Jin Buang Anak
KEMPALAN: Dalam berkomunikasi sehari-hari masyarakat punya idiom atau ungkapan khusus yang dipakai untuk melancarkan komunikasi dan pergaulan. Idiom-idiom itu bisa bermakna isoterik, atau hanya dipahami di lingkungan tertentu saja, atau bisa juga bermakna esoterik yang bisa dipahami oleh masyarakat umum.
Banyak idiom-idiom lokal yang tetap menjadi ungkapan lokal. Tapi, ada juga idiom lokal yang kemudian berkembang menjadi idiom umum. Orang Surabaya berbicara dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timuran yang mempunyai idiom-idiomnya sendiri. Ungkapan ‘’jancuk’’ bisa bermakna sangat kasar bagi orang luar Surabaya. Tapi ketika diucapkan di antara sesama teman ungkapan itu menjadi simbol keakraban.
Banyak juga idiom-idiom lokal Surabaya yang jarang atau tidak pernah dipakai, sehingga banyak orang yang lupa, terutama kalangan muda dan milenial. Idiom ‘’gung liwang-liwung’’, misalnya. Hampir pasti sebagian orang Jawa tidak mengetahui artinya. Padahal, di masa lalu orang-orang tua sering memakai idiom itu untuk menggambarkan sebuah tempat yang jauh dan terpencil.
Secara harfiah ‘’gung liwang-liwung’’ berarti hutan belantara. Dalam percakapan sehari-hari diartikan sebagai tempat yang jauh dan jarang dikunjungi orang. Kalau ada kerabat yang tinggal di pinggiran kota, orang Surabaya menyebutnya ‘’gung liwang-liwung’’. Atau masih ditambahi lagi dengan idiom ‘’adoh lor adoh kidul’’, jauh dari utara dan jauh dari selatan.
Ketika seseorang disebut berumah di daerah gung liwang liwung, tidak ada makna konotatif yang menghina. Tidak ada makna pejoratif yang dianggap merendahkan. Idiom-idiom itu adalah aksesoris yang menjadi hiasan komunikasi untuk mengekspresikan kedekatan dan keakraban.
Sama dengan orang Surabaya, masyarakat Betawi juga punya idiom-idiom yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Karakter masyarakat Surabaya dan Betawi punya banyak kesamaan, misalnya terbuka, egaliter, humoris, dan cenderung tanpa basa-basi.
Orang-orang Betawi pun banyak memakai idiom dalam bahasa pergaulan sehari-hari. karena bahasa Betawi sangat dekat dengan bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu, banyak idiom-idiom Betawi yang kemudian diserap dan menjadi idiom Bahasa Indonesia.
Idiom tidak bisa dipahami secara harfiah karena ada ekspresi tertentu yang tersirat di dalamnya. Dalam berbagai obrolan, para penutur memakai idiom untuk berbasa-basi yang juga dipakai untuk bercanda, tanpa maksud merendahkan atau menghina.
Dengan memakai idiom, komunikasi akan terasa semakin bernuansa. Maksud-maksud tertentu sering lebih bisa dipahami dengan menggunakan idiom. Terkadang idiom terdengar berlebihan, terkadang terdengar sebagai eufimisme atau pengaburan makna.









