Konflik Jawa Pos, Pasca Pecah Kongsi Dahlan versus GM
Judul Buku: Konflik Jawa Pos, Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan versus Goenawan Mohamad
Oleh: Bahari
KEMPALAN: Bismillahir rahmanir rahim.
Telah terbit buku independen berjudul ‘Konflik Jawa Pos, Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan versus Goenawan Mohamad’ karya Bahari, mantan wartawan Jawa Pos.
Buku cukup tebal. Hampir 1500 halaman. Tepatnya 1465. Beratnya sekitar 1800 gram atau 1,8 kilogram.
Supaya enak dibaca isi buku dibagi tiga. Buku 1 berisi 558 halaman, buku 2 sebanyak 437 halaman. Dan, buku 3 terdiri 470 halaman.
Karena isinya saling terkait satu buku dengan buku lainnya maka buku dijual satu paket berisi tiga buku. Makanya, ketiga buku wajib dibaca agar tidak salah paham wk… wk…
Buku ini digarap penulis secara independen. Wawancara sendiri, ditulis sendiri, dieditori, diredakturi sendiri karena tidak mampu membayar editor.
Juga tidak pakai copy editor. Pokoknya dikerjakan sendiri, digarap sak karepe dhewe (semaunya sendiri). Makanya kalau banyak typo-nya harap dimaklumi he… he…
Tidak ada deadline, tidak ada redaktur yang obrak-obrak harus selesai kapan. Seperti saat jadi wartawan dulu. Pokoknya, ditulis dengan hati dan perasaan riang.
Meski wawancara sendiri, ditulis sendiri, dieditori sendiri sejatinya secara tidak langsung beberapa senior Jawa Pos jadi mentor penulis.
Sebut saja Suhu atau Slamet Oerip Prihadi, Cak Fu sapaan Fuad Ariyanto, Cak Amu panggilan Abdul Muis. Selain ketiganya pernah jadi redaktur penulis di kompartemen olahraga. Dikoordinatori SOP inisial Suhu, kompartemen olahraga sangat guyub. Rapat di kantin sambil rokok’an hal biasa. Padahal masalah yang dibahas serius.
Kompartemen olahraga adalah cikal bakal keluarga kecil penulis yang amat menyenangkan di rumah besar bernama JP.
Mereka juga jadi narasumber buku ini.
Penulis juga kerap diskusi dengan mereka soal apa saja termasuk soal buku.
Cak Fu September 2021 mendadak terserang stroke. Tangan dan kaki kirinya sulit digerakkan. Tetap semangat senior. Moga Gusti Allah segera mengangkat penyakit Cak Fu. Aamiin…
Begitu juga dengan Cak Abror—Dhimam Abror Djuraid, Mas Didiek Pudji Yuwono dan Cak Sol atau Solichin M Awi.
Selain jadi nara sumber, penulis kerap diskusi dengan mereka soal apa saja, termasuk buku ini. Selain senior, mereka juga pengalaman nulis buku.
Cak Abror lah yang menolong penulis masuk JP dari Cenderawasih Pos di belantara Irian Jaya kini Papua.
Mas Didiek yang kali pertama menugasi penulis ke Aceh saat provinsi itu masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 2000. Penulis tiga kali blusukan ke Aceh Nanggroe Darussalam.
Dengan Cak Sol, penulis sudah kenal saat masih sama-sama di JPNN sejak 1996 silam. Cak Sol yang mengarahkan, menggawangi halaman nasional JP saat penulis ditugaskan ke Kabul, Afghanistan Desember 2001. Sampai kini penulis berteman terus dengan Cak Sol.
Tidak ada penyandang dana dari luar apalagi dari pihak, kelompok yang bertikai dalam pembuatan buku ini. Semua pendanaan dilakukan mandiri penulis.
Buku digarap cukup lama. Hampir empat tahun sejak akhir 2017. Setelah merampungkan Buku “Azrul Ananda Dipuja Dan Dicibir….” Hanya saja Buku “Konflik Jawa Pos” dikerjakan kalau penulis lagi menganggur. Kalau ada pekerjaan lain ya.. ditinggal dulu.
Makanya, di sela-sela pengerjaan buku ‘Konflik Jawa Pos’ ini penulis bersama Farouk Arnas berhasil menyelesaikan buku berjudul ‘Polisi, Toleransi & Harmoni, Dari Nganjuk Untuk Indonesia’.
Dengan Suhu alias Slamet Oerip Prihadi, penulis bisa menuntaskan buku berjudul: Cak Jarwo Eling Konco Mlarat, Tukang Cetak Jawa Pos Jadi Miliarder’
Sebenarnya buku Konflik Jawa Pos sudah kelar sejak Juni 2021 tapi cari penyandang dana independen untuk cetak buku sulitnya bukan main. Eh.. mendadak ada kawan menghuhungi penulis. “Ini ada uang tabungan sedikit Pak Bari. Rencananya untuk beli laptop anak. Tapi, sampeyan pakai cetak buku dulu. Sayang kalau buku sampeyan sudah jadi tak segera dicetak. Eman, sayang,” kata kawan tadi.
Penulis tertegun. Setengah tak percaya. Selama ini penulis mendekati kawan-kawan yang kelebihan rezeki. Tapi, semuanya bergeming dengan beragam alasan. Eh… ini ada kawan yang nasibnya tak jauh dari penulis kok justru tergerak membantu.
Doa penulis terkabul. Rejeki datang dari arah yang tidak disangka sangka. Seperti dijanjikan Sang Khalik. Alhamdulillah. Matur nuwun, Gusti Allah.
Terima kasih kawan kebaikanmu terpatri di lubuk hati paling dalam. Tak terlupakan. Karena uluran tanganmu buku ini bisa tersaji ke pembaca.
DIPICU URUSAN PERUT
Perseteruan Dahlan Iskan (Dis) dkk. versus Goenawan Mohamad (GM) dkk. tak jauh dari soal urusan perut. Uang dan kekuasaan.
Semula hubungan Dis dan GM sangat-sangat mesra. Satu sama lain saling mengagumi. Dis saat jadi orang daerah, koresponden majalah Tempo di Samarinda, Kaltim begitu takjub, kagum pada nama besar GM sebagai budayawan dan pemred majalah Tempo.
Sebaliknya GM memuji setinggi langit Dis saat berhasil mereportase tenggelamnya KM Tampo Mas di perairan Masalembo, Sumenep, Madura tapi lebih dekat ke perairan Sulawesi Selatan akhir 1981.
Makanya, korban dan penumpang selamat dibawa ke Makassar. Saat itu Dis menjadi Kepala Biro Tempo Jatim berkedudukan di Surabaya.
April 1982 saat PT Graffiti Pers yang menerbitkan majalah Tempo membeli Jawa Pos, Eric Samola sebagai Dirut Grafiti menunjuk Dis sebagai Pimred JP.
Bekerja tanpa lelah Dis, Suhu dkk berhasil menyalip raja koran Surabaya ‘Surabaya Post’ hanya dalam waktu empat tahun.
Oplah JP sudah tembus 100 ribu.
JP kian besar dan menggeliat, terus berekspansi. Mengambil koran daerah yang bangkrut, mendirikan koran baru di pelosok Nusantara.
DIS ANGSA EMAS GM dkk.
Laba JP seharusnya dinikmati karyawan dipakai Dis membangun koran daerah. Terus tanpa henti. Giliran koran daerah untung para karyawan perintis JP Kembang Jepun banyak yang memasuki masa pensiun.
Makanya, Cik Lan atau Lanny Kusumawati Kepala Keuangan JP saat itu sempat mengeluh ke Dis dan menyarankan sebaiknya ekspansif JP Group di-stop dulu.
Cik Lan tahu persis kondisi keuangan JP karena uangnya tersedot membangun koran daerah.
Cik Lan harus pontang-panting mencari uang untuk bayar bunga ke bank imbas mendirikan anak perusahaan.
Apa tanggapan Dis? “Ngomong apa kamu? Tak pecat kamu nanti kalau ngomong itu lagi,” hardik Dis seperti ditirukan senior JP angkatan Kembang Jepun. Cik Lan pun terdiam.
Akhirnya yang menikmati deviden koran daerah karyawan baru JP dan pemegang saham GM dkk.
Dis dianggap GM dkk. sebagai angsa emas. Itu karena Dis berhasil mengembangkan JP dari koran sekarat beroplah 6800. Itu pun yang laku terjual hanya seribu eksemplar.
Tak dinyana JP di kemudian hari menjadi imperium. Beranak pinak ratusan media massa dan puluhan tv lokal.
Pada gilirannya imperium JP yang membentang dari Sabang sampai Merauke itu mendatangkan pundi pundi keuangan bagi pemegang saham GM dkk.
Makanya, GM sangat membela Dis karena dianggap angsa emas.
Saat Dhimam Abror Djuraid mempersoalkan dana sumbangan pembaca untuk korban tsunami Maumere, NTT yang dikelola JP diduga bermasalah. Dis pasang badan untuk Nany Wijaya sebagai penanggung jawab penyaluran sumbangan ke korban tsunami.
Saat Abror melapor ke GM, terjadi debat sengit. GM bukannya mengusut justru menyalahkan Abror karena langkahnya dinilai membahayakan JP.
Konon GM meminta Dis memecat Abror. Tapi, Dis menolak karena Abror dianggap kader potensial JP. Makanya, Abror mempertanyakan integritas GM karena enggan mengusut dugaan penyimpangan yang melibatkan oknum JP.
Pundi-pundi yang diterima GM dan Fikri Jupri dari JP tak urung menyulut kecemburuan di kalangan internal karyawan perintis, pendiri Tempo berjumlah 17 orang.
Sama-sama pendiri Tempo tapi hanya GM dan FJ yang menerima deviden JP. Kekecewaan karyawan pendiri Tempo ini menjadi salah satu pemicu Syu’ba Asa dkk eksodus dari Tempo.
Mereka mendirikan majalah Editor (baca: Bermula Perusahaan Awang Awang di buku 3).
Dis dkk di Surabaya juga sangat memanjakan pemegang saham JP Jakarta GM dkk.
Kata Abror, Dis sudah cukup berbakti kepada GM dkk. Sudah 30 tahun Dis jadi angsa emas GM dkk.
Tiap tahun Dis setor deviden miliaran rupiah ke GM dkk.
Bahkan meski deviden belum waktunya cair, ada saja pemegang saham ngebon dulu. Entah Rp 300 juta, atau rp 400 juta. Nanti akan dipotongkan deviden yang akan mereka terima. Dan, itu selalu dipenuhi Dis dkk.
Puncaknya saat Tempo dibredel 1994 bersama Detik dan Editor.
JP saat itu menyelamatkan para wartawan Tempo. Abror yang saat itu Redpel JP ditugasi menempatkan Kelik Nugroho di Philippina, Bina Bektiati di Australia dan wartawan Tempo lainnya di manca negara. “Seiji Okawa kontributor Tempo di Tokyo yang mbayari juga JP.”
Meski begitu GM tak pernah sekali pun berterima kasih kepada JP. Terlebih pada Dis.
“Makanya, lunas sudah utang budi Dis pada GM, ” ujar mantan Pimred JP Dhimam Abror Djuraid (baca: Wawancara Abror di Buku 2).
Maksum, senior JP ikut menyesalkan perlakuan pemegang saham GM dkk yang kurang manusiawi terhadap Dis yang berjasa besar dalam membangun JP Group. “Itu sangat tidak etis, ” kata Maksum.
Pak Dahlan kata Maksum, begitu loyal, hormat, tawadlu terhadap para seniornya orang-orang Tempo, GM dkk. Kalau ada RUPS di Surabaya, Pak Dahlan rela menyetir sendiri, menjemput tamunya orang Tempo dan pemegang saham ke Bandara. “Kalau sekarang Pak Dahlan diperlakukan tidak patut, apa kesalahannya? Saya tidak habis pikir, ” aku Maksum. (Baca: wawancara Maksum di buku 2)
“Saya marah dan terluka melihat Pak Dahlan-Azrul diperlakukan seperti saat ini. Seperti orang membonceng ketenaran dan kebesaran JP. Tanpa Pak Dahlan JP Group tidak akan tumbuh menjadi media group besar,” ingat Nany Wijaya.
“Makanya, saya marah dan sedih melihat perlakuan JP terhadap Pak Dahlan,” tambah Nany (baca Wawancara Nany Wijaya di Buku 2) .
PERANG TERBUKA DIS v GM
Seiring makmurnya JP, hubungan Dis dkk di Surabaya dan pemegang saham Jakarta GM dkk mulai bergejolak.
Orang orang Surabaya, Dis dkk beranggapan yang bekerja keras mereka tapi orang Jakarta GM Dkk yang menikmati.
