelaku dan apresian sastra — termasuk kehadiran novelis Hariono Santoso yang mantan Dirut TVRI.
Malam itu Onoirah (panggilan akrab Hariono) memberikan dua novelnya yaitu ‘Halimun Biru di Singosari’ dan ‘Asmara Cempaka Gading’ masing-masing kepada para penyair dan pemantik yang punya gawe malam itu.
Sampai ketemu di bulan November, Lur ! (Izzat).