Mbak Ikit, Wartawati Senior yang Berhasil Melawan Kanker Sebaik-Baik Perlawanan

waktu baca 5 menit
Bumi, cucunda almarhumah memberi penghormatan terakhir.

KEMPALAN: Satu lagi sahabat pergi. Tadi pagi, Selasa (26/4) di RS Islam, Surabaya, Jawa Timur.

Meski sudah sekian tahun menderita kanker, tetapi kepergian wartawati senior Sirikit Syah (lahir di Surabaya, Jawa Timur, tahun 1960, umur 62 tahun) Surabaya, tetap saja membekaskan duka mendalam.

Sekian tahun Mbak Ikit — begitu ia akrab disapa — menderita kanker, dan rasanya sikap yang dia tunjukkan menghadapi sakit adalah sebaik-baik sikap perlawanan terhadao penyakit ganas itu. Dia tak menyerah. Ikit tetap merawat semangat.

Ia yang sejak muda kritis, tetap bisa menjaga daya kritisnya hingga ajal menjemput. Di beberapa WAG (WhatsApp) yang saya ikuti bersama dia sungguh perlawanan itu nyata dia lakukan. Bahkan ketika menjalani kemo pun ia tetap melayani polemik berbagai topik yang menguji daya kritisnya. Juga kesabarannya.

Sebagai kawan seprofessi saya turut bangga Ikit tak tergelincir (itu istilah dia) berkolaborasi dengan kekuasaan, ikut tren sebagian akademisi yang tak kuat “berpuasa” mencicipi nikmat hasil pembangunan rezim. Belum lama Ikit malah menerima posisi sebagai anggota Dewan Pakar Partai Kesejahteraan Sosial ( PKS) Jawa Timur, yang berarti pandangan-pandangan kritisnya setuju diwadahi secara formal.

BACA JUGA: BREAKING NEWS: Sirikit Syah Berpulang

Otak-Otak Makassar

Saya mengenal Ikit pertama kali di Surabaya sebagai wartawan film, lebih empat puluh tahun lalu. Ikit bekerja sebagai wartawan Surabaya Post. Dia sering mengontak saya mengajak diskusi tentang perfilman Indonesia. Ia pun beberapa kali meliput acara Festival Film Indonesia (FFI) yang diselenggarakan di daerah. Ia memang paling suka bertugas di daerah. Tugas jurnalistik maupun sebagai pengajar. Tahun lalu, ia bercerita, kota Bukittinggi, Sumatera Barat, kota dambaan yang belum sempat dia kunjungi. Pengalaman tugas di daerah mengenalkannya sekaligus dengan pelbagai kuliner khas daerah di Nusantara. Dan, kuliner Makasar yang mengesankan buat dia adalah Otak-Otak. Tahun lalu, sepulang Kemo, Ikit mengontak saya. Ia pengen sekali makan otak-otak Makassar. Saya pun kontak kemanakan di Makassar memesankan segera mengirim penganan itu ke Ikit di Surabaya.

BACA JUGA: Menggapai Berkah Ramadhan, Fryda Lucyana Merilis Single Religi “Rindu Ramadhan”

Pernah belasan tahun kontak kami terputus karena kesibukan.

Namun saya mengikuti aktifitas Ikit yang kelak dikenal melalui karya-karya sastranya berupa esai, puisi, dan cerita pendek yang dipublikasikan di sejumlah media massa. Sirikit Syah adalah alumni Universitas Negeri Surabaya dan menjadi salah satu akademisi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA – AWS) dan pendiri Sirikit School of Writing (SSW).

Catatan di Wikipedia, sejak usia muda Ikit memang sudah mencita-citakan menjadi guru. Itulah yang mendorongnya masuk kuliah di IKIP Surabaya pada tahun 1984. Namun setelah lulus, dia justru menekuni kariernya sebagai wartawati di Surabaya Post (1984-1990), RCTI/SCTV (1990-1996), dan The Jakarta Post (1996-2000). Di sela -sela waktu, toh masih mengabdi di dunia pendidikan dengan mengajar di Universitas Dr. Soetomo (1996-2001). Sepulang dari London dengan gelar Master Komunikasi (2001-2002), Sirikit dipercaya mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (STIKOSA). Di luar aktivitasnya sebagai pengajar dan wartawan, dia juga menjadi pengamat media yang cukup kritis melalui Lembaga Konsumen Media (Media Watch!) yang didirikan pada tahun 1999.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *