Bayang-Bayang 1998 dan jebakan Krisis Baru
KEMPALAN: Isu reshuffle kabinet yang menyoroti kemungkinan pencopotan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menteri Keuangan memicu spekulasi serius tentang stabilitas ekonomi Indonesia.
SMI selama ini bukan sekadar teknokrat, melainkan simbol kepercayaan pasar internasional terhadap kebijakan fiskal Indonesia.
Reputasinya di mata IMF, Bank Dunia, dan investor global menjadikannya figur kunci yang menopang legitimasi ekonomi negara.
Membayangkan penggantian SMI di tengah situasi politik yang panas, publik segera teringat pada bayang-bayang krisis 1998.
Saat itu, penolakan Soeharto terhadap intervensi IMF berujung pada runtuhnya kepercayaan pasar dan kejatuhan rupiah.
Meski konteks berbeda, logika pasar tetap sama: hilangnya figur yang dianggap menjamin kredibilitas kebijakan akan memicu ketidakpastian.
Jika reshuffle benar terjadi, risiko capital flight, depresiasi rupiah, dan melemahnya cadangan devisa menjadi ancaman nyata.
Di sisi lain, posisi SMI juga sarat dengan dimensi geopolitik. Ia dikenal memiliki “perlindungan” elit global, sehingga pencopotannya bisa dipersepsikan sebagai pelanggaran terhadap aturan main yang lebih besar.
Jika ini terjadi, Indonesia berisiko menghadapi boikot atau pengawasan ketat, yang berimbas pada legitimasi Presiden terpilih Prabowo Subianto (PS) di panggung internasional.
Ironisnya, nilai strategis SMI di mata global justru bisa dinilai lebih tinggi dibandingkan PS sendiri.
Spekulasi politik dalam negeri menambah keruwetan. Dugaan adanya manuver “geng Solo” dan kenaikan posisi Gibran dinilai berpotensi mengundang resistensi dari kekuatan global yang khawatir terhadap pengaruh Cina.
Jika benar, Indonesia bisa terseret dalam konflik geopolitik yang lebih besar, dengan ekonomi sebagai korban pertama.
Pelajaran dari 1998 menegaskan bahwa menjaga stabilitas ekonomi tak lepas dari menjaga kepercayaan pasar. Karena itu, mempertahankan SMI bukan soal individu, melainkan strategi mencegah krisis.
Jika reshuffle tetap dilakukan, pemerintah harus menyiapkan komunikasi dan kebijakan yang mampu meredam gejolak. Tanpa itu, Indonesia berisiko terjebak dalam krisis baru yang sesungguhnya bisa dihindari. ()
Oleh: Bambang Eko Mei









