Hakikat Hakekok
KEMPALAN: Lidah Jawa sulit melafazkan ucapan bahasa Arab dengan makhraj yang benar. Huruf “ain” yang harus diucapkan dengan tekanan pada langit-langit mulut terlalu rumit dan lebih mudah diucapkan dengan tekanan bibir yang enteng “ngain”. Maka “alamin” menjadi “ngalamin” dan “syariat” menjadi ”sarengat” di lidah orang Jawa.
Orang Sunda dan Priangan sama saja seperti itu. Membedakan “ef” dengan “pe” susahnya setengah ampun dan selalu terbalik-balik. Cobalah temui sembarang orang Sunda dan berilah tes ringan untuk mengucapkan “vespa”, maka yang terdengar adalah “pesfa”.
Sama seperti orang Jawa, bagi orang Sunda huruf “qof” yang harus diucapkan dengan tekanan pada tenggorokan dirasa terlalu sulit dan lebih mudah mengucapkannya dengan tekanan mulut yang bebas. Pengucapan “qof” tidak ada bedanya dengan “kaf”, maka “haqiqot” menjadi “hakekok” dengan intonasi seperti kata “borokokok” alias pemalas yang biasanya menjadi sifat Si Kabayan dalam legenda Sunda.
Beberapa hari belakangan ini di Pandeglang, Jawa Barat muncul aliran “Hakekok Balakasuta” yang dengan serta-merta dianggap sebagai aliran sesat karena menjalankan ritual yang tidak lazim. Pada hari-hari tertentu kelompok ini berkumpul lalu menuju ke sebuah kolam air dan mandi bersama dengan telanjang di alam terbuka. Ritual ini diintip oleh orang yang memotret dan menyebarkannya ke media sosial. Sebanyak 16 orang laki-laki dan perempuan ditangkap polisi karena dianggap mempraktikkan ajaran sesat.
Dalam tradisi sufisme Islam dikenal tiga serangkai “trilogi tasawuf” dalam pengalaman beragama, yaitu syariat, thariqat, dan haqiqat. Bagi para pengamal tasawuf pengamalan haqiqat adalah puncak pengalaman beragama yang akan menjadi jalan menuju makrifat pengenalan terhadap Tuhan.
Secara sederhana syariat adalah aturan ibadah yang wajib dijalankan sehari-hari seperti shalat dan puasa seperti yang dikenal dalam Rukun Islam. Secara harfiah syariat artinya jalan, sama dengan thariqat yang juga diterjemahkan sebagai jalan. Bedanya syariat adalah jalan yang ditempuh dengan laku fisik seperti puasa dan haji, sedangkan thariqat lebih menekankan pada laku batin dalam bentuk wirid dan zikir.
Bagi para pengamal tasawuf, thariqat dianggap sebagai level yang lebih tinggi dari syariat sebagai jalan menuju Tuhan, dan haqiqat menjadi puncak tertinggi sebelum mencapai makrifat yang dianggap sebagai mahkota tertinggi dalam pengalaman keberagamaan penganut tasawuf.
Pada level haqiqat para pengamal tasawuf berusaha memahami hakikat ketuhanan melalui berbagai aktivitas kontemplatif termasuk di dalamnya meditasi. Semua praktik itu akan berpuncak pada makrifat, pengenalan kepada Tuhan dan berujung pada penyatuan manusia dengan Tuhan yang disebut sebagai “wihdatul wujud” atau dalam tradisi Jawa disebut “manunggaling kawula gusti”.
Ketika Islam masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 praktik-praktik keagamaan sufisme seperti itu sudah terlebih dahulu subur melalui praktik agama Hindu dan Budha dan kepercayaa-kepercayaan lokal seperti animisme dan paganisme. Islam masuk tidak melalui peperangan frontal tapi dengan cara akulturasi budaya menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi lokal yang sudah terlebih dahulu ada.
Para pendakwah Islam di tanah Jawa yang disebut sebagai “Wali Sanga” karena jumlahnya sembilan orang melakukan dakwah kultural dengan mengadopsi dan menoleransi praktik lokal itu. Sunan Kalijaga, salah satu wali legend, memakai pertunjukan wayang dan tembang-tembang Jawa untuk menjadi sarana dakwah. Dakwah kultural ini terbukti sangat ampuh dan dalam waktu relatif singkat wilayah Jawa bisa diislamkan.
Pakar mistisisme Jawa UGM, Dr Simuh berpendapat bahwa inti ajaran Islam yang egaliter, yang mengakui kesamaan derajat semua manusia di hadapan Tuhan yang Esa, menjadi daya tarik utama ajaran Islam bagi masyarakat Jawa yang feodalistis. Kasta dalam keyakinan Hindu yang membagi masyarakat menjadi brahmana, ksatria, waisa, dan sudra, dianggap sebagai diskriminatif dan melanggengkan feodalisme yang menjadi inti monarkisme tradisional Jawa.
Para raja Jawa menyadari bahwa kehadiran Islam bisa menjadi ancaman politis serius terhadap kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa. Maka beberapa raja Hindu kemudian masuk Islam dan mendirikan kerajaan Islam seperti Mataram dan Banten. Para Wali Sanga itu juga melahirkan beberapa keturunan yang kemudian menjadi raja. Perpaduan politik dengan dakwah ini melahirkan kompromi budaya yang sinkretis. Pengamalan ajaran Islam bercampur baur dengan praktik mistisisme Jawa dan ajaran Hindu-Budha yang sudah telanjur mengurat-mengakar di masyarakat. Konon disebutkan bahwa strategi dakwah para wali itu pada akhirnya akan membersihkan praktik sinkretisme dengan memperkenalkan ajaran Islam yang lebih murni. Tapi strategi ini terputus karena kolonialisme Eropa yang membawa serta zending Kristen. Dakwah Islam harus menghadapi front baru melawan para misionaris Eropa yang agresif dan didukung anggaran besar dan kekuatan kolonial.
Kolonialisme yang merentang sampai 350 tahun membubarkan peta jalan strategi dakwah Islam. Pemerintah kolonial Belanda menyadari sepenuhnya potensi kekuatan Islam politik yang bisa mengancam kekuasaan kolonial. Maka kekuatan Islam politispun secara sistematis diberangus dengan kekerasan dan peperangan. Pada saat yang bersamaan Belanda memberi ruang yang luas kepada praktik Islam abangan yang sekularistik dan elitis di kalangan para priyayi dan ambtenar Jawa. Praktik-praktik mistisisme Jawa yang bercampur dengan sufisme Islam juga diberi ruang yang relatif luas untuk menahan pengaruh Islam politis.
Masyarakat Jawa terbagi dalam tiga kelompok sosial santri, priyayi, dan abangan. Kalangan santri yang berbasis pada kelas menengah saudagar di perkotaan dan wilayah pesisir menjadi sentra kekuatan Islam politik. Kelompok abangan dari kalangan priyayi dan ambtenar menjadikan Islam sebagai agama resmi saja tetapi gaya hidup mereka sekular dan kebarat-baratan sampai disebut sebagai “landa ireng” alias Belanda kulit hitam.
Kalangan abangan adalah rakyat dan petani yang tinggal di daerah pedalaman yang jarang terekspos oleh ide-ide pembaruan maupun pemurnian. Disebut sebagai Islam abangan atau muslim nominal karena meskipun secara formal beragama Islam tapi tidak menjalankan syariat resmi sehingga keislaman mereka menjadi hitungan statistik saja. Kelompok ini tersebar di seluruh wilayah pedalaman Jawa mulai dari timur, tengah, sampai barat. Dalam praktik keagamaan sehari-hari mereka mengamalkan klenik dan mistisisme tradisional yang dalam banyak sisi berkesesuaian dengan praktik sufisme Islam.
Di Jawa ada Kejawen dan di Jawa Barat ada Sunda Wiwitan yang masih dipraktikkan di banyak tempat secara terbuka maupun tersembunyi. Kelompok-kelompok ini membuat enclave, hunian khusus, yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Mereka membuat struktur sosial tersendiri dan punya ritual-ritual khusus serta identitas pakaian yang khas seperti suku-suku Badui di Jawa Barat atau suku Tengger dan Samin di Jawa Timur.
Kelompok Hakekok Balakasuta yang dianggap sesat di Pandeglang itu bisa dikategorikan dalam varian kelompok abangan mistis yang mencampur unsur sufisme Islam dengan mistisisme Jawa. Penamaan “Hakekok” mengacu pada “hakikat” sebagai puncak pengamalan dalam beragama. Balakasuta, dalam bahasa Jawa diucapkan “Blokosuto” adalah sikap jujur dan terus terang, apa adanya, tanpa palsu-palsu. Budaya blokosuto ini diterapkan di kalangan masyarakat Samin di Jawa Timur yang terkenal dengan sikap jujur dan polos dalam bertindak dan berbicara. Orang Samin tidak pernah boleh berbohong atau mengatakan sesuatu yang tidak sesungguhnya. Bahkan kalau ditanya dimana dia menyimpan uang orang Samin akan menjawab dengan jujur.
Kelompok ”Hakekok Balakasuta” Pandeglang ini tentu punya tujuan yang mulia untuk mencapai hakikat tertinggi melalui jalan laku jujur yang blakasuta dalam hidup sehari-hari. Bahwa dalam praktiknya mereka dianggap sesat dan menyimpang hal itu karena mereka adalah minoritas yang tidak berdaya menghadapi hegemoni dan dominasi.
Enambelas orang anggota Hakekok itu orang-orang miskin yang lapar dan terasing. Para petani yang terusir dari tanahnya sendiri karena gusuran modernitas. Badannya kurus, dekil, dan pakaiannya lusuh. Mereka membentuk enclave, tempat pelarian dan persembunyian kecil, untuk menghindar dari penderitaan dan kesumpekan hidup sehari-hari. Mereka berkumpul sebulan sekali pada Minggu Wage untuk bermeditasi dan kemudian mandi bersama untuk mendapatkan pemurnian. Dalam praktik sehari-hari pengikut Hakekok tidak boleh bohong dan harus balakasuta dalam berbicara, harus sesuai antara ucapan dan perbuatan.
Para pemimpin dan elite politik Indonesia harus belajar dari para pengikut Hakekok ini. Bila perlu para politisi diikutkan program outbond ala Hakekok Balakasuta, dimandikan telanjang di tengah kolam supaya bersih dan berhenti bicara bohong. (*)
