Poltak

waktu baca 6 menit
Politikus PDI Perjuangan Ruhut Sitompul. (Foto: Ricardo/JPNN.com)

Proklamasi kemerdekaan membongkar praktik kolonialisme itu. Bangsa Indonesia mempunyai kesadaran nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 dengan lahirnya semboyan ‘’satu nusa, satu bangsa, satu bahasa’’. Etnisitas yang bermacam-macam melebur menjadi satu menjadi entitas nasional Indonesia. Kebhinekaan yang sangat beragam melebur menjadi satu dalam negara kesatuan.

Strata sosial dan ekonomi yang diwariskan oleh penjajah dibongkar dan dihilangkan. Dibentuklah tatanan baru yang lebih egaliter dan demokratis. Bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa nasional karena lebih egaliter dan demokratis dibanding bahasa Jawa. Setiap orang dianggap sejajar dan sederajat dan dipanggil dengan sebutan ‘’bung’’.

Tatanan yang egaliter dan demokratis ini mengalami distorsi selama Orde Lama. Presiden Sukarno menghidupkan kembali spirit feodalisme dengan menyebut dirinya ‘’Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia’’, sebutan yang selama era feodal dipakai oleh raja-raja. Sukarno kemudian mengangkat diri menjadi presiden sumur hidup, sama dengan para raja feodal yang menjadi penguasa sepanjang hidupnya sampai mati.

BACA JUGA: Deddy Corbuzier dan LGBT

Orde Baru muncul dan mengklaim akan melakukan koreksi terhadap penyimpangan Orde Lama. Tetapi yang terjadi kemudian tidak banyak berbeda. Feodalisasi selama Orde Baru dilakukan dengan menjadikan etnis Jawa sebagai konsep dominan. Presiden Soeharto memakai konsep kekuasaan Jawa untuk memperkuat legitimasi politiknya.

Soeharto menempatkan diri sebagai penguasa dan raja Jawa. Soeharto memakai filosofi kekuasaan Jawa dalam praktik politik praktis. Budaya Jawa menjadi budaya dominan yang dipaksakan dan diseragamkan di seluruh Indonesia.

Istilah-istilah Jawa dipakai di seluruh Indonesia tanpa memperhatikan lokalitas dan kearifan lokal. Nama bangunan seperti ‘’Graha Sabhaloka’’ dipakai di Jawa sampai ke Papua. Orang lokal tidak paham artinya, dan bahkan tidak bisa mengejanya dengan sempurna.

Orde baru jatuh dan lahirlah orde reformasi. Keutuhan negara kesatuan sempat retak karena gejolak etnis di beberapa wilayah. Identitas etnis masih tetap hidup seperti api dalam sekam yang setiap saat bisa meledak menjadi kebakaran besar.

Bangsa Indonesia sudah menyepakati konsensus nasional dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar. Negara kesatuan sudah disepakati sebagai entitas yang menjadi rumah besar bagi semua etnis, budaya, adat istiadat, dan agama.

Memainkan isu-isu etnis dan isu primordial bisa mengancam pondasi utama bangsa dan bisa membuatnya ambruk. Tidak ada privilege bagi kelompok suku yang lebih besar dibanding kelompok etnis yang minoritas. Tidak ada privilege satu agama atas agama lainnya.

Poltak si Raja Minyak sudah punya pengalaman pribadi mengenai kebhinekaan dan sering menyuarakan jargon-jargon kebhinekaan dan kesatuan. Poltak harus berhenti mengolok-olok Anies Baswedan dengan memakai isu dan ideiom etnis. (*)

Editor: DAD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *