Terorisme dan R20

waktu baca 6 menit
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) (kiri) saat Konferensi Pers di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Selasa (1/11/2022). (Foto: NU Online/Suwitno)

KEMPALAN: INDONESIA menjadi tuan rumah konferensi para pemimpin agama internasional dalam forum R20. Forum yang berlangsung di Bali (2-3/11) ini merupakan bagian dari pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G20. Ide dari forum R20 ini adalah supaya agama menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi internasional yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan.

Forum R20 digagas oleh ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Seluruh negara anggota G20 mengirim delegasinya ditambah dengan 35 delegasi di luar keanggotaan G20. Para tokoh lintas agama hadir dalam pertemuan itu.

Selama ini agama dianggap sebagai faktor yang menjadi kendala pembangunan ekonomi. Setidaknya agama tidak memainkan peran dalam pembangunan ekonomi. Agama—dalam hal ini Islam—sering dianggap sebagai faktor detrimental dalam pembangunan ekonomi.

Kekerasan atas nama agama terjadi sepanjang sejarah manusia. Bukan hanya di kalangan Islam, di kalangan Yahudi, Kristan, Hindu, dan agama-agama lain juga muncul banyak sekali tindak kekerasan atas nama agama. Di Indonesia, karena mayoritas penduduk beragama Islam, kekerasan atas nama Islam sering kali muncul, baik dalam skala besar seperti bom Bali, maupun skala kecil seperti kasus perempuan yang masuk pintu gerbang Istana Merdeka.

BACA JUGA: Lula da Silva

Kekerasan atas nama agama bukan monopoli Islam. Karen Armstrong melakukan studi ekstensif mengenai kekerasan dan agama dalam bukunya ‘’The Field of Blood’’ (2010). Buku ini merupakan tanggapan terhadap pandangan umum bahwa agama merupakan sumber kekerasan, dan bertanggung jawab terhadap berbagai teror atas nama kelompok agama yang kian sering terjadi akhir-akhir ini di pelbagai tempat.

Armstrong memperlihatkan bahwa alasan sesungguhnya bagi perang dan kekerasan sepanjang sejarah manusia sangat sedikit terkait dengan agama. Kekerasan terjadi sebagai reaksi terhadap kekuasaan negara, kapitalisme, dan modernisme berbungkus bahasa agama. Kekerasan itu sebenarnya merupakan reaksi terhadap rasa terpinggirkan dan terkalahkan oleh gelombang kapitalisme dan modernisme. Rasa kalah itu kemudian dibungkus dengan idiom-idiom agama.

Graham Fueller dalam buku ‘’The World Without Islam’’ juga menemukan bahwa tuduhan bahwa Islam identik dengan kekerasan yang terjadi dalam bentuk terorisme–di Timur Tengah dan beberapa wiayah dunia–adalah tuduhan yang tidak berdasar dan sekaligus tuduhan yang tidak mempunyai landasan sejarah. Tanpa Islam pun kekerasan-kekerasan besar di dunia tetap terjadi. Begitu kesimpulan Fueller.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *