Seribu Kapal Impian Nelayan (Opini)
KEMPALAN: Menjelang satu tahun pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka meluncurkan program ambisius membangun 1.000 kapal nelayan sebagai bagian dari inisiatif Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP). Harapannya sundul langit program ini diyakini memperkuat ekonomi biru, meningkatkan produktivitas perikanan tangkap, serta menyejahterakan komunitas pesisir di seluruh Tanah Air. Program ini sebetulnuya bukan hal baru rekam jejak historis menuntut kita bersikap kritis dan evaluatif.
Sebelumnya, program serupa di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo pernah dilakukan dan menemui kendala serius di lapangan. Kapal mangkrak, mesin kapal dijual karena tidak sesuai kebutuhan, desain kapal tidak mencerminkan kearifan lokal. Sejumlah temuan menyebutkan pula kapal bantuan tak terpakai di beberapa daerah seperti Bulungan, Kotawaringin Barat, dan Lombok Timur akibat ketidaksesuaian spesifikasi, ketiadaan mesin, serta dokumen legal yang tidak lengkap.
Demikian pula mesin yang diberikan marine engine ternyata sulit diperbaiki dan asing bagi bengkel nelayan lokal, nelayan lebih memilih mengganti mesin. Mesin diesel bekas truk dimodifikasi dan dirancang kuat menahan beban berat dan kerja keras. Fuso, Hino, Mitsubishi, Donfeng pilihan andal nelayan untuk penggunaan jangka panjang di laut lepas. Sejujurnya praktik ini bukan hanya membahayakan keselamatan, tetapi juga mencerminkan kegagalan desain program bantuan. Kapal nelayan ukuran 30 GT ke atas umumnya menggunakan mesin diesel inboard sebagai penggerak utama, berdaya 140-180 HP atau lebih besar, sesuai kebutuhan dan spesifikasi kapal.
Sebagai referensi pada periode 2010–2016 pemerintah merencanakan 2.887 kapal bantuan nelayan, realisasinya hanya sekitar 1.787 unit, banyak yang kemudian ditarik untuk direhabilitasi. Program serupa pada 2017 dengan alokasi Rp467 miliar untuk pembuatan 1.068 kapal juga mengalami masalah ketidaksesuaian kebutuhan di lapangan. Hingga Desember 2024, KKP menyalurkan bantuan senilai Rp104,8 miliar termasuk 112 unit kapal, akan tetapi perlu digaris bawahi keberhasilan program bukan pada kuantitas, melainkan kualitas dan efektivitas kapal tersebut.
Sementara itu, regulasi Penangkapan Ikan Terukur (PIT) sebuah kebijakan penting pemerintah untuk mengelola sumber daya ikan secara berkelanjutan menjadi kerangka utama yang harus diintegrasikan dalam program ini. PIT yang molor diberlakukan karena gelombang protes nelayan diharapkan mengatur kuota penangkapan ikan berdasarkan zona, jenis alat tangkap, dan waktu, tujuannya untuk menjaga stok ikan agar tidak overfishing serta mendukung kelangsungan ekonomi nelayan kecil.
Muncul tantangan serius ketika program 1.000 kapal nelayan tidak secara simultan menyesuaikan dengan ketentuan PIT. Bantuan kapal tanpa pengaturan kuota dan izin yang jelas berpotensi memperparah overfishing di zona tertentu, atau sebaliknya kapal bantuan tidak bisa digunakan maksimal karena nelayan tidak memiliki kuota yang dialokasikan. Ini bisa mengakibatkan kapal mangkrak lagi, persis seperti kegagalan sebelumnya.
Agar program kapal hibah ini tidak menjadi pengulangan kegagalan, beberapa prinsip penting harusnya menjadi catatan. Pertama, kapal harus dirancang sesuai karakteristik perairan dan kebutuhan lokal, menyesuaikan zona penangkapan yang diatur PIT. Misalnya, kapal yang digunakan di perairan Maluku berbeda dengan yang dipakai di Kalimantan, memperhatikan ombak, jarak melaut, jenis ikan yang ditangkap, serta ketersediaan bahan bakar. Kedua, nelayan jangan lagi hanya menjadi obyek atau sebagai penerima bantuan, tetapi harus dilibatkan menentukan desain kapal, jenis mesin, dan cara operasional. KKP menjanjikan “test drive” prototipe kapal sebelum diproduksi massal, perlu ditagih janjinya. Hal ini harus serius dan berkelanjutan agar kapal sesuai kebutuhan dan memudahkan nelayan menjalankan kewajiban PIT, seperti pelaporan hasil tangkapan.
Ketiga, pengelolaan kapal harus berbasis koperasi jangan lagi diberikan kepada Kelompok Usaha Bersama (KUB) untuk memperkuat tanggung jawab kolektif memastikan pemeliharaan kapal berkelanjutan. Ini juga penting agar kapal hibah dapat digunakan secara optimal sesuai alokasi kuota PIT dan menghindari praktik penyalahgunaan. Keempat, pemerintah harus transparan mengenai siapa pembuat kapal, proses distribusi, serta dampak terhadap pendapatan nelayan sangat penting untuk mencegah manipulasi spesifikasi dan korupsi, yang selama ini menjadi momok program bantuan perikanan. Kelima, setiap kapal bantuan harus sudah memiliki kuota dan izin operasional yang valid sesuai dengan regulasi PIT agar kapal dapat beroperasi secara legal dan terukur, mencegah konflik wilayah tangkap dan overkapasitas armada.
Pemerintah harus menyadari kemandirian desa nelayan tidak lahir dari jumlah kapal yang dibagikan, tapi dari kemampuan komunitas mengelola sumber daya laut secara produktif dan berkelanjutan. Kapal hanyalah salah satu komponen dari ekosistem pemberdayaan yang lebih luas, termasuk akses BBM, pelatihan, tempat pelelangan ikan, dan kepastian pasar.
Jika tidak didukung integrasi yang kuat antara bantuan kapal dan regulasi PIT, program 1.000 kapal nelayan akan tercatat sebagai episode lanjutan dari kegagalan masa lalu proyek ambisius yang gagal menyejaherakan nelayan karena tidak memahami konteks sosial, teknis, dan ekologis. Sudah saatnya pemerintah berhenti mengejar target kuantitatif semata dan mulai mengadopsi pendekatan partisipatif, kontekstual, dan berbasis sains dan memastikan kapal bantuan menjadi alat pemberdayaan nelayan kecil, bukan sekadar simbol yang berakhir mangkrak dan tenggelam di dermaga.
Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan









