Sains di Era Hawking

waktu baca 9 menit
Setphen Hawking (foto: ist)

KEMPALAN: Pada era 300-an SM Archimedes memusingkan jagad dengan beragam rumus matematikanya. Namun, pada akhir 1900-an M dan awal 2000-an M, adalah Stephen Hawking yang memaksa otak kita lebih berputar oleh teori penciptaan alam semestanya.

Stephen William Hawking (8 Januari 1942 – 14 Maret 2018) merupakan salah satu fisikawan teoritis paling ternama dalam sejarah. Karyanya mengenai asal-usul dan struktur alam semesta merevolusi fisika menjadi yang kita kenal sekarang.

“Belum pernah ada ilmuwan setelah Albert Einstein (selain Hawking) yang bisa memikat imajinasi publik dan mendekatkan dirinya dengan puluhan juta manusia di seluruh dunia,” kata Michio Kaku, profesor fisika teoritis di City University of New York, seperti dilansir dari New York Times, Rabu (14/3/2018).

Dia adalah genius milenium ini.  Pakar dalam bidang cosmology dan quantum gravity, khususnya kajian tentang black hole. Disebutkan, lubang hitam yang ajaib ini, adalah pusat galaxy atau tata surya kita. Itulah sekelumit pemikirannya yang bisa kita telaah dalam A Brief History of Time (1988), The Universe in a Nutshell (2001). Untuk ukuran sebuah buku ilimiah, buku ini ringan untuk dibaca semua kalangan.

Orang akan takjub jika tahu bahwa Hawking adalah penderita ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit yang menyerang syaraf motorik sehingga membuat Hawking hampir lumpuh total. Ia hanya bisa mengedipkan matanya untuk berkomunikasi dengan dunia, menyampaikan pikiran-pikirannya. Dalam kondisi yang serba terbatas itu, Hawking masih terus berkarya.

Hawking lahir pada 8 Januari 1942 di Oxford, England. Ayahnya, Frank Hawking, adalah peneliti biologi yang mengepalai divisi Parasitology di National Institute for Medical Research. Otak genius sang ayah, tampaknya tercermin dalam otak Hawking. Tidak seperti ayahnya, Hawking leih menyukai matematika.

Namun saat kuliah, dia malah memilih mengambil bidang fisika, dan sangat tertarik pada termodinamika, relativitas, dan mekanika kuantum di Univesity College, karena bidang matematika tidak ditawarkan di kampus ini. Tutor fisikanya, Robert Berman, memuji kecerdasan otaknya.

”Bagi dia hanya perlu untuk mengetahui bahwa sesuatu bisa dikerjakan, maka dia akan bisa mengerjakannya tanpa perlu melihat bagaimana orang lain mengerjakan hal itu. Dia tidak punya banyak buku, tidak membuat catatan. Dia menyimpan semua dalam otaknya. Otaknya benar-benar berbeda dengan orang lain,” ujarnya.

Karena cara belajar dan cara berpikirnya yang berbeda dengan orang lain, pada ujian akhir (dengan bentuk soal yang normatif dan konvensional), Hawking nyaris tidak lulus. Ia diharuskan mengikuti ujian ulangan secara lisan di depan dewan penguji. Dalam ujian ini, para pakar anggota dewan penguji segera saja menyadari bahwa mereka menguji seseorang yang jauh lebih pintar dari mereka sendiri.

Selanjutnya: Mengkritik Einstein

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *