Unair Kembangkan Makanan Berbasis Ikan Murah di Paciran

waktu baca 4 menit
Ahli kuliner Makhfudh mengajari ibu-ibu istri nelayan mengolah ikan belo menjadi bakso ikan, Minggu (19/9). (foto:imron)

KEMPALAN-LAMONGAN: Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya sumberdaya laut. Meski demikian, nelayan yang kebanyakan hidup di pesisir justru banyak yang miskin. Salah satu penyebabnya, mereka hanya mengandalkan hasil laut yang kadang harganya sangat murah. Sedikit keluarga nelayan yang mengolah hasil laut untuk memberi nilai tambah.

Keadaan seperti itu terjadi di Desa Weru, Kecamatan Paciran, Lamongan yang berada di pesisir utara Jawa.  Dengan lebih dari 70 persen warganya hidup sebagai nelayan, hanya sedikit yang berkecukupan. “Yang berkecukupan biasanya juragan. Kalau neyalan biasa hidup pas-pasan,’’ kata penjabat Kepala Desa Weru, Arin, Minggu (19/9).

Salah satu penyebabnya, kata dia, jenis ikan yang banyak dihasilkan nelayan Weru adalah ikan belo yang harganya sangat murah. Ikan berukuran sedang itu di tingkat nelayan hanya Rp 2.500- Rp 3.000 per kg. Kadang nelayan bisa menghasilkan dua kwintal, tapi kan hanya dapat uang Rp 500 ribu. Dikurangi solar dan bekal, hasilnya hanya Rp 200 ribu saja. “Kalau berlayar dengan dua atau tiga orang, ya hasilnya kecil sekali.’’

Fakta itu yang menginspirasi dosen-dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga melakukan pengabdian masyarakat di sana. “Kami prihatin dengan fakta itu. Tanpa ada nilai tambah, para nelayan itu akan tetap hidup miskin,’’ kata Imron Mawardi, ketua tim, usai pelatihan pembuatan krupuk, bakso, dan mi berbasis ikan belo, di Balai Desa Weru, kemarin. Hadir pada acara itu penjabat Kepala Desa, Arin, penyuluh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lamongan, Agung, tokoh masyarakat Abdul Ghofur dan anggota tim, Yossy Imam Candika, dan Tika Widiastuti.

Kemarin, tim Unair menghadirkan dua ahli kuliner dari Brinto Food and Drinking, Bakti Abrianto dan Farikh Makhfudh. “Sebelumnya, kami sudah coba olahan ikan belo untuk berbagai makanan. Hasilnya cukup bagus,” kata Makhfudh, jebolan Surabaya Hotel School, chef professional yang belasan tahun pengalaman menjadi chef hotel berbintang.

Tantangan ikan belo adalah durinya yang sangat banyak. Karena itu, ada teknik sendiri agar duri-duri itu bisa dipisahkan. “Ikan belo juga bagus di-presto, karena rasanya enak dan durinya menjadi lunak. Bisa langsung dimakan,’’ katanya di hadapan 20-an ibu-ibu istri nelayan.

Menurut Imron, pengabdian masyarakat kali ini merupakan kegiatan Unair bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur. Kebetulan, MES juga memiliki program pemberdayaan masyarakat. “Pengabdian bukan berhenti di sini. Kami ingin masyakat pesisir Weru ini bisa berdaya secara ekonomi,’’ urainya.

Karena itu, harapannya, setelah pelatihan, ibu-ibu kelompok istri nelayan bisa menerapkan standar resep dari chef. Dengan memiliki standar yang sama, maka hasil olahan ibu-ibu akan memiliki kekuatan dari sisi kualitas dan kuantitas. Selama ini, problem konsistensi kualitas itu belum ada, karena hanya menggunakan feel saja. “Dengan pelatihan pengolahan dan resep ini, rasa dan penampakannya akan sama. Nanti koperasi bisa menjual dengan satu brand,’’ timpal Yossy, anggota tim.

Dari sisi bisnis, peningkatan nilai tambah ikan belo ini sangat menjanjikan. Sebab, selama ini ibu-ibu nelayan memproduksi krupuk ikan berbasis ikan tengiri yang mahal. Harganya bisa mencapai Rp 40 ribu per kg. Sementara ikan belo hanya Rp 2.500 per kg. Setelah di-fillet, rendemen ikan belo ini sekitar 35 persen. Berarti, untuk menghasilkan 1 kg daging ikan belo membutuhkan 3 kg ikan atau hanya Rp 7.500 hingga Rp 9.000. Jauh lebih murah dibanding ikan tengiri atau lainnya.

“Memang masih ada kekurang-sempurnaan penggunaan ikan belo untuk bakso, di mana durinya belum benar-benar lembut. Tapi ini masalah teknis yang bisa diatasi dengan blender yang lebih halus,’’ urai Yossy.

Jika produksi massal bisa dilakukan,  nanti Unair akan mendampingi, termasuk membuatkan brand yang baik, kemasan yang bagus, dan akses pasar. “Itu harapan kami,’’ kata Tika Widiastuti. Menurut dia, kalau bisa Desa Weru nanti akan menjadi desa binaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair.

Dari peran ibu-ibu itu, diharapkan pendapatan masyarakat nelayan di Pantai Utara Jawa itu bisa meningkat. Ini memerlukan pendampingan, karena pendapatan yang besar tidak menjamin sejahtera. “Perlu juga manajemen keuangan keluarga, sehingga masyarakat bisa bijak berbelanja dan mengatur keperluan. Ini juga sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat nelayan.

Selama ini, berbagai riset menunjukkan bahwa masyarakat pesisir miskin bukan saja karena pendapatan yang rendah. Tapi karena pengelolaan keuangan yang buruk. “Secara tahunan, pendapatan mereka sudah cukup baik. Tapi karena ada bulan-bulan tertentu panen dan bulan tertentu paceklik, pengelolaan keuangan yang buruk menjadikan kesulitan keuangan,’’ urainya.(dji)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *