Seni Grafis: Keluar dari Rahim Kezaliman (Aksi Kebudayaan dan Partisipasi Politik)

waktu baca 13 menit
Tak sempat dikubur. (Grafis: Saiful Hadjar)

Oleh: Saiful Hadjar

KEMPALAN: Seorang seniman (grafis) memiliki kesadaran terhadap dirinya sebagai fungsi sosial, tentunya setiap berkarya tidak terlintas keinginan untuk menghidupi atau menyemarakkan iklim dunia seni rupa. Juga tak ada keinginan memperjuangkan seni grafis, yang kerap kali dianggap warga kelas dua.

Di tengah-tengah arus perkembangan seni rupa kita, ada yang berkeinginan mengarahkan seni grafis pada kesenian budaya industri. Di mana senimannya diajak untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai ekonomi. Karena banyak yang beranggapan, hanya dengan keberuntungan ekonomi perkembangan seni budaya bisa berjalan. Jadi seni grafis dapat berkembang apabila mampu menghidupi senimannya.

Seni grafis diarahkan pada mencari keuntungan ekonomi, tak akan senasib dengan seni lukis, mengingat seni grafis dapat diproduksi—sulit dilacak dan membutuhkan kejujuran kreator yang bersangkutan—berapa diperbanyak dan dimana saja penyebaran karya tersebut. Sehingga kemurnian seni grafis tidak banyak memberikan keuntungan ekonomi. Realitasnya banyak orang bangga memiliki lukisan dari pada seni grafis, karena kemurniannya yang tunggal.

Lain dengan keberuntungan seni grafis dapat diproduksi secara massal, yaitu sering dipakai untuk gerakan kebudayaan. Tidak jarang seni grafis dimanfaatkan sebagai alat propaganda oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sesaat. Lebih jauh lagi seni grafis dapat difungsikan sebagai alat pembelajaran, pembebasan, pemberontakan, provokasi, pendampingan, pencerahan dan seterusnya—dalam kontek gerakan kebudayaan.

Sebagaimana mestinya seni grafis merupakan aksi kebudayaan, selalu hadir di tengah-tengah konflik sosial, politik, ekonomi, hukum, lingkungan, industri dan segala jenis kepincangan realitas sosial. Kehadirannya, memberikan kesaksian dan menjawab atau merespon tantangan zaman.

Sedang seni grafis (cukil kayu) sudah dikenal di Cina pada pertengahan abad VII, dan di Eropa mulai dikenal pada permulaan abad XV. Sepanjang lintasan sejarah seni grafis, yang sangat menarik dan sesuai dengan keberadaan sistem politik Indonesia, adalah karya seni grafis yang lahir di masa Jerman dalam kekuasaan tentara Nazi (1933-1945). Mengingat Nazional Sosialismus (Nazi) sinonim dengan Neue Ordnung. Kata bahasa Jerman yang artina, “neue” adalah “baru” dan “ordnung” adalah “orde” sebenarnya ini adalah bahasa Belanda. Jadi “Orde Baru” yang ada di Indonesia dengan “Neue Ordnung” yang ada di Jerman memiliki kesamaan.

Neue Ordnung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *