Jalan Tasawuf KH. Syaiful Ulum Nawawi (5)

waktu baca 3 menit
K.H Syaiful Ulum Nawawi (*)

KEMPALAN : Pada pertemuan ke-2 12 Februari 2025 dengan KH. Syaiful Ulum Nawawi, kami berbicara tentang kriminalitas yang dilakukan orang kecil dalam perspektif tasawuf.

Saya mengajukan permasalahan begini : Ada seorang ayah ketahuan orang kampung nyolong sepeda, langsung digebuki sampai tewas.

Tak lama kemudian HP butut jadul di saku celana maling naas tadi berbunyi. Lantas oleh salah satu warga, HP diambil dan tombol “terima” digeser, terdengar suara anak perempuan, bunyinya begini : “Ayah, apa sudah dapat uang ? Ini adik pingin makan bubur, panasnya makin tinggi. Kalau sudah dapat, segera belikan beras ya, Yah. Nanti akan saya masak dan saya jadikan bubur.”

Dari penelusuran orang-orang kampung di tempat kejadian, maling naas ini ternyata orang baik, penghuni kampung sebelah, sudah sebulan ini kena PHK. Dan agaknya, baru pertama kali ini nyolong, setelah cari pinjaman sana-sini tidak berhasil.

Saya pun bertanya : “Nyuwun sewu Pak Kyai, bagaimana pendapat panjenengan?”

Lantas beliau memulai pendapatnya begini :

Hukum syariat melihat sesuatu secara dhohir, sebagaimana tampak apa adanya. Mencuri yang dilihat secara dhohir, secara hakikat hukum positif, ya muaranya : hukuman.

Dan hukumannya tergantung besar kecil kesalahannya.

Nah, hakikat tasawuf itu kan welas asih. Jadi sesuatu yang terjadi itu harus dilihat dari perspektif kasih sayang. Dari sudut pandang kemanusiaan. Kalau maling sudah menjadi kebiasaan, sudah profesi, sudah jadi mata pencarian, muaranya ya : hukum positif yang disahkan negara.

Dalam perspektif tasawuf, kita melihat di balik “kejadian itu”, sesungguhnya ada apa sih. Apa yang menyebabkan seseorang berbuat demikian.

Gampangnya begini : kenapa dia mencuri, apa itu bagian daripada perilaku sehari-hari. Perilaku yang berlanjut jadi ‘kulina’.

Atau apakah orang mencuri karena terpaksa, karena desakan kebutuhan hidup yang menjadikan orang itu mengalami tekanan yang berat.

Saat mau nyolong, maling sepeda tadi mungkin sudah berpikir berulang-ulang, ‘kalau aku tidak ambil sepeda ini, anakku yang sakit bisa mati kelaparan karena mulai malam kemarin perutnya belum kemasukan apa-apa’.

Dalam kehendak Allah, semua orang sering diuji. Dalam ujian tadi, orang tersebut ternyata kemudian mencuri, maka mencuri ini didasari karena keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan dasar : makan. Apalagi salah satu anaknya sakit.

Nah seorang sufi tidak memandang secara hukum hitam-putih. Tidak begitu cara pandangnya bahwa orang yang mencuri ya harus dihukum. Dilihat yang melatar-belakangi.

Nah, sesuatu yang terjadi –sekali lagi– tidak harus dilihat secara hitam-putih.

Sebab, kata KH. Syaiful Ulum Nawawi, tak ada orang yang benar-benar putih. Di antara putih itu, sedikitnya ada nuansa hitam.

Sebaliknya tak ada orang yang benar-benar hitam. Di antara hitam, InsyaAllah ada titik-titik putihnya.

Pada akhirnya kebanyakan manusia berproses menuju putih. Caranya macam-macam.

“Sebetulnya maling tadi kan ingin menuju putih dengan tujuan ingin memberi makan keluarganya dan berusaha menyembuhkan anaknya yang sakit. Tapi, dia menempuh jalan terjal, hitam legam.”

Nah, seorang sufi senantiasa melihat sesuatu tidak dengan format ‘hitam-putih’. (Bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *