Renungan dari Pernikahan Kaesang

waktu baca 4 menit
FOTO: Agus Suparto/Biro Pers Istana Kepresidenan

KEMPALAN: SEJAK empat hari lalu bangsa ini disuguhi prosesi perkawinan Kaesang anak bungsu Jokowi. Dahsyatnya, sebanyak 10.800 personel aparat gabungan TNI Polri serta ASN setempat dikerahkan mengamankan acara. Mereka pagi siang malam wajib mengawasi mulai dari Sleman–rumah Erina Gundono, mantu Iriana Jokowi–Pura Ambarukmo, tempat akad nikah, Loji Gandrung, rumdin Gibran Rakabuming Raka Walikota Solo, jadi tempat ngunduh mantu Ahad pagi ini– yang menutup total jalan protokol Jln Selamet Riyadi dan sekitarnya. Serta malam nanti acara resepsi di Pura Mangkunegaran.

Tiga ribu undangan dari berbagai klaster bakal hadir di acara resepsi itu. Ada sekitar 52 private jet jauh hari sudah pesan apron untuk parkir ke otoritas bandara Adi Sumarno. Hebat bukan !

Tiga bulan lalu panpel Jokowi menghelat mantu ini sudah dikukuhkan. Menteri BUMN Erick Tohir jadi Ketua OC dan membawahi beberapa koleganya seperti Bahlil Lahadalia Meninves Ketua BKM, Men-PUPR Basuki Hadimulyono dan Menteri Menteri lain serta LBP yang ditunjuk jadi penasihat panpel setara SC (Steering Committee) bila di acara mubes atau Munas Parpol.

Yang pasti, cukup besar rupiah yang digelontorkan untuk kemeriahan pesta perkawinan menjelang akhir tahun ini. Dan ini menjadi rekor teratas dari pesta perkawinan anak kepala negara sejak era Orla, Orba, Reformasi. Woouuww

Selasa (6/12) lalu Bangsa Indonesia dibuat kaget dan terguncang terhadap pengesahan R-KUHP jadi UU- KUHP. Karena konspirasi para petinggi kekuasaan yang mengusung konstitusi tanpa nurani itu, sejatinya, telah menghasilkan republik ini menjadi paripurna kehilangan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

Indonesia kembali memasuki masa kegelapan. Kebenaran menjadi sesuatu yang langka untuk ditemukan. Praktik-praktik penyimpangan dipaksa menjadi konsumsi publik. Keharusan meninggalkan akal sehat dan pasrah menerima keburukan, telah menjadi menu sehari-hari rakyat.

Kejahatan begitu angkuh dan bangga mengambil peran kepemimpinan. Mengambil harta dan aset rakyat melalui jalan konsitusi, pengkhianatan terus melenggang atas nama kehormatan, otoritas, dan kewenangan.

Rakyat hidup bagaikan sapi potong, yang diperah susunya, dimakan dan dijual dagingnya. Lengkap sudah sebagai obyek penderitaan, dikuasai dan ditindak tegas untuk diambil nilai ekonomisnya. Apa yang tidak diberikan rakyat kepada negara, termasuk kepada para pemimpin, pejabat dan aparatur penyelenggara negara? Bahkan keberadaannya saja sudah menjadi pondasi sekaligus menopang kokoh berdirinya negara.

Diam dan membisunya rakyat saja demi keselamatan negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *