Khusnul Bomiyah

waktu baca 7 menit
Disway bersama Khusnul Chotimah, korban bom Bali (Foto: Disway.id)

KEMPALAN: DUA hari berturut-turut saya datang ke warung. Bersama jenderal polisi bintang tiga Boy Rafli Amar. Beliau pernah jadi kadiv Humas Mabes Polri dan kapolda Papua. Kini jadi kepala BNPT –Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Di warung itu saya bertemu banyak orang. Salah seorang di antaranya Khusnul Chotimah. Saya berbincang hampir 1,5 jam dengan wanita yang kini berusia 52 tahun itu. Rasanya tidak ada wanita yang mendapat musibah lebih berat dari dia.

Tapi juga tidak ada yang punya jiwa lebih kuat dari dia. Saya ajak dia naik panggung. Minggu lalu. Di Warung NKRI di Kafe Hedon, Ngagel, Surabaya. Ada Dialog Kebangsaan di situ.

Tuhan memang tidaky akan memberi cobaan di luar kemampuan seseorang untuk menanggungnya. Tapi hanya Khusnul Chotimah yang mampu menerima penderitaan seberat ini.

BACA JUGA: Fracking Sunak

Dia tidak hanya jadi korban bom Bali. Sampai pun wajah dan tubuhnya luka bakar lebih dari 60 persen.

Dia harus menjalani face off tiga tahap. Badannyi. Kakinyi. Dan wajahnyi. Harus direkonstruksi ulang. Harus pula menjalaninya lebih 30 kali operasi.

Dia lahir di Sidoarjo, Jatim. Dari TK, SD, SMP, sampai SMA sekolah di Muhammadiyah Sidoarjo. Yang di pusat kota itu. Alumnus Muhammadiyah ini jadi korban bom yang diledakkan oleh orang yang mengaku berjuang untuk Islam.

Ayah Khusnul seorang ustad. Sang ayah sudah melarang anak wanitanya itu bekerja di Bali. Tapi Khusnul tidak tahu harus bekerja apa di Sidoarjo. Diam-diam dia gadaikan sepeda pancalnyi. Dia ke Bali. Dia bikin usaha sablon di sana. Nyali Khusnul memang tinggi. Dia pesilat handal Tapak Suci. Levelnyi ban hitam.

Ayahnyi sendiri yang menggembleng. Sang ayah juga seorang pendekar silat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *