Benarkah Ade Armando dan Orang-Orang seperti Dia itu Penista Agama?
Oleh : Prof. Dr. Henry Subiakto (Alumni FH UII)
KEMPALAN: Saya sering ketemu orang yang bilang Ade Armando dianiaya karena Negara tidak adil, membiarkan penista agama tetap berkeliaran, bikin konten yg menyerang umat Islam. Tak hanya Ade yg mereka sebut penista agama, tapi juga ada beberapa nama disebut.
Bagi sebagian masyarakat yg meyakini para aktivis media sosial itu sdh melakukan penistaan agama, mereka lalu menyalahkan negara karena dianggap telah membiarkan orang orang itu tetap bebas beraktivitas. Jadi logis kalau dihakimi masyarakat, katanya.
Sebenarnya siapa yg berhak menuding seseorang dikatakan menista agama? Apa masyarakat awam yg sensitif, atau aparat penegak hukum? Tentulah keputusan pengadilan. Karena hanya pengadilanlah yg berhak menentukan orang itu bersalah atau tidak. Dengan demikian menyebut Ade penista Agama jelas tidak sesuai fakta hukum.
Lalu salahkah dengan banyaknya pendapat yg menyebut orang orang itu telah menista agama? Tentu saja orang atau warga negara berpendapat itu boleh. Tapi tidak berarti pendapat itu benar, karena belum diuji. Belum dibahas secara hukum. Terlebih dibuktikan di pengadilan. Apalagi yg berpendapat adalah orang orang yang sebagian besar tidak kompeten bicara tentang itu. Mereka bicara lebih dikarenakan perasaan kecewa, atau terkait perasaan tidak senang terhadap orang yang sikap politiknya berseberangan, hingga ingin menghukum orang lain yg dianggap lawan yang bikin emosi.
Padahal istilah penistaan Agama sendiri, merupakan istilah yg tdk tepat dalam sistem hukum Indonesia. Penistaan Agama itu berasal dari bahasa Inggris blasphemy. Secara umum, blasphemy didefinisikan sebagai “Any oral or written reproach maliciously cast upon God, His name, attributes, or religion” (Celaan secara verbal atau tertulis apapun dengan kedengkian terhadap Tuhan, namaNya, sifat-sifatNya, atau agama). Sampai sekarang tidak ada kesepakatan pengertian blasphemy secara internasional.
Sedang di Indonesia penistaan agama diartikan sebagai tindakan penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama yg hanya didasarkan pada pendapat pribadi atau diluar kompetensinya (mal praktik). Pengertian ini adalah pengertian bahasa, pengertian umum yang sangat luas, dan bukan pengertian hukum berdasar pasal UU yg berlaku.
Aturan tentang Blasphemy seperti itu di banyak negara demokrasi malah sudah dicoret dari hukum pidana. Pendapat yang buruk tentang suatu agama itu bukan hal yg dilarang melainkan persoalan kebebasan berpendapat dan etika. Dalam sistem demokrasi, pendapat seseorang itu walau salah dan menyakitkan sekalipun, tidak bisa dihukum, sepanjang tidak dilarang secara tegas oleh UU. Itu prinsip demokrasi dan Rule of Law.
Di Indonesia sebenarnya juga sama. Kebebasan berpendapat itu hak warga negara yg dijamin konstitusi, tapi kebebasannya tidak absolut. Yaitu dibatasi dengan UU. Demikian isi pasal 28J UUD 1945. Sekali lagi batas kebebasan berpendapat itu adalah UU, bukan perasaan orang per orang. Bukan pula dibatasi oleh rasa ketersinggungan masyarakat. Hukum itu harus pasti dan tidak boleh ditekan oleh siapapun. Termasuk tidak boleh diintervensi masyarakat ataupun massa. Hukum harus independen dan memiliki kepastian berdasar pengertian isi pasal UU nya.
Nah disitulah permasalahannya…