“Karena uang orang bisa bersahabat. Karena fulus pula mereka bisa berkelahi. Perseteruan Dis v GM dkk saat ini tak jauh dari soal itu. Urusan kekuasaan dan uang,” kata senior JP Didiek Pudji Yuwono.
Sejak itu Dis dkk mendirikan Group Radar yang membentang dari Bali sampai Jogjakarta.
Juga beragam perusahaan. Perhotelan, perkebunan, pabrik kertas, pertambakan, listrik sampai biro travel haji-umroh.
Ada yang berjaya sebagaian gulung tikar.
Dis dkk juga ingin bagian lezat kue JP yang selama ini hanya dinikmati pemegang saham orang Jakarta GM dkk.
Sejak itu terjadi perang dingin Dis dkk dengan GM dkk di pihak lainnya. Dimana di kemudian hari menjadi perang terbuka seperti sekarang.
Sebaliknya kubu pemegang saham JP Jakarta GM dkk menuding Dis dkk menghalangi masuknya anak anak pemegang saham JP Jakarta yang ingin berkarir di JP.
Mereka diharuskan magang dulu di anak perusahaan JP.
Hanya Maesa Samola, anak mendiang Eric Samola yang diberi kesempatan gabung JTV Surabaya. Itu pun Maesa harus merintis kariernya dari bawah. Harus terjun ke lapangan dan ikut menggulung kabel saat ada acara JTV.
Kini Maesa jadi Dirut JTV dan salah satu direktur JP Holding.
Pemegang saham Jakarta, GM dkk kian jengah dengan tindak tanduk Dis dkk yang mengelola JP seperti perusahaan sendiri.
Dis menyiapkan anak lanangnya Azrul Ananda menjadi ahli warisnya di JP Group.
Dis tak peduli itu menabrak aturan JP yang tertuang dalam buku saku.
Salah satunya dilarang kolusi, korupsi, nepotisme (KKN).
Almarhum Husnun Djuraid kakak kandung Abror harus keluar dari JP bergabung Malang Pos karena tidak boleh dua bersaudara bekerja dalam satu perusahaan JP.
Tapi Dis tak ambil pusing soal buku saku. Siapa berani menghalangi, tidak setuju Azrul diorbitkan akan disikat Dis.
Salah satu korbannya Dhimam Arbor Djuraid, salah satu kader terbaik JP.
Itu buntut kasus Abror mencengkeram krah baju Azrul. Abror yang saat itu Pemred tak tahan dipisuhi (fuck…) di depan karyawan oleh Azrul.
Itu puncak kemarahan Abror setelah sebelumnya menerima perlakuan kurang hormat dari Azrul.
Salah satunya keranjang sampah ditaruh Azrul di meja Abror sebagai sindiran berita halaman satu yang digarap Abror dkk tak lebih sampah.
Azrul juga kurang hormat pada senior. Memanggil Abror hanya ngoko. Tidak pakai Mas, Cak apalagi Bapak. Bahkan nama Abror dipelesetkan Mr Error (baca Buku Azrul Ananda Dipuja dan Dicibir… Juga Baca Wawancara Abror di buku 2). Tapi, Abror masih bisa bersabar karena masih melihat, menghargai Dis, abahnya Azrul.
Abror memang tidak sreg Azrul di JP. Apalagi kompartemen DetEksi di bawah Azrul isi beritanya dinilai para senior agak “menyimpang” dari jurnalistik mainstream.
Makanya, Abror kurang mengakomodasi usulan, permintaan Azrul agar JP mengakomodasi berita anak muda. Alasannya, itu dianggap keluar dari pakem jurnalistik.
Abror yang dikenal lurus dan idealis tak peduli meski Azrul anak lanang Dis. Abror tahu persis risikonya atas sikapnya.
Sejak itu Abror dan Azrul terlibat perang dingin. Saling provokasi.
Nah, kejadian cengkeraman baju itu dipakai Dis mendepak Abror dari JP. Dibuang jadi Direktur Radar Timur. Tak lama kemudian Abror hengkang dari JP Group. Jadi Pimred Suara Indonesia, Pimred Harian Surya dan Pimred Surabaya Post.
Sururi Alfaruk Kepala Biro JP Jakarta yang dianggap segaris dengan
Abror ikut dipinggirkan. Sururi akhirnya hengkang ke Warta Kota, kelompok Kompas Gramedia Group. Kini, Sururi berlabuh di Sindo Group milik Haritanoe Soedibyo.