Jalan Terjal Trah/Dinasti Jokowi

waktu baca 5 menit
Presiden Joko Widodo bersama keluarga inti yang menjad dinasti politik baru di Indonesia

KEMPALAN: Direktur PolMark Research Centre Eep Saefulloh Fatah dalam siaran bocoran hasil surveinya yang tersebar di media sosial seminggu lalu, mengungkapkan secara terang benderang perlawanannya, untuk mengalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu dua bulan. Targetnya, Sang Presiden harus turun.

Eep menyebutkan ada 4 krisis, krisis moral terkait penetapan capres dan cawapres, krisis dukungan politik (jokowi kehilangan lebih 50 persen dukungan politik), krisis kebijakan (gagalnya kebijakan), dan krisis elektoral.

Keempat krisis itu menjadi ancaman bencana politik bagi Jokowi yang juga selain itu, fakta bahwa tidak adanya capaian Jokowi yang signifikan. Perlu langkah penyelamatan, dan kecenderungannya adalah dengan membentuk trah politik di Indonesia.

Keluarga adalah orang yang memiliki kedekatan secara personal dan rela berkorban bagi Anda, karenanya Jokowi meletakkan kepercayaan kepada dan memanfaatkan keluarga. Untuk itu membangun dinasti politik menjadi solusi keselamatannya: dinasti Jokowi. Dinasti ini menyaingi politik trah yang telah ada: trah Soekarno, Soeharto, Abdul Rahman Wahid,  Soesilo Bambang Yudhoyono.

Tragisnya, trah dinasti politik Jokowi dibentuk dari cara-cara yang “tidak etis,” pelanggaran etika berat, dengan memanfaatkan dimensi kekeluargaan tersebut. Ketua Mahkamah Konsitutusi (MK) Anwar Usman, yang berstatus sang paman, memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka (36 tahun). Gibran pun melenggang menjadi wakil Presiden Prabowo Subianto. Bahwa capres dan cawapres tidak ada batasan minimal usia, meski dari kalangan muda-belia diperbolehkan asal pernah menjadi pimpinan kota atau daerah.

Kebijakan MK tersebut menuai kecaman keras dari hampir semua elemen bangsa karena keputusan yang menyesuaikan dengan kondisi sang keponakan.

Dibuatlah Majelis Kehormatan (MK) MK. MK MK  ini pun memberikan penilaian bahwa terjadi pelanggaran etika berat dari keputusan ketua Mahkamah Konstitutsi Anwar Usman. Namun tetap saja, ini tidak berpengaruh karena sifatnya hanya etis, yang tidak mengikat secara hukum.

Jokowi memang fenomenal. Berawal dari kepemipinannya sebagai walikota Solo satu setengah periode, Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun, dan dua kali presiden Republik Indonesia.

Namun, selama kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden RI, teriring banyak suara menyeru tentang lemahnya kepemimpinan Jokowi, bahkan secara verbal kebijakan-kebijakannya disebut dungu, oleh Rocky Gerung, kerana banyak tidak nyambung antara hulu dan hilirnya. Orang pun berasumsi bahwa keputusan ketua MK terindikasi salah satu “kebijakan” Jokowi yang memengaruhi MK. Ini menjadi kedunguan akut jika Jokowi mengira rakyat tidak tahu apa yang terjadi.

Termasuk kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara yang diambil tanpa melalui proses hukum yang benar yang langsung dijadikan undang-undang. Demikian juga dengan Omnibus Law yang menuai banyak protes karena hanya mementingkan kepentingan pengusaha.

Lebih lanjut, dalam konteks politik, di internal PDIP Sendiri, Jokowi kini terkesan ditinggalkan, menyusul sikap keluarganya yang tidak lagi berafiliasi dengan partai banteng tersebut. Dalam aturan mainnya, keluarga dari kader PDIP harus terafilisasi PDIP.

Jokowi sepertinya tahu, bahwa dirinya tidak mungkin menjadi bagian penting dari PDIP. Sebagai mantan presiden, tradisinya dia menjadi ketua partai atau ketua pembina partai. Lalu siapa yang bisa berada di atas Megawati Soekarno Putri di PDIP? PDIP adalah partai yang ketua atau pemimpin tertingginya harus mengalir darah Soekarno dalam dirinya. Sedangkan Joko Widodo itu siapa?

Memang benar adagium dalam politik bahwa tidak ada kawan abadi, demikian juga lawan abadi. Joko Widodo yang merupakan “peliharaan”/binaan PDIP, melakukan, secara sembunyi-sembunyi, maupun terang-terangan, “perlawanan.”

Yang semula pro bisa jadi kontra. Yang kontra bisa menjadi pro. Seperti halnya Prabowo Subianto, rival terberat Joko Widodo dalam dua peridoe pemilu, akhrinya tidak tahan menjadi oposisi dan bergabung dengan keuasaan menjadi menteri pertahanan Jokowi. Demikian juga Ganjar Pranowo, yang “dimusuhi” karena “melawan” Megawati bahkan disebut “celeng” (babi liar), namun akhirnya dianggap sebagai anak emas PDIP untuk dijadiakn Petugas Partai berikutnya melawan Gibran “Jokowi” Rakabuming.

Boleh jadi telah dibuat skenario sejak awal kepemimpinan periode keduanya untuk mencarikan tempat terbak bagi Jokowi pasca menjadi presiden. Proses perebutan paksa yang gagal, dalam usaha menggulingkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketua Umum Demokrat melalui tangan Kepala Staff Ahli Kepresidenan Moeldoko. Kini terkesan jelas bahwa kala itu partai besutan SBY tersebut akan diakuisisi Moeldoko. Tujuannya bisa kita tafsirkan sekarang adalah untuk menjadi jalan bagi partai Jokowi nantinya. Jika seandainya Moeldoko menjadi Ketua Umum Demokrat, maka Ketua Pembinanya adalah Jokowi. Namun rencana ini gagal total. Ironisnya, Demokrat malah merapat ke koalisi politik “Prabowo Gibran.”

Kini, tersedia karpet merah yang lebih menjanjikan bagi Jokowi dengan dijadiakannya putranya Kaesang Pangarep (29 tahun) menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ini menjadikan jalan lebar bagi Jokowi untuk memiliki partainya sendiri, dan membentuk trah politiknya. Jaring kekuasaannya itu mulai dibentuk sejak menantunya menjadi walikota Medan, anaknya Gibran yang menjadi walikota solo dan kemudian cawapres. Selanjutnya Gibran akan bisa mengantarkan terwujudnya trah/dinasti politik Joko Widodo dengan menjadi pucuk pimpinan tertinggi eksekutif. Harapannya menyelematkan sang Bapak dari kejatuhannya pasca lengser dari persiden RI.

EEP Saeful Fatah yang dulu mendukung Jokowi, berani melakukan perlawanan terhadap Joko Widodo adalah karena pasca pecahnya kongsi mayoritas partai-partai politik di pemerintahan, maka tidak tidak lagi banyak kekuatan partai yang memback-up Jokowi secara politik. Bahkan kawan-kawan politik Jokowi kini telah berubah menjadi lawan-lawan politiknya yang siap menjatuhkannya.

Target Eep dua bulan ke depan menjatuhkan Presiden Joko Widodo sangat realistis. Hal ini untuk mencegah jangan sampai trah/dinasti politik itu terjadi. Tapi Jokowi percaya diri dengan langkah yang dia ambil. Boleh jadi pengalaman pada dua periode pemilu membuatnya mengetahui banyak trik/taktik pemiliu (gerakan politik di balik layar) yang harus dia lakukan untuk mempertahankan kekuasannya, di sisa-sisa kekuasaannya. Karenanya Jokowi tetap tidak bisa diremehkan. Dia pun berjanji akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024.

(Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *