Kerumunan Manusia bersama Raja Jawa Jokowi

waktu baca 6 menit

KEMPALAN: Di lingkungan masyarakat Jawa ada tradisi yang disebut udik-udikan. Pada hajatan tertentu biasanya si empunya hajat menyebar uang kecil dalam bentuk logam atau pecahan kecil disertai beberapa jenis makanan kudapat seperti kue dan jenang.

Udik-udikan disebarkan kepada orang-orang yang berkumpul, biasanya anak-anak, gadis-gadis remaja, dan ibu-ibu, atau juga ada sebagian bapak-bapak. Mereka berebutan dengan gembira tanpa saling mengeroyok satu dengan lainnya. Yang kebagian gembira, yang tidak kebagian kecewa, tapi biasa saja. Lain kali ada udik-udikan lagi.

Udik-udikan juga dilakukan orang-orang ningrat. Tentu saja yang dibagi-bagikan lebih banyak dan yang berebut lebih banyak lagi. Bukan anak-anak yang beradu untung tapi orang-orang dewasa. Para bangsawan Jawa suka melakukannya dalam kunjungan ke desa-desa. Para kawula alit, rakyat jelata, berjejeran di pinggir jalan menanti udik-udikan yang dilempar sang bangsawan.

Para raja Jawa juga melakukan tradisi udik-udikan. Dari atas kereta kencana raja melempar pemberian dalam bentuk aneka ragam mulai dari uang kertas sampai kain atau pakaian. Rakyat berebutan bukan sekadar untuk mendapat pemberian raja tapi sekalian ngalap berkah dari sang raja, karena dalam konsep Jawa raja adalah titisan para dewa. Benda-benda yang didapat dari sang raja diyakini punya khasiat magis tertentu yang bisa membawa efek positif bagi rakyat. Barang-barang itu juga diyakini bisa menyembuhkan penyakit dan disimpan sebagai jimat.

Raja melakukan ritual udik-udikan untuk menunjukkan kebesaran dan kedermawanannya kepada rakyat. Raja memamerkan sikap benevolent, kepengasihan, melalui udik-udikan. Rakyat menerima pemberian itu dengan gembira dan penuh syukur karena merasa mendapat berkah dari raja sebagai penguasa dan wakil Tuhan di bumi.

Pada zaman penjajahan Belanda tradisi udik-udikan banyak dipakai juga oleh para penjajah, biasanya sekadar untuk gagah-gagahan dan penegasan superioritas orang kulit putih atas inlander jajahannya. Dari atas kuda atau kereta kuda penguasa Belanda menyebarkan uang atau barang-barang. Rakyat berebutan dan penjajah tersenyum senang. Para penjajah melakukannya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah raja yang punya kuasa untuk menentukan nasib rakyat. Raja memperoleh legitimasi kekuasaannya dari wahyu kedaton, para penjajah mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari kekuatan senjata melalui ekspansi kolonialisme dan imperialisme. Ritual udik-udikan yang semula transenden yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan berubah menjadi profan untuk menunjukkan dominasi dan sekaligus hegemoni penjajah terhadap jajahannya.

Sebagai manusia Jawa Joko Widodo tahu persis tradisi udik-udikan itu. Sewaktu tumbuh sebagai kanak-kanak di kampungnya tentu Joko kecil sering berebut jenang dan koin udik-udikan. Pada hajatan tertentu Joko muda pasti sering ikut berbaris di pinggir jalan menunggu iring-iringan raja dari Kraton Surakarta dan berharap mendapatkan berkah dari udik-udikan yang disebar sang raja.

Kenangan itu hidup dalam psyche Joko. Seorang raja gung binantara berwibawa, dari atas kereta kencana melemparkan udik-udikan kepada rakyat yang menunggunya di sepanjang jalan. Di setiap kunjungan ke daerah sang raja selalu menyediakan barang dan makanan untuk dilempar sebagai udik-udikan kepada rakyatnya.

Tradisi itu yang sekarang diugemi dan sangat digemari oleh Joko setelah menjadi presiden. Di setiap kunjungan ke berbagai daerah, di setiap kesempatan blusukan Joko selalu menyediakan barang dan bahan makanan untuk disebarkan sebagai udik-udikan kepada kawulanya. Hal itu sudah terinstitusionalisasi dalam dirinya dan menjadi habitus rutin. Raja akan selalu melakukan ritual udik-udikan dalam kondisi apapun, baik kondisi normal maupun saat terjadi pagebluk. Justru di musim pagebluk itulah raja makin banyak memberikan udik-udikan untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah penguasa benevolent, baik hati, pemberi dan dermawan.

Semua presiden Indonesia sejak Soekarno sampai Jokowi adalah orang-orang Jawa–kecuali masa kekuasaan Habibie yang singkat–yang memraktikkan mistisisme Jawa dengan caranya masing-masing. Bung Karno lekat dengan mistisisme Jawa dengan praktik-praktik meditasi yang rutin. Seperti umumnya raja Jawa Bung Karno yang bergaya hidup Don Yuan dan womanizer diyakini punya hubungan erotis dengan Nyai Rara Kidul penguasa laut Jawa yang digambarkan sebagai wanita cantik yang mengendarai kereta kuda menembus gelombang samudera. Di sebuah kamar di Hotel Indonesia di Sukabumi yang menghadap pantai selatan Bung Karno punya kamar khusus yang dipakai untuk bersemedi untuk berkomunikasi dengan Rara Kidul. Di dinding kamar hotel terdapat lukisan besar Sang Nyai yang beratribut serba-hijau dan mengendarai kereta kuda. Karena itu banyak orang Jawa yang tidak berani memakai pakaian berwarna hijau ketika berada di pantai selatan karena takut diseret oleh Nyai Rara Kidul. Bung Karno berharap bisa ketemu Nyai Rara Kidul tapi rakyat malah takut ketemu Sang Nyai. Itulah beda raja sama kawula.

Tradisi raja-raja Jawa selalu dikaitkan dengan hubungan spesial dengan Sang Nyai sejak era Mataram sampai sekarang. Prof. Peter Carey dalam buku “Takdir: Pangeran Diponegoro 1785-1855” (2014) menceritakan hubungan para raja Jawa itu dengan Nyai Rara Kidul. Pangeran Diponegoro, yang punya hak untuk menjadi raja tapi memilih memberontak, juga melakukan ritual khusus untuk berkomunikasi dengan Sang Nyai.

Presiden Soeharto, semua tahu, adalah pengamal kejawen yang fanatik. Ia menjalankan kekuasaan kepresidenannya sebagai raja Jawa yang dermawan sekaligus otoriter tapi dengan tetap menjaga dignity, kehormatan yang tinggi. Sebagai raja Jawa Pak Harto tidak pernah marah di depan publik. Ia memberi reward and punishment, hadiah dan hukuman, sambil tetap tersenyum. Pak Harto tidak pernah menunjukkan emosinya di depan umum. Saat marah dia tersenyum, apalagi saat senang.

Gus Dur keturunan santri tapi dia juga pengamal kejawen karena spektrum pemahaman keagamaannya yang luas. Gus Dur paham betul mistisisme Islam ala NU (Nahdatul Ulama) yang sangat erat kaitannya dengan mistisisme Jawa. Karena itu Gus Dur santai saja ketika dimandikan dengan bunga pada ritual-ritual tertentu.

Megawati anak Bung Karno mewarisi spritualitas sinkretis dari bapaknya. Ia sering mengikuti ritual semedi dalam kunjungannya ke Bali. Susilo Bambang Yudhoyono bersikap dan berperilaku sebagai presiden dan raja Jawa. Ia berkata dan memberi gesture secara terukur dan menjaga emosinya seperti seorang raja. Ia mengikuti tradisi mistis dan menghindari pantangan-pantangan.

Giliran sekarang Joko Widodo yang melanjutkan tradisi itu. Ia menjalankan kekuasaan kepresidenan sebagai raja Jawa yang menguasai Nusantara. Dalam beberapa kesempatan Jokowi mengenakan pakaian kebesaran raja Jawa. Ia melakukan ritual-ritual kejawen rutin. Ia percaya weton dan nagadina yang berhungan dengan hari baik dan buruk.

Beda dengan Pak Harto ataupun SBY yang memainkan dramaturgi presiden-raja Jawa secara  sempurna, Jokowi masih sering kedodoran. Dedeg atau tampilan fisik Jokowi tidak sesempurna Pak Harto atau SBY. Tubuh Jokowi yang kerempeng dan tampang yang rada katrok membuatnya diledek sebagai “Prabu Kantong Bolong” dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”. Setidaknya begitulah menurut Fadli Zon.

Jokowi juga belum piawai menyembunyikan emosi seperti Pak Harto maupun SBY yang tidak pernah marah di depan umum. Jokowi masih sering emosi di depan umum dan mengancam akan menggigit orang. Lepas dari semua kekurangan itu Jokowi tetaplah seorang Presiden RI dan sekaligus Raja Jawa Penguasa Nusantara.

Kunjungan Jokowi ke Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengakibatkan kerumunan harus dilihat dari perspektif Weberian antara penguasa tradisional dengan penguasa modern. Kunjungan itu adalah muhibah Raja Jawa ke tanah seberang untuk meninjau kekuasaan, sekaligus menemui para kawula untuk menunjukkan kedermawanannya melalui udik-udikan dari sun roof kereta kencana mobil kepresidenan Alphard.

Kalau kemudian kunjungan itu menjadi kontroversi luas dan malah ada yang melaporkan ke polisi, Jokowi mungkin hanya bisa bergumam sambil menepuk jidat, “Ruwet, ruwet, ruwet”. (*)

BACA LAINNYA

Wayang

Kempalan News
0

Haji Metaverse

Kempalan News
0

Margiono (1959-2022)

Kempalan News
0

Sultan Ghozali

Kempalan News
0

Arteria

Kempalan News
0

Lapor, Pak

Dhimam Abror Djuraid
0

Otak Koruptor

Kempalan News
0
0

Bom Makassar

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten ini dilindungi. Silakan berlangganan untuk membaca lebih lanjut.