Old Soldier Never Die, Tentara Tidak Ada Matinya

waktu baca 5 menit

KEMPALAN: Old soldier never die, they just fade away. Tentara tua tidak pernah mati, mereka hanya mengilang. Begitu kata pepatah yang populer di kalangan tentara dan sering dikutip dengan penuh bangga.

Itu menunjukkan bahwa prajurit tua yang sudah meyelesaikan masa baktinya tetap tidak mati secara mendadak, para prajurit tetap memberikan darma baktinya sebagai manusia sipil, undur diri pelan-pelan lalu kemudian menghilang. Prajurit tua mati dengan tenang.

Tapi di Indonesia prajurit-prajurit tua bukan cuma tidak pernah mati, tapi malah tidak ada matinya. Mereka menjadi menteri, menjadi presiden bayangan, menjadi pembisik presiden, dan malah merebut partai orang.

Di Malaysia para pensiunan tentara disebut sebagai laskar tak berguna, sebutan peyoratif ini sangat tidak enak di kuping orang Indonesia dan terasa sangat merendahkan. Di Indonesia pensiunan tentara punya sebutan keren sebagai purnawirawan, karena tentara menjalankan fungsi kewiraan membela negara. Setelah pensiun tentara Indonesi tidak menjadi laskar tak berguna tetapi menjadi manusia purnawira yang sudah menuntaskan tugas bela negara.

Di Malaysia tentara yang melakukan push up disebut bersetubuh dengan bumi, kalau istrinya melahirkan dibawa ke hospital korban lelaki, dan setelah tidak bertugas sang tentara menjadi laskar tidak berguna. Itu beda tradisi Malaysia dengan Indonesia. Di negeri jiran itu tradisi militer mengadopsi model peran militer di negara monarki konstitusional seperti Inggris yang memisahkan peran militer dengan sipil seara tegas. Hal yang sama berlaku di negara-negara demokrasi liberal Eropa dan Amerika yang menerapkan supremasi sipil secara mutlak atas militer.

Di Indonesia militer mempunyai sejarah yang unik dan berbeda dari negara lain. Tentara bukan hanya sekadar perang tapi juga menjalankan fungsi sosial. Di masa gerilya perjuangan kemerdekaan melawan Belanda Jenderal Sudirman merekurt tentara dari milisi rakyat, ada yang pedagang, petani, guru ngaji, dan lain-lainnya. Kekuatan tentara yang menyatu dengan rakyat ini menjadi intin pertahanan rakyat semesta yang terbukti ampuh dan tidak bisa ditembus oleh kekuatan senjata modern penjajah.

Di masa kemerdekaan Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian merumuskan kemanunggalan tentara dengan rakyat ini dalam konsep Dwi Fungsi, tentara bukan hanya menjadi kekuatan perang tetapi juga menjadi kekuatan rakyat yang ikut aktif dalam mengatasi permasalahan sosial.

Konsep Pak Nas ini canggih dan ori, asli pemikiran Indonesia, dan dianggap sebagai gagasan militer yang sangat cemerlang dan disejajarkan dengan gagasan-gagasan cemerlang ahli militer Carl von Clausewitz yang menulis buku strategi perang masterpiece “On War” (1832). Gagasan dwifungsi Pak Nas didasarkan antara lain pada filosofi Jawa manunggaling kawula gusti, menyatunya penguasa dengan rakyat. Tentara bagian dari ksatria yang menyatu dengan kawula menjadi kekuatan yang tangguh dalam menghadapi perang dan urusan sosial termasuk ekonomi dan politik.

Pak Nas adalah intelektual cum jenderal yang brilian. Gagasannya yang cemerlang itu diadopsi oleh Soeharto dan dibelokkan menjadi senjata untuk menjadi penguasa otoritarian selama 32 tahun bersama Orde Baru. Dwifungsi diselewengkan menjadi alat kekuasaan. ABRI, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, menjadi kekuatan perang sekaligus kekuatan politik yang dominan.

Militer di bawah rezim Soeharto menjadi kekuatan sosial politik yang menguasai seluruh lini kekuasaan politik. Dari lurah, camat, bupati, sampai presiden, semua diisi oleh personel militer. Tidak ada jabatan strategis yang tidak diambil oleh militer. Dominasi militer terhadap sipil sangat mutlak, tidak ada ruang bagi sipil untuk bernafas karena mereka diawasi sejak dari level desa sampai ke level nasional. Di desa ada Babinsa yang mengontrol aktivitas masyarakat dan di level yang lebih atas ada Kopkamtib yang mengawasi keamanan dan ketertiban.
Semua kekuatan sipil dikooptasi oleh militer dan dijadikan sebagai bagian dari korporatisme negara. Partai-partai politik dilemahkan dan oposisi dieliminasi. Hegemoni dan dominasi negara atas rakyat nyaris sempurna melahirkan totalitarianisme mutlak.
Bedil dan kekuasaan politik menjadi satu di tangan Soeharto melahirkan despotisme otoritarian yang tidak terkontrol. Seperti kata Lord Acton, kekuasaan absolut akan membawa korupsi yang absolut juga, “absolute power corrupts absolutely”, rezim Orde Baru digerogoti oleh korupsi yang ganas dari dalam dirinya sendiri. Rezim menjadi keropos dari dalam dan akhirnya ambruk ketika dihantam oleh badai krisis moneter 1998.

Kekuatan mahasiswa dan rakyat pada saat itu kembali manunggal menjadi dwifungsi yang bisa menjungkalkan Orde Baru yang digdaya. Begitu rezim runtuh maka hal pertama yang dibongkar adalah konsep dwifungsi yang diselewengkan oleh Orde Baru dari filosofi asli yang digagas Pak Nas. Tentara kemudian dikembalikan ke barak untuk menjalankan fungsi tunggal sebagai alat pertahanan negara. Supremasi sipil dikembalikan kepada rakyat dan partai-partai diberi kebebasan bergerak.

Pak Harto memutuskan tidak melawan. Ia lengser keprabon, madeg pandita, mengundurkan diri dari jabatan politik untuk menjadi guru atau penasihat bangsa. Gagasan kekuasaan Jawa ini punya nilai yang bagus, tapi tidak laku di Indonesia. Singapura memberi jabatan menteri senior kepada Lee Kuan Yew yang lengser keprabon. Maunya Soeharto kira-kira seperti itu, tapi alih-alih dijadikan guru bangsa Soeharto malah dikejar-kejar untuk diadili.

Negara-negara demokrasi liberal menerapkan konsep madeg pandita dengan memberikan peran sosial yang terhormat kepada para pemimpinnya. Di Amerika para mantan presiden tetap disebut sebagai presiden dan diberi peran sosial yang terhormat. Di Inggris dan negara-negara Eropa juga demikian. Di Indonesia mantan presiden tidak lengser keprabon madeg pandita, tapi menjadi ketua partai dan menyiapkan anak keturunannya untuk menjadi penguasa.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri harusnya lengser keprabon madeg pandita. Tapi mereka tetap bermain politik dengan segala risiko pusarannya. Karena itu SBY harus siap bertarung dalam intrik politik yang penuh tipu muslihat karena SBY tidak memilih jalan madeg pandita.

Para tentara tua tidak pernah mati dan tidak ada matinya. Mereka semua adalah jenderal-jenderal alumnus Universitas Orde Baru, meminjam istilah almarhum Arief Budiman.
Jenderal-jenderal tua seperti SBY, Luhut Binsar Panjaitan, Abdullah Mahmud Hendropriyono, Wiranto, Prabowo Subianto,  Moeldoko, dan lain-lain sibuk cakar-cakaran berebut tulang kekuasaan.

Pak Harto menjalankan prinsip old soldier never die, they just fade away. Tentara tua tidak mati tapi menghilang pelan-pelan. Lengser keprabon madeg pandita, kemudian “moksa” menghilang ke keabadian.

Para jenderal murid-murid Pak Harto itu “ngeroyok keprabon mideg pandita” mengeroyok kekuasaan dan menginjak orang-orang bijak. Bukan “moksa” mencari keabadian, tapi “mekso” mencari kekuasaan. (*)

BACA LAINNYA

Wayang

Kempalan News
0

Haji Metaverse

Kempalan News
0

Margiono (1959-2022)

Kempalan News
0

Sultan Ghozali

Kempalan News
0

Arteria

Kempalan News
0

Lapor, Pak

Dhimam Abror Djuraid
0

Otak Koruptor

Kempalan News
0
0

Bom Makassar

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten ini dilindungi. Silakan berlangganan untuk membaca lebih lanjut.