Sosok Itu Dipanggil: Suhu
KEMPALAN: Slamet Oerip Prihadi di mata saya adalah sosok ‘low profile’. Saya tidak ingat persis masuk angkatan tahun berapa di AWS. Mungkin se-angkatan dengan Peter A. Rohi : Tahun 1972.
Yang pertama-tama Saya ingat dari sosok ini adalah peristiwa di Wonokromo, Surabaya. Persisnya di lintasan kereta api yang membelah Jl. A. Yani, arah utara Jl. Bendul Merisi. Saat itu Mas Slamet memboncengkan Peter A. Rohi. Mungkin karena motor itu tak ada tutup rantainya, celana Mas Peter terlilit rantai, lantas terpelanting ke aspal dekat rel kereta. Akhirnya salah satu kaki pensiunan pembantu letnan satu marinir ini di-gibs.
Saya pun tidak tahu, sejak kapan Mas Slamet menjadi koresponden majalah Tempo di Jawa Timur. Saat studi di AWS atau sesudah itu? Yang jelas, sebelum Tempo membentuk Biro Jawa Timur yang akhirnya menugaskan Dahlan Iskan yang waktu itu koresponden Tempo di Samarinda, sebagai kepala biro Jawa Timur.
Setelah Jawa Pos di-“take over” Tempo dengan Dahlan Iskan sebagai pelaksana harian, Slamet Oerip Prihadi tak lama kemudian ikut bergabung. Dan terlama menangani bidang olahraga.
Pernah di-“BKO” sebagai senior di tabloid Kompetisi, koran yang lahir di awal 1990-an di bawah naungan Jawa Pos.
Mas Oerip saat awal-awal jadi wartawan, lebih satu kali cerpen-nya dimuat di koran Surabaya Post.
Saat ini Slamet Oerip menangani media online Cowas (Konco Lawas) Jawa Pos.
Media yang menampung aspirasi mantan pensiunan wartawan & karyawan Jawa Pos.
Karena sosok kalem yang memunculkan sifat-sifat persuasif motivatif, sosok ini mendapat panggilan : suhu.
Gesture maupun ‘out fit’ yang dikenakan Sunendar mirip guru. Jauh dari kesan “seenaknya sendiri”. Kalem, sederhana, terkesan apa adanya.
Namun, jika sudah bicara sastra dan majalah Horison, matanya akan terlihat berbinar. Ya, karena sosok ini adalah seorang penulis cerpen. Karya-karyanya banyak dimuat di Mingguan Shimponi.
Kemana-mana roda empat senantiasa membawanya ke tujuan. Angkutan kota adalah teman setianya.
Sehari- hari Sunendar adalah editor di Harian Karya Dharma, koran yang orientasinya ke Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Edi Sutedjo saat saya duduk di tingkat I, beliau berada di tingkat III. Sama-sama lulusan STM. Tepatnya Edi Sutedjo alumnus STM (C) AL, Surabaya; saya dari STM II Kimia Industri, Surabaya.
Pernah menjadi Pemimpin Redaksi media kampus Acta Surya. Jabatan ini lantas tahun ajaran berikutnya “diwariskan ke saya.
Sejak kuliah di AWS, Edi Sutedjo adalah salah satu koresponden Harian Sinar Harapan di Surabaya, selain Amak Syarifudin dan Peter A. Rohi. Setelah Edi Sutedjo masih ada dua lagi koresponden Sinar Harapan di Surabaya, yaitu Teguh Kupuja dan Aris Sudiono.
Edi Suitedjo dikenal sebagai jurnalis yang lincah, kendati kemana-mana untuk ‘hunting’ berita menggunakan angkutan kota. Jelasnya, beliau tidak bisa naik motor, juga tidak bisa nyetir mobil.
Pernah saat ada rezeki Edi Sutedjo beli mobil kijang. Karena tidak bisa nyetir, akhirnya menggaji seorang sopir.
Entah bagaimana ceritanya, kembali Edi Sutedjo saat ‘hunting’ berita menggunakan angkot lagi.
Bertubuh tinggi, berkaca-tebal, itulah sosok Bambang Sumarjono HD.
Berasal dari Jember, ketua Sema AWS ini piawai bermain gitar.
Saat bertugas sebagai jurnalis di LKBN Antara Biro Surabaya, beliau yang saat itu dengan bus kota sedang menuju kantornya di Jl. Pahlawan nomor 30, tetapi bus tidak dihentikannya. Terus melaju ke arah utara. Tahu-tahu sudah sampai terminal terakhir di dekat Ujung, Tanjung Perak.
Sopir dan kondektur heran, semua penumpang sudah pada turun, tetapi satu orang penumpang masih duduk dengan kepala menunduk. Seperti orang tidur.
Ternyata setelah dibangunkan, tak ada tanda-tanda kesadaran, tetapi jantung masih berdetak. Lantas dibawa ke PHC Tanjung Perak. Diketahui bahwa sosok ramah ini terkena stroke. Tiga hari kemudian Mas Bambang sadar, dan bisa berjalan, tetapi ngomongnya sedikit cadel.
Dua tahun kemudian innalillahi wa inna ilaihi raji’un beliau meninggal dunia.
Amang Mawardi, penulis tinggal di Surabaya.
