Kaesang, Kaji Nunut, dan Tumpeng Maut
Oleh : Dhimam Abror Djuraid
SURABAYA-KEMPALAN : Publik Jawa Timur yang cukup senior mungkin masih ingat kisah mengenai ‘’Kaji Nunut’’ yang terjadi pada 1992. Ketika itu, seorang lalaki asal Jombang berhasil nebeng pesawat gratis dari Surabaya menuju Bandara Jeddah, Arab Saudi. Penebeng itu terbang bersama rombongan jamaah haji dari Jawa Timur secara gratis tanpa bayar sepeserpun.
Kisah nebeng Kaji Nunut itu menjadi headlines media seluruh Jawa Timur dan kemudian juga menjadi berita nasional. Penebeng bernama Choirun Nasichin—sekarang berusia 60-an tahun—berhasil masuk ke Jeddah, tetapi tidak berhasil ikut melaksanakan haji, karena tertangkap oleh petugas imigrasi Arab Saudi setelah ketahuan tidak punya dokumen apapun.
Nasichin sangat terobsesi untuk berangkat haji. Saking kepinginnya, ia memacak dirinya seperti Pak Haji dengan mengenakan peci haji putih, baju takwa, dan dilengkapi dengan sorban yang melingar di pundaknya. Pendidikannya yang tidak tinggi membuatnya tidak paham aturan keberangkatan haji. Tekad Nasichin hanya satu, apapun caranya ia harus berangkat haji.
Maka ia pun melihat dari televisi bagaimana jamaah haji diberangkatkan dari Bandara Juanda, Surabaya. Iapun berangkat ke Juanda, memakai pakaian putih-putih seperti jamaah haji lainnya, dan langsung ikut berbaris bersama jamaah haji lain.
Ia bisa masuk ke bandar bersama rombongan haji. Ia bisa naik ke pesawat dengan aman. Ia juga bisa mendapatkan seat di dalam pesawat. Awak kabin pesawat rupanya mafhum bahwa mayoritas jamaah haji tidak akan paham ketika ditanyai mengenai boarding pass. Maka Nasichin yang tidak membawa boarding pass pun diberi tempat di seat paling belakang.
Nasichin ikut terbang dan mendarat di bandara haji Jeddah. Persoalan mulai muncul ketika berhadapan dengan imigrasi Arab Saudi. Petugas duane yang memeriksa Nasichin tidak menemukan selembar dokumen pun yang dipunyai Nasichin. Setelah dilaporkan kepada karom—kepala rombongan—ketahuanlah bahwa Nasichin tidak punya dokumen, dan dia hanya nebeng dari Surabaya sampai ke Jeddah.
Nasichin pun dideportasi balik ke Surabaya. Obsesinya untuk berangkat haji pupus. Ia sangat sedih dan terpukul. Tapi, ada hikmah besar di balik peristiwa itu. Kisah Nasichin nebeng menjadi berita besar. Setiap harii selama berbminggu-minggu berita nebeng itu menjadi perhatian publik. Nasichin menjadi selebritas dadakan yang banyak dicari orang.
Banyak yang bersimpati terhadap kejadian yang dialami Nasichin. Seorang juragan tambak dari Greges, Surabaya terketuk hatinya untuk membantu Nasichin dengan membiayainya berangkat haji. Maka tahun berikutnya Nasichin berangkat ke Tanah Suci tanpa harus nebeng. Nasichin menjadi haji betulan, tetapi dia sudah kadung terkenal sebagai Kaji Nunut.
Sampai sekarang predikat itu masih menempel kepadanya. Ia masih sering diundang kemana-mana untuk berceramah menuturkan kisah nebengnya. Sebuah perusahaan travel haji mempekerjakannya sebagai pembimbing haji dan umroh. Rupanya nama Kaji Nunut masih menjadi daya tarik bagi sebagian orang untuk ikut berhaji atau umroh bersamanya.
Saat ini cerita mengenai nebeng kembali viral. Pelakunya bukan laki-laki miskin dan lugu dari desa seperti Nasichin. Kisah nebeng kali ini adalah nebeng high class karena melibatkan Kaesang Pangarep, anak ragil Mulyono alias Joko Widodo, presiden Republik Indonesia.
Nasichin nebeng karena tidak punya uang dan tidak tahu bagaimana caranya bisa berangkat haji. Kaesang tentu tidak miskin dan tahu bagaimana caranya untuk bisa terbang ke Amerika Serikat mengantar istrinya yang hendak kuliah disana. Nasichin menjadi headlines karena tertangkap imigrasi dan kemudian dideportasi. Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, tertagkap oleh netizen dan kemudian kisah perjalanannya dibongkar habis-habisan.
Kaesang dan istrinya menjadi viral nasional. Publik mendesak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memanggil pasangan itu karena ada indikasi terjadinya gratifikasi terhadap keluarga presiden. Kaesang dan pembela-pembelanya masih mencoba bertahan. Tetapi, serangan yang bergelombang membuat pertahanan Kaesang jebol. Ia pun datang ke KPK untuk klarifikasi.
Kaesang membual bahwa dia datang ke KPK atas inisiatif sendiri. Sangat mungkin dia tidak akan datang kalau kepergiannya ke Amerika tidak bocor, dan publik tidak menyorot hubungannya dengan seorang pengusaha rekanan yang kemudian meminjaminya pesawat pribadi gratis.
KPK terlihat setengah hati. Terlihat ada skenario yang disusun supaya tidak ada unsur gratifikasi dalam kasus ini. Maka Kaesang pun berkilah bahwa ia cuma nebeng pesawat milik temannya. Sang teman si empunya pesawat tidak ikut dalam pesawat itu.
Alih-alih tenang, netizen semakin gencar menyerang Kaesang. Istilah nebeng kemudian menjadi kosa kata paling populer beberapa waktu terakhir. Nebeng, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya ikut bersama, menumpang, ikut makan, tanpa membayar.
Orang yang tidak punya kendaraan dari rumah ke tempat kerja bisa nebeng ke temannya yang mempunyai kendaraan dengan tujuan searah. Nebeng hanya melibatkan satu orang atau paling banyak dua. Tapi, kalau nebengnya ke Amerika dengan pesawat pribadi dan membawa rombongan empat orang namanya bukan nebeng tapi boyongan.
Netizen menanggap Kaesang mencari dalih untuk menghindar dari jeratan gratifikasi keluarga pejabat negara. Netizen menganggap upaya ini sebagai bagian dari cebok nasional keluarga Jokowi untuk membersihkan aib keluarga.
KPK mengatakan bahwa Kaesang dan keluarga bisa membayar biaya nebeng itu supaya dugaan gratifikasi itu bisa dibersihkan. Kabarnya biaya sewa pesawat pribadi ke Amerika Serikat per orang Rp 90 juta. Kalau rombongan Kaesang berjumlah empat orang berarti Rp 360 juta. Harus dibayarkan kepada siapa? Ya kepada pemilik yang menyewakan pesawat omprengan itu. Kalau sewa sudah dibayar berarti kasusnya sudah selesai. Mungkin begitu logikanya.
Logika ini sama dengan logika ‘’tumpeng maut’’. Apa itu? Masyarakat Surabaya pecinta ludruk familiar dengan kisah tumpeng maut dalam cerita ludruk Cak Kartolo. Alkisah, Kartolo dan teman-temannya mencuri ayam malam-malam dari tetangganya, Pak Basman. Kartolo kemudian memasak ayam itu dan dijadikan tumpeng untuk dimakan bersama-sama. Kartolo mengajak Pak Basman untuk ikut serta pesta tumpeng.
Keesokan harinya Basman kaget karena ayamnya hilang. Ia menuduh Kartolo sebagai pencuri. Kartolo mengaku mencuri tapi dia mengatakan bahwa Basman ikut menikmati hasil curian karena tadi malam ikut makan nasi tumpeng. Basman tidak berkutik karena kena jebak oleh Kartolo. Dengan mengedumel Basman mengatakan bahwa tumpeng Kartolo adalah tumpeng maut.
Kisah korupsi dan gratifikasi yang diduga melibatkan keluarga Jokowi ibarat sebuah tumpeng maut. Keluarga Jokowi ikut bancakan menikmati kenduri tumpeng maut hasil korupsi. Tidak hanya Jokowi dan keluarga yang harus bertanggung jawab, semua kroni harus ikut menangung risiko akibat bancakan tumpeng maut. (Izzat)