Politik Dinasti Racun Demokrasi
KEMPALAN: Secara naluriah politik dinasti lahir dari seorang pemimpin yang ambisius dan haus kekuasaan. Politik dinasti menginginkan keberlanjutan kekuasaan setelah periodenya berakhir menurut ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Politik dinasti keberlanjutan kekuasaan berdasarkan geneologis (isteri, anak, adik, dan menantu).
Di Indonesia dikenal dengan “Politik sayang Anak”, seperti yang terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Megawati Soekarnoputri dengan Puan Maharani. Di daerah sangat banyak terjadi, yang paling legendaris dan masih bertahan adalah “Dinasti Atut” (Banten).
Keluarga Atut tidak menjabat sebagai Bupati/Walikota hanya di tiga area dari sepuluh kabupaten kota wilayah Banten. Secara teritorial untuk Tangerang, baru Airin Rachmi Diany (adik ipar) yang berkuasa selama dua periode sebagai Walikota Tangerang Selatan. Sementara di kabupaten dan kota Tangerang, belum pernah dari keluarga Atut yang berkuasa.
Seperti kita tahu, wilayah Tangerang banyak pendatang karena berfungsi sebagai penopang Jakarta. Saat ini Pilkada Banten tingkat Provinsi (Gubernur) bertarung dari keluarga Airin Rachmi Diany, karena Andika Hazrumy (mantan Wakil Gubernur Banten) mengincar posisi Bupati Serang karena pusat kekuasaan Banten. Andika Hazrumy adalah putra dari Ratu Atut Chosiyah, sedangkan Ratu Tatu Chasanah (petahana Bupati Serang) adalah adik kandung dari Ratu Atut Chosiyah.
Joko Widodo simbol Politik Dinasti
Apa yang dilakukan Joko Widodo,setelah gagal mengupayakan jabatan Presiden tiga periode, dengan memaksakan anak-anaknya, seperti Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden, dan Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipaksakan/diakali melalui kebijakan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) juga gagal.
Di dalam RUU DKJ ada pasal yang menyatakan bahwa Gubernur DKJ dipilih dan ditunjuk oleh Presiden. Untuk itu pilkada yang semula terjadwal November 2024 diubah menjadi awal Oktober 2024, agar dilaksanakan pada saat Joko Widodo masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Untung saja secara politik hubungan Joko Widodo dengan PDI Perjuangan sedang tidak baik, sehingga digagalkan.
Bayangkan jika pasal dalam UU DKJ tersebut ada, putra bontot Joko Widodo (Kaesang Pangarep) akan menjadi Gubernur Jakarta, ditunjuk oleh ayahnya sendiri. Begitu juga dengan rencana menantu Joko Widodo (Erina Gudono-istri dari Kaesang Pangarep) yang diisukan akan maju menjadi kandidat Bupati Sleman.
Sebelumnya, menantu Joko Widodo yang lain (Bobby Nasution-suami dari Kahiyang Ayu) telah ditempatkan menjadi Walikota Medan. Joko Widodo dan Iriana istrinya ingin menantunya menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Joko Widodo “cawe-cawe” untuk memperoleh dukungan dari parpol yang Ketua Umumnya disandera secara politik. Padahal secara objektif Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution tidak mempunyai prestasi yang menjadikannya pantas untuk naik kelas secara politik. Joko Widodo dan Iriana pantas memperoleh gelar The Best Parenting Award, seperti “meme” yang ramai beredar belakangan ini.
Menghancurkan Jenjang Karir secara Sistem Merit
Secara profesional dan teknokratis seharusnya karir politik dinilai secara sistem merit, bukan “geneologis”. Jika dipaksakan (mengubah ketentuan dan Undang Undang), tersirat seakan-akan ada niat buruk di situ. Politik dinasti mengabaikan kepatutan dan rasa malu. Jika keluarga mempunyai potensi dan patut, toh secara alami yang bersangkutan akan dipilih lewat prosedur demokrasi yang sehat.
Kita melihat kebesaran keluarga Kennedy di Amerika Serikat, Gandhi di India, dan Bhutto di Pakistan. Lebih jauh, jika tidak memenuhi syarat dan berkualitas, akan menghancurkan hak kedaulatan rakyat secara demokrasi. State-Corporate Crime ekses Politik Dinasti.
Salah satu ekses dari politik dinasti adalah, maraknya Kepala Daerah yang tertangkap karena korupsi. Tercatat ribuan sudah Kepala Daerah yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ekses dari politik demokrasi liberal dan transaksional.
Demokrasi liberal (one man one vote) berekses di antaranya, uang menentukan pemenangan. Kuncinya adalah kekuasaan (pemerintah), karena infrastruktur Pilkada dan Pemilu dalam kendalinya. Sebut saja: KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), Parpol secara nasional (jika Presiden), dan Ketua DPW dan DPC di tingkat wilayah.
Joko Widodo paham benar perihal teknisnya untuk cawe-cawe, karena sudah dua kali keluar sebagai pemenang (mengalahkan Prabowo Subianto) dengan teknologi kecurangan. Dia menyebutnya dengan Jokowi Effect.
Pengalaman ini menjadikan seorang Kepala Daerah ‘yakin’ bahwa jika sebagai petahana dia bisa dipilih lagi, dan menentukan kekuasaan berikutnya.Kenikmatan kekuasaan yang dijalaninya menimbulkan hasrat untuk diteruskan oleh salah satu keluarganya. Dengan politik transaksional sangat terbuka manipulasi kekuasaan, khususnya perbuatan korupsi.
Jadi politik dinasti sangat eksesif, karena selain nikmat kekuasaan juga bisa disalahgunakan. Pemimpin seperti ini ingin melindungi dirinya dari kejahatan yang dilakukan saat menjabat. Jika pemimpin daerah berikutnya dari keluarga, dia masih mampu untuk mengendalikan semuanya, dan merasa aman.
Budaya Politik yang Anti Demokrasi Istilah Politik Dinasti ada kecenderungan unsur patrimonialistik, dan seperti seorang “raja”. Sikap dan perilaku kekuasaan Joko Widodo, khususnya periode 2019–2024 sangat buruk, dan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Bagaimana besar dan pengaruh kekuasaannya, yang pada awal kekuasaan Joko Widodo adalah seorang petugas partai dan “nunut” kepada Megawati Soekarnoputri. Dengan seluruh kebijakan (Keppres/Perpres), Joko Widodo dapat mengatur dan mewujudkan seluruh hasrat “buruknya”. Bahkan baru pada era ini muncul “politik sandera” dengan memanfaatkan penegak hukum, mulai dari Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK.
Hampir semua pemimpin, selama menjalankan kekuasaan pernah menyalahgunakan kekuasaannya. Apalagi jika dicari dan direkayasa. Apakah Joko Widodo mampu menyandera Prabowo Subianto pasca 20 Oktober 2024 nanti?
Di saat Prabowo Subianto sudah dilantik dengan rentang kekuasaan penuh. Prabowo Subianto tidak berhutang budi kepada taipan (oligarki), ini yang menjadi alasan kenapa Joko Widodo didukung sejak 2014–2024? Karena bisa dijadikan “boneka” mereka (oligarki).
Tinggal urusan nyali saja untuk menindak “fraud” yang dilakukan Joko Widodoselama 10 tahun ini. Kondisi objektif gejolak moneter saat ini adalah tanggungjawab dari Joko Widodo dan Sri Mulyani Indrawati.
Dana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak akan dipenuhi oleh PrabowoSubianto, karena dia juga membutuhkan dana besar untuk program unggulannya, yaitu makan gratis. Aroma konflik mulai terasa ketika “bocil” (Gibran Rakabuming Raka) merilis
buku “The Next President”, dimana menyinggung kesehatan Prabowo Subianto di tahun 2029 nanti. Dilantik saja belum, sudah ingin menjadi Presiden 2029.
Memang perilaku buruk dari bapaknya ditularkan kepada anaknya sebagai putra mahkota politik dinasti. Dia tidak sadar bahwa setelah 20 Oktober 2024 dia bukan siapa-siapa lagi.
Joko Widodo memang punya nyali, tapi tidak punya malu. Setelah menjadi Malin Kundang bagi PDI Perjuangan, sekarang “menekan” Prabowo Subianto dengan gejolak moneter yang seharusnya menjadi tanggung jawab sepenuhnya sebagai Presiden.
Namun Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan mengeluarkan pernyataan bahwa, Prabowo Subianto akan menaikkan ratio pajak menjadi 23%, dan rasio utang akan bertambah 50% selama 5 tahun ke depan. Pernyataan tersebut berekses turunnya peringkat investasi dan utang Indonesia menjadi underweight.
Ucapan Sri Mulyani sangat tidak bertanggungjawab, dan merupakan manuver politik. Sayangnya dari kubu Prabowo Subianto belum ada klarifikasi, sehingga nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat (USD) masih tinggi, dan IHSG masih bergejolak. Sementara rakyat harus menghadapi hantaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan penurunan daya beli karena harga melambung tinggi.
Joko Widodo di ujung menjelang akhir kekuasaannya pun masih cawe-cawe untuk bargaining dengan Prabowo Subianto. Ibarat kehidupan, dia sedang “sekarat”, dan pada 20 Oktober 2024 bukan lagi menjadi orang berkuasa.
Oleh: Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)
