Kaesang Menghantu seperti Bapaknya
KEMPALAN: Kaesang Pangarep anak bungsu Presiden Jokowi viral di media sosial beberapa hari belakangan. Tidak ada hubungan dengan politik dinasti seperti yang diributkan karena dua kakaknya menjadi walikota, kali si bungsu jadi berita karena putus cinta dengan pacarnya, atau lebih tepatnya memutuskan cinta pacarnya.
Namanya juga anak-anak baru gede, berita kelas gosip seperti ini seharusnya berita yang biasa-biasa saja. Tapi karena yang punya gosip ini anak presiden maka beritanya jadi viral. Di mana pun di dunia aktivitas The First Family, keluarga presiden, selalu menjadi daya tarik media, mulai dari aktivitas politik, sosial, sampai aktivitas ringan yang remeh-temeh selalu menjadi santapan media.
Anak muda putus pacaran adalah hal biasa, tapi kalau yang putus cinta anak presiden menjadi luar biasa. Hal biasa (ordinary thinngs) yang dilakukan oleh orang yang tidak bisa (extra-ordinary people) akan menghasilkan berita menarik. Itulah rumus tabloidisme yang dianut media-media tabloid pemburu gosip dan entertainment.
Kali ini berita mengenai Kaesang menjadi buruan para tukang gosip di jagat media sosial dan menjadi incaran pekerja infotainment yang selalu berburu berita-berita gosip para selebritas. Kaesang dikabarkan memutus gadis Singapura yang sudah dipacarinya selama lima tahun sejak sekolah di Singapura. Gosip menyebutkan Kaesang sudah berjanji akan menikahi pacarnya itu.
Tapi belakangan Kaesang dikabarkan raib menghilang. Begitu pengakuan ibu si cewek. Tentu bukan raib atau menghilang betulan, karena sebagai anggota The First Family Kaesang mendapat pengawalan dan pengawasan full dari Paspampres, Pasukan Pengaman Presiden. Kalau betul Kaesang hilang Paspampres pasti sudah kalang kabut dan komandannya dipecat mendadak. Tapi Kaesang menghilang karena tidak bisa lagi dihubungi oleh pacarnya. Mungkin nomor hapenya ganti, atau setiap kali ditelepon selalu reject, atau sudah saling unfollow medsos masing-masing.
Belakangan ibu si gadis mencurigai Kaesang main serong alias selingkuh dan pacaran dengan cewek lain yang kabarnya bekerja menjadi manajer di perusahaan Kaesang. Media sosial, media entertainment, dan media-media online sontak ribut berebut mengekspos gosip ini dari berbagai macam angle. Ada yang menyebut Kaesang sebagai tukang PHP, pemberi harapan palsu, ada yang menyebutnya pengkhianat, ada yang menyebutnya begal cinta, ada pula yang menyebutnya telah melakukan ghosting alias menghilang seperti hantu.
Gosip Kaesang menggeser berita-berita heboh seperti Moeldoko yang dituduh melakukan begal politik dengan merebut paksa kepemimpinan Partai Demokrat dari AHY, Agus Harimurti Yudhoyono. Berita gosip Kaesang menenggelamkan berita skandal penggelapan pajak triliunan rupiah oleh petugas pajak, dan berita-berita korupsi menjadi nyaris tak terdengar gegara gosip Kaesang.
Tapi dalang tidak kehabisan lakon. Berita gosip pun bisa menjadi gosip politik. Ulah anak baru gede yang sedang doyan pacaran pun jadi dijadikan isu-isu politik yang dikaitkan dengan bapaknya. Soal Kaesang jago PHP lihat dulu dong siapa bapaknya. Jokowi gitu loh. Para pengritik Jokowi sudah lama menyebutnya sebagai raja PHP, pembohong, dan suka ingkar janji. Majalah Tempo memajang cover depan dengan foto karikatural Jokowi yang berhidung panjang ala Pinokio.
Like father like son, kata pepatah Inggris. Kacang tidak meninggalkan lanjaran, begitu kata pepatah Jawa. Buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Kaesang dianggap mewarisi sikap politik ayahnya. Gaya pacaran Kaesang sama dengan gaya politik bapaknya, doyan PHP.
Kaesang yang tetiba menghilang disebut melakukan ghosting, menghantu. Terminologi ini dikenal dalam ilmu psikologi untuk menggambarkan seseorang yang berlaku tidak bertanggung jawab dengan cara menghilang dan menghindari tanggung jawab. Dalam ilmu psikologi milineal ghosting dipakai menjadi salah satu cara untuk memutus hubungan cinta dengan cara menghilang tanpa memberikan alasan dan pernyataan verbal.
Kaesang yang jago menghilang mungkin mewarisi sifat bapaknya yang sering menghilang dari kasus-kasus besar. Dalam kasus pembegalan Partai Demokrat, Jokowi melakukan ghosting, menghilang. Mungkin para komentator politik bisa menyebut apa yang dilakukan Jokowi sebagai political ghosting. Dalam kasus Partai Demokrat Jokowi didesak untuk berbicara dan bertindak tegas dengan memberhentikan Moeldoko dari jabatannya sebagai KSP, Kepala Staf Presiden.
Tapi Jokowi lebih memilih ghosting daripada muncul dan berkomentar mengenai kasus ini.
Sebagai atasan langsung Moeldoko, Jokowi seharusnya tahu apa yang dilakukan anak buahnya. Atau setidaknya Moeldoko sebagai anak buah melapor kepada bosnya dan minta izin untuk menjadi ketua partai. Begitu kata beberapa pundit politik. Tapi, Jokowi memilih menghilang daripada hadir memberi penjelasan kepada publik.
Masalah Moeldoko adalah masalah etika politik. Membiarkan kasus ini berlarut-larut tanpa kehadiran presiden akan merusak tradisi dan etika demokrasi. Kalau orang-orang tua bertindak menerabas etika jangan salahkan anak-anak muda yang ikut-ikutan bertindak tanpa etika. Kita berbusa-busa berbicara mengenai kenakalan remaja tapi lupa berbicara mengenai kenakalan orang tua.
Etika, moral, dan sopan santun diperoleh dari lingkungan sosial terdekat di dalam keluarga. Anak akan mengadopsi nilai moral dari orang tua dan keluarga. Orang tua akan menjadi role model bagi anak-anaknya dalam hal standar moral. Anak-anak juga akan menetapkan standar moral dari lingkungan sosial sekitarnya. Dari peer group, teman-teman bermain, anak-anak belajar nilai moral. Kemudian dalam lingkup yang lebih besar anak-anak akan menetapkan nilai moralnya dari standar masyarakat.
Para ahli psikologi moral berdebat apakah etika dan moralitas itu tumbuh pada seseorang secara alamiah atau karena didikan. Kelompok nativist percaya bahwa manusia memahami standar moral secara alamiah, semakin dewasa seseorang akan makin tinggi standar moralnya. Anak kecil yang belum akil balig tidak punya standar moral sebaik orang dewasa yang sudah bisa memakai akalnya.
Ada juga mazhab institutionist yang percaya bahwa nilai moral bisa tumbuh kalau diajarkan dan ditularkan oleh lingkungan dan orang-orang terdekatnya melalui pendidikan yang benar. Manusia secara umum lebih suka menilai sesuatu berdasarkan pertimbangan emosi daripada karena pertimbangan rasional. Ketika melihat sesuatu yang tidak adil emosinya langsung muncul dan memberi vonis secara instan.
Ketika melihat Moeldoko menjadi ketua Partai Demokrat secara instan orang-orang akan terpantik emosinya terlebih dahulu. Orang-orang akan menganggapnya sebagai tindakan yang tidak beretika dan tidak bermoral. Pertimbangan-pertimbangan rasional politik tidak bisa menghilangkan pertimbangan emosi.
Begitu pula ketika mendengar kabar Kaesang memutus cinta pacarnya dengan semena-mena, orang akan terpancing emosinya dan cepat memberi judgement bahwa Kaesang melakukan tindakan yang tidak beretika atau malah tidak bermoral.
Emosi masyarakat lebih cepat tersulut sehingga penjelasan rasional sering tidak ada gunanya. Begitulah psikologi moral bekerja. Orang mengaitkan satu tindakan dengan tindakan lainnya. Kudeta Moeldoko yang tidak beretika dikaitkan dengan Jokowi sebagai atasannya. Pemutusan hubungan cinta oleh Kaesang yang dianggap tidak beretika dikaitkan dengan Jokowi sebagai bapaknya.
Pada masa-masa awal kepresidenan Jokowi sering mengatakan bahwa negara harus hadir untuk menyelesaikan berbagai persoalan penting. Ketika hak-hak rakyat dirampas dengan semena-mena negara harus hadir. Ketika rakyat mendapat perlakuan hukum yang tidak adil negara wajib hadir. Ketika terjadi kezaliman yang menyengsarakan orang lain negara kudu hadir. Ketika rakyat menghadapi kesulitan ekonomi negara hadir. Ketika rakyat tertimpa bencana dan musibah negara hadir.
Pokoknya negara harus hadir dimana-mana untuk menyelesaikan masalah rakyat.
Karena itu presiden sebagai representasi negara harus hadir dan tidak boleh menghilang. Presiden harus visible, terlihat, bukan invisible, tidak terlihat. Presiden harus menjadi political saviour, penyelamat politik ketika terjadi kemelut politik. Presiden jangan menjadi hantu politik, melakukan political ghosting dengan berdalih “bukan urusan saya”. Semua urusan yang terjadi di negeri ini adalah urusan presiden. Untuk itulah negara ini mengangkat presiden.
Urusan negara memang ruwet bin ribet. Jadi wajar kalau Presiden Jokowi berkata, ”ruwet, ruwet, ruwet..”. (*)
