Pensiunan Polisi dan Lukisan Rustamadji
KEMPALAN: Warga Surabaya saya rasa banyak yang tahu Jalan Pengenal, sebuah jalan yang membentang selatan-utara sepanjang lebih kurang 200 meter yang hanya “sepelemparan batu” dari Tugu Pahlawan.
Jalan ini antara lain menjadi pusat lokasi pengecatan mobil.
Suatu hari, sekitar paruh dekade 1990-an, mobil Daihatzu Zebra saya menabrak pintu pagar rumah. Bemper sisi kiri penyok.
Pagi, sesudah mengantar istri pada sebuah SMA di Jalan Ngaglik, saya bergerak ke Jalan Pemuda untuk sarapan pecel Bu Yatin yang waktu itu di seberang toko roti Granada.
Sesudah sarapan, menuju Dewan Kesenian Surabaya di kompleks Balai Pemuda.
Sekira pukul 10.00 mobil saya lajukan ke Jalan Pengenal untuk mencari Cak Iwan tukang cat free lance langganan saya. Mobil lantas saya serahkan ke pemuda mirip musisi Franky Sahilatua ini untuk diperbaiki.
Saya perkirakan sekitar dua jam akan beres.
Saya pun duduk di amben di pinggir jalan menunggu mobil saya digarap. Selanjutnya menikmati koran lokal yang saya beli eceran.
Sesudah mata lelah membaca, lantas menyapa lelaki 60-an tahun yang duduk di dekat saya yang juga sedang menunggu mobilnya diperbaiki oleh tukang lain.
Dari ngobrol beberapa menit, tampak karakter sosoknya yang ramah dan humoris. Dan, sisa-sisa ketampanan, tergurat pada wajahnya yang dihiasi alis tebal.
Ternyata Pak Sepuh ini pensiunan polisi berpangkat mayor. Pernah ditugaskan di penjara Kali Sosok saat hangat-hangatnya huru-hara 1965.
Dalam percakapan itu saya lebih banyak diam. Salah satu yang diucapkannya : “Sekarang susah cari duit, dik. Jangankan yang halal, yang haram saja sulit ….”, disusul tawa kekehnya. Saya pun tersenyum mencoba mengimbangi.
Sebetulnya kalimat di atas sering saya dengar. Tapi, kali ini cukup bikin heran, mengingat yang mengucapkannya pensiunan polisi, meski sekadar guyonan yang bersumber dari konteks percakapan.
Ternyata tidak sampai dua jam. Sesudah mobil selesai didempul dan dicat, saya pun beranjak pergi. Tak lupa pamit kepada Pak Sepuh yang pensiunan polisi itu.
Di sela pamitan, dia bertanya profesi saya. Agak kikuk saya menjawab. Mau bilang wartawan, nyatanya sudah tak punya “bendera”.
Mau mengaku wartawan free lance, wah…ribet nanti. Kuatir ditanya, misalnya: nulisnya di mana, honornya berapa, dan lain-lain – mengingat Pak Sepuh ini begitu talk active saat ngobrol tadi.
Apalagi di seputaran waktu itu saya tidak begitu aktif mengirim tulisan ke sejumlah media cetak. Paling-paling sebulan sekali tulisan saya dimuat. Tak ada yang bisa dipamerkan, lebih-lebih dibanggakan.
Bisa-bisa tertunda rencana saya ke tujuan lain manakala disusul percakapan lanjutan. Padahal pukul 16.30 saya harus menjemput istri mengajar.
Akhirnya saya jawab sehubungan dengan aktivitas saya lima tahun terakhir, yakni sebagai penyelengara pameran lukisan.
Justru jawaban ini menjadi semacam “turning point”.
“Lho, dik, saya punya beberapa lukisan, karya Darmaji“ katanya.
Mendengar dia menyebut nama Darmaji ritme emosi saya sedikit naik, terperanjat. Hal ini manakala dikaitkan dengan tugas yang pernah dijalaninya di penjara Kali Sosok dulu.
“Mbok tolong dibeli …” lanjutnya.
Mengapa saya surprised ? Ini menyangkut peluang besar ! Meski saya belum tahu langkah yang akan saya tindak lanjuti dengan peluang itu.
Bukan Darmaji, Pak Polisi, tapi Rustamadji …, gumam saya dalam hati.
Ya, nama Rustamadji saat itu – baik di kalangan pelukis maupun sementara kolektor juga art dealer alias broker alias kolekdol macam saya – sudah tidak asing, khususnya di Surabaya.
Selain lukisan-lukisan Rustamadji memang berkualitas, disangkutkannya dirinya dengan huru-hara 1965 yang lantas mengandaskan di penjara Kali Sosok, agaknya menambah dramatis sejarah perjalanan sebagai seniman, yang boleh jadi menjurus pada mitos.
Pada akhirnya lukisan-lukisannya banyak dicari kolektor, dan relatif mahal dibanding – maaf – harga lukisan pelukis-pelukis lain yang bercorak naturalis.
Sebetulnya ada dua Rustamadji dalam dunia kepelukisan di Tanah Air, yakni Rustamadji Surabaya dan Rustamadji Klaten. Dua-duanya dikenal sebagai pelukis naturalis hebat.
Kalau yang Rustamadji Surabaya karya-karyanya bercorak naturalisme pesona manusia (human interest). Sedangkan yang Rustamadji Klaten bercorak naturalisme mistik.
Belakangan lukisan-lukisan Rustamadji Klaten memang banyak berobyek dunia out door seperti pepohonan dengan akar bersulur-sulur atau rerimbunan pohon-pohon di hutan.
*
Kata ‘beberapa’ sebagaimana disebut ‘Pak Polisi’ tadi begitu mengiang di telinga saya. Artinya dia memiliki lebih dari satu. Bukankah ini peluang menggiurkan? Siapa tahu koleksinya itu dijual murah.
Secara refleks saya lantas mencoba menahan diri untuk tidak melanjutkan keterkejutan saya. Bisa-bisa mengurangi untung besar yang bakal saya peroleh dari peluang ini jika hal tersebut dibaca oleh Pak Sepuh yang pensiunan polisi itu.
Lantas dia memberikan alamat dan telepon rumahnya seraya meminta alamat dan nomor telepon rumah saya.
Menjelang mahgrib setelah menjemput istri, kami tiba di rumah. Baru saja memasukkan mobil di car port, telepon rumah berdering.
Lantas Ninis salah satu pembantu kami menyerahkan gagang telepon setelah saya buru-buru memasuki ruang keluarga.
Di seberang terdengar suara Pak Sepuh. “Tadi sampeyan saya telepon dua kali, belum pulang ya …” katanya ramah. “Kapan lukisan (koleksi) saya dilihat, dik“ lanjutnya.
Tiga hari kemudian saya datangi rumahnya di kawasan Simo Gunung. Sedikit sulit menemukannya
Singkatnya, sesudah sampai pada sebuah jalan beraspal yang relatif kecil, lantas belok mengarah barat memasuki jalan beraspal yang lebih kecil di atas kontur perbukitan mini yang kulit aspalnya pada mengelupas.
Sekira 100 meter dari tikungan tadi, ketemulah rumah Pak Sepuh. Menghadap ke utara.
Wow… luas juga rumah dan halamannya. Kira-kira lima kali rumah dan halaman milik kami yang tipe 45.
Rumahnya model jengki (yankee), dipenuhi sejumlah pohon keras dan banyak tanaman hias.
Ketika menginjak teras – astaga ! – saya toleh pada halaman bagian kanan terdapat makam dengan empat batu nisan di bawah rerindangan jambu kelampok.
Makam keluarga kayaknya, pikir saya.
Tak lama Pak Sepuh muncul. Lantas dengan ramah mempersilakan memasuki ruang tamu dengan seperangkat meja kursi yang sofanya cukup besar.
Pada salah satu dinding tergantung dua lukisan dengan luas yang sama dalam posisi vertikal.
Yang satu berobyek perempuan muda membakar jagung disaksikan dua anak laki-laki kecil yang salah satu rambutnya model gundul kuncung.
Satunya lagi berobyek pejuang muda dalam posisi setengah jongkok meminta doa restu ibunya. Gambar pejuang itu mirip Pak Sepuh, mungkin representasi masa muda.
Di dinding sebelahnya, terpajang satu lukisan berukuran lebih besar berobyek sun set di pantai dengan dominasi merah jingga dalam posisi horisontal, kira-kira dua kali luas lukisan-lukisan yang saya sebut itu.
Saya pun terkesima, terutama kepada yang berobyek wanita penjual jagung bakar.
Ya, transformasi alami nan indah dari sosok wanita muda cantik berkain dan berkebaya, bara api pada anglo, serta kabut asap yang menguar. Ditambah “peran pembantu” dua anak laki-laki yang menyaksikan bakar jagung itu dengan wajah lugu lucu.
Satu per satu saya perhatikan tiga lukisan tersebut, saya dekatkan wajah saya, dan astaga… ternyata yang berobyek ‘sun set’ tidak bertanda-tangan Rustamadji melainkan R.Adji.
Setelah itu percakapan dilanjutkan. Antara lain Pak Sepuh memaparkan, selama ditahan di Kali Sosok pelukis Rustamadji banyak diminta oleh sipir dan aparat untuk melukis pesanan mereka.
Dia pun ikutan.
“Saya belikan cat dan kanvas, serta saya beri uang rokok …” katanya.
“Kasihan juga kalau melihat pelukis ini,” lanjutnya. “Banyak yang pesan. Meski sebetulnya dia senang, bisa menyalurkan bakatnya dan membunuh kejenuhan selama dalam tahanan”.
Di sela pembicaraan, dari ruang tamu pandangan saya menerobos ruang keluarga. Tampak pada dinding menghadap ke arah saya lukisan dengan obyek sepasang suami-istri muda. Selintas seperti ciri lukisan Rustamadji yang anatomis indah tanpa mengabaikan garis-garis perwatakan.
Lantas kenapa lukisan yang berobyek pemandangan sun set itu bertanda-tangan R. Adji bukan Rustamadji, begitu antara lain saya melanjutkan bertanya.
Pak Sepuh berusaha meyakinkan saya bahwa itu memang lukisan karya Rustamadji. Tidak lain sekadar menyamarkan agar tidak menimbulkan kekuatiran jika tetap menggunakan nama Rustamadji.
Tapi waktu itu saya punya pandangan lain, jangan-jangan Rustamadji menandatangani karyanya dengan R Adji supaya tidak laku mahal kalau dijual. Lha kalau cepat laku, apalagi mahal, nanti para petugas itu pesan lagi. Lama-lama apa tidak legrek badan pelukis tersebut.
Tibalah pada pembicaraan harga.
Buset, rupanya ‘Pak Polisi’ itu tahu perkembangan harga lukisan yang saat itu lagi booming.
Tadinya saya berharap lukisan ‘Penjual Jagung Bakar’ dan ‘Pejuang Minta Doa Restu’ harganya 250 ribuan, ternyata masing-masing sejuta rupiah. Dua lukisan ini berukuran 90 x 70 cm.
Sementara yang ‘sun set’ berukuran 100 x 200 cm, dipasang harga Rp 3.000.000.
Saya tidak melakukan penawaran, karena sedang tidak punya uang. Kedatangan saya dalam rangka penjajakan.
Dari pembicaraan itu, tampak Pak Sepuh keukeuh dengan harga yang diajukan.
Saya pun pulang dengan membawa narasi baru sisi lain black market dunia lukisan.
Tetapi lukisan ‘Penjual Jagung Bakar’ itu terus menggoda saya.
*
Seperti yang saya ceritakan, saat itu saya memang tidak punya uang. Tapi saya sudah bisa bernafas lega, karena cicilan mobil yang setiap bulannya Rp 550.000 barusan lunas dua bulan sebelumnya.
‘Bagaimana kalau …’, pikiran ini mengiang di kepala saya.
Ya, bagaimana kalau BPKB Daihatsu Zebra digadaikan yang lantas duitnya untuk membeli “Penjual Jagung Bakar”.
Istri acc dengan ide saya. Maka saya datangi BPR “B” di pertokoan Pondok Chandra, Sidoarjo, sekitar 1 km dari rumah.
Sebetulnya cuma ingin pinjam Rp 1.000.000 yang satu bulan kemudian akan saya kembalikan. Tapi ditolak oleh BPR itu. Minimal harus enam bulan. Saya pun menyerah. Tetapi saya mengajukan pinjaman Rp 1.500.000.
Salah satu proses, rumah saya didatangi karyawan bank perkreditan itu. Lantas difoto dari jarak jauh dan dekat. Ruang tamu juga difoto. Kulkas difoto. Televisi ikut difoto.
Perasaan saya, dulu saat ambil kredit rumah tak se-njelimet ini. Demikian juga saat ambil kredit mobil via lembaga keuangan ACC.
Maka, jadilah “Penjual Jagung Bakar”, milik saya. Tetapi terjadi kecelakaan, sewaktu saya turunkan dari mobil, terkena benda tumpul. Cat pada bidang kosong mengelupas sebesar biji jagung.
Kemudian saya bawa ke pelukis Soeboer Doellah di kawasan Kupang Segunting untuk ditambal.
“Lukisan ini empuk,” komentar Pak Soeboer terhadap “Penjual Jagung Bakar”, disusul senyumnya. Mungkin artinya kurang lebih enak dilihat.
Tak lama kemudian saya bawa ke galeri di dekat Jalan Raya Gubeng untuk saya tawarkan. Ini langkah by pass daripada di-oyang-oyong ke sejumlah kolektor.
Pemilik galeri tak ada di tempat.
“Lukisan karya siapa yang mau dijual,” kata salah satu karyawan.
“Rustamadji,” jawab saya.
Cekak aos, karyawan tadi membeli dengan harga Rp 2.500.000 dari penawaran Rp 3.000.000.
“Kalau ada (lukisan) Rustamadji lagi, dijual ke saya saja,” ujar karyawan yang asli NTB ini.
Sebulan kemudian lukisan “Pejuang Minta Doa Restu” saya beli dengan harga tetap Rp 1.000.000. Lantas dibeli oleh karyawan galeri tadi. Tapi tidak dengan harga Rp 2.500.000, melainkan Rp 2.250.000.
“Tak sebagus yang dulu, Pak “ alasannya.
Saya dengar dari orang lain, lukisan-lukisan Rustamadji tersebut masing-masing laku Rp 5.000.000. Dijual pemuda asal NTB itu ke sebuah galeri di Bali.
Empat bulan kemudian saya ditelepon Pak Sepuh yang pensiunan polisi itu. Intinya supaya saya membeli lukisan sun set. Tetapi saya menolak dengan halus, lantaran tidak bertanda-tangan Rustamadji melainkan R. Adji.
Apakah saya percaya itu lukisan karya Rustamadji ?
Seratus prosen percaya !
Apalagi setelah mendengar penjelasan Pak Chudori salah satu ahli pigura terkemuka di Surabaya bahwa Rustamadji pernah menggunakan tanda-tangan ‘Roes’ saja.
Bahkan, sebagaimana dipaparkan Pak Chudori, kalau tahanan politik di Kali Sosok menerima kiriman makanan dan lain-lain dari keluarganya pada hari-hari jadwal kunjungan, sebaliknya Rustamadji yang membiayai keluarganya dari hasil melukis.
Karya-karyanya “diselundupkan” keluar dengan tanda tangan ‘Kaboel’, dan ditampung oleh Bangun Art Shop di Jalan Raya Darmo yang lokasinya sekarang menjadi Bank BCA.
Tetapi ini perkara jual-menjual, mas bro, dimana antara lain adanya rasa pasti dari calon pembeli, terutama soal tanda tangan itu. Apalagi jika mengingat Rustamadji Surabaya dikenal sebagai pelukis naturalis human interest bukan pelukis naturalis pemandangan.
Rupanya Pak Sepuh ini sedang terdesak kebutuhan ekonomi, harga ‘sun set’ diturunkan menjadi Rp 2.000.000. Tetapi saya bergeming.
Sesudah itu – kalau tidak salah – dua kali lagi Pak Sepuh mengontak, saya tetap bergeming. Mboten tertarik, mas bro …he-he …
Baru ketika dia mengontak lagi dengan penurunan harga menjadi Rp 1.000.000, saya luluh.
Benar dugaan saya, tak satu pun kolektor maupun kolekdol yang tertarik. Bahkan saya masih ingat, karyawan galeri yang di dekat Jalan Raya Gubeng itu ikut membantu menawarkan ‘sun set’ ke kolektor kenalannya di sebuah rumah super mewah di kawasan Darma Husada Indah dekat Galaxy Mall.
Saya tidak ikut masuk, menunggu di mobil yang saya parkir dekat berm taman.
Sepuluh menit kemudian, karyawan galeri itu keluar sembari menggotong ‘sun set’.
“Alasannya apa tidak dibeli,” tanya saya setelah dia berada di dalam mobil.
“Koen koyok gak ruh seleraku ae. Lukisan koyok ngene ditawakno. Iki lukisan Jalan Kartini, yo …(Kamu seperti tidak tahu selera saya saja. Lukisan seperti ini kok ditawarkan. Ini lukisan Jalan Kartini, ya … )” ujar karyawan galeri itu menirukan ucapan kolektor koleganya.
Saya terbahak-bahak mendengar penjelasannya.
Bukan memikirkan nasib lukisan sun set yang nggak laku-laku, melainkan lantaran dia menirukan ucapan kolektor itu dengan logat Jawa kagok, mengingat dia yang asal NTB.
Sementara yang dimaksud Jalan Kartini adalah lokasi penjualan – maaf – lukisan-lukisan kaki-lima di Surabaya yang harganya berkisar Rp 25.000 – Rp 100.000.
*
Ada beberapa tahun ‘sun set’ ngendon di rumah saya, sampai akhirnya dibeli oleh teman saya yang salah satu tokoh seniman dengan harga Rp 1.500.000. Sebut saja inisialnya BS.
Lantas, ada sekian lama saya tidak tahu juntrungan “sun set”, sampai pada suatu malam sesudah Isya saya ditelepon BS, diminta menemuinya.
Karena badan capek seharian untuk urusan di luar rumah dan baru pulang menjelang mahgrib, saya keberatan. Saya katakan, kenapa tidak besok saja. Tetapi dia merayu dan mendesak.
Saya tanya dimana posisi, dia menyebut kantor DPD Tingkat I salah satu partai, di Jalan Raya Kendangsari. Lantas saya iyakan.
Saya mencoba berpikir positip, bayangkan kalau saya harus menemui di rumahnya di kawasan Rewwin yang jaraknya sekitar 6 km. Atau jika menemuinya di Balai Pemuda yang 14 km. Ini cuma 3 km.
Ketika saya desak ada keperluan apa, dia hanya menjawab: “Penting, Pak. Ndang reneo (cepat ke sini),“ jawabnya.
Mobil saya keluarkan dari car port, terus melaju dan potong kompas menembus perkampungan di belakang kampus Ubaya.
Dalam perjalanan itu tiba-tiba saya teringat kebiasaan dia, kalau sudah “memaksa” untuk menemuinya, dia akan memberi rejeki. Apalagi setelah saya teringat baru dua hari lalu dia pulang dari Selandia Baru untuk urusan misi kesenian Pemprov Jawa Timur.
Mau ngasih oleh-oleh nih, pikir saya.
Mendadak setitik optimisme ini berganti rasa kuatir karena jarum bensin di dash board menunjuk angka nol mentok. Waduh…gawat kalau mogok. Padahal jalanan berangsur sepi.
Untung di seberang lokasi yang sekarang berdiri apartemen Metropolis terlihat kios bensin eceran. Lantas saya beli dua liter.
Setelah berjalan 10 meter, laju mobil tersendar-sendat dan saya mencium bau gosong. Saya cari sumber bau itu. Saya menoleh ke arah belakang, astaga asap knalpot hitam mengepul.
Buset campuran minyak tanahnya banyak banget ! Mungkin angka oktan bensin berada di titik terendah.
Tetapi mobil terus saya jalankan dengan tersendat-sendat dan bau asap terus menyengat.
Kalau situasi ini siang hari pasti diprotes pengendara lain. Untung malam. Sepi.
Sampai di depan kantor partai itu sudah berdiri seorang office boy yang saya kenal.
“Sudah ditunggu, Pak. Di lantai atas” katanya sopan.
Sesudah berbasi-basi, lantas BS mengambil amplop coklat dari tas hitam butut, lantas menyerahkan kepada saya.
“Lho, apa ini?” tanya saya
“Lukisan kita sudah laku” ujarnya dalam bahasa Suroboyoan.
“Lukisan kita ?”
“Lukisan pemandangan pantai itu, lho …” ujarnya.
Saya pun mbatin, bukankah lukisan itu sudah dibelinya sekian tahun lalu, kok saya diberi amplop yang isinya apalagi kalau bukan duit.
“Siapa yang beli ?” tanya saya.
Dia menyebut salah satu kepala dinas yang berkantor di kawasan Injoko yang selama ini dikenal sebagai kolektor terkenal.
Lantas isi amplop saya longok. Ada dua bendelan sejutaan.
“Sepuluh” katanya ketika saya tanya laku berapa rupiah. Maksudnya sepuluh juta.
Jadi ceritanya saya diberi bonus.
“Sudah lama lakunya, mas …?”
“Dua hari menjelang berangkat ke Selandia Baru, dua minggu lalu,” ujarnya.
Rupanya dia butuh tambahan sangu untuk pergi ke Selandia Baru, lantas ‘sun set’ dijualnya kepada Pak EI (inisial) yang kepala dinas itu.
Malam itu saya pulang dengan perasaan lega meski jalan mobil masih nyendat-nyendat.
Di depan kantor Telkom Kendangsari saya lihat kios bensin eceran, maka tangki diisi lima liter. Alhamdulliah laju mobil normal.
“Habis dapat rejeki ya, pak, kok (kelihatan) cerah,” kata istri saat saya baru tiba.
“Ya” jawab saya seraya melenggang menuju kamar mandi.(Amang Mawardi).
