Uji Nyali Firli
KEMPALAN: Pemakai telepon seluler mungkin pernah mendengar istilah CDMA dan GSM, singkatan dari Code-division Multiple Access dan Global System for Mobile Communication. Dua sistem itu merupakan teknologi seluler yang paling banyak digunakan di dunia.
Tetapi sekarang CDMA sudah kalah bersaing dengan GSM dan sudah hampir tidak ada lagi yang memakai sistem itu di dunia. Teknologi seluler sudah semakin canggih dengan ditemukannya jaringan 2G sampai 4G, dan sistem CDMA pun terkubur.
Tapi, di dunia pemberantasan korupsi CDMA malah tumbuh subur, termasuk di Indonesia. CDMA dalam terminologi korupsi adalah ‘’Corruption=Discretion+Monopoly-Accountability’’, artinya, korupsi tumbuh subur kalau ada kewenangan plus monopoli, tetapi minus akuntabilitas atau tanggung jawab.
Pabrik korupsi terbesar dan paling masif ada di pemerintahan, karena di situlah pusatnya D dan M yaitu diskresi alias kewenangan, dan monopoli. Semua kewenangan perizinan birokrasi ada di pemerintahan dan pemerintah melakukan monopoli terhadapnya. Jika kewenangan dan monopoli sudah kawin mawin menjadi satu maka lahirlah korupsi.
Karena itu yang bisa menjaga supaya korupsi tidak subur adalah A, yaitu akuntabilitas alias tanggung jawab. Akuntabilitas ini akan efektif kalau ada lembaga pengawas hukum dan lembaga penyeimbang yang mengawasi birokrasi.
Kekuasaan yang dibiarkan kuat dan mutlak akan melahirkan korupsi yang mutlak juga. Mahasiswa politik semester satu sudah hafal adagium Lord Acton ‘’power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely’’, kekuasaan akan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak akan melahirkan korupsi yang mutlak.
Karena itu, di negara yang memakai sistem ‘’trias politika’’ Montesquieu kekuasaan harus dibagi rata antara eksekutif, legislatif, dan judikatif. Tujuannya adalah supaya kewenangan dan monopoli tidak terjadi di eksekutif. Lembaga legislatif berwewenang membuat peraturan perundangan dan mengawasi kerja eksekutif. Lembaga judikatif punya kewenangan hukum untuk mengawasi kerja legislatif dan eksekutif.
Ketiga lembaga itu harus bekerja secara independen dan menjalankan fungsi ‘’checks and balances’’, pengawasan dan penyeimbangan. Tanpa pengawasan dan penyeimbangan maka kekuasaan eksekutif akan menjadi monopolistis. Tanpa akuntabilitas dan pengawasan yang efektif maka berbagai tindak korupsi akan merajalela.
Yang terjadi sekarang adalah pengawasan yang tidak efektif dari lembaga legislatif. Lembaga ini sudah terkooptasi oleh rezim dan menjadi bagian dari kekuasaan. Lembaga judikatif juga tidak menunjukkan taring yang cukup kuat untuk menjadi ‘’watch dog’’ atau anjing penjaga, dan lebih banyak berfungsi sebagai ‘’laps dog’’ alias anjing piaraan.
Ada banyak sekali teori korupsi, tetapi teori CDMA yang diperkenalkan ahli sosiologi Robert Klitgaard itu yang paling banyak dipakai oleh para pegiat anti-korupsi di Indonesia. Teori CDMA juga sering dikutip oleh orang-orang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ‘’zaman dulu’’, misalnya Busyro Muqoddas. Para komisioner KPK ‘’zaman sekarang’’ belum pernah terdengar mengutip teori-teori anti-korupsi.
Para komisioner KPK zaman sekarang era Firli Bahuri malah menjadi sasaran kecaman dari para pegiat anti-korupsi. Dalam evaluasi akhir tahun yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) dan lembaga pegiat anti-korupsi lainnya memberi rapot merah kepada KPK.
Para pegiat anti-korupsi sekarang malah menyebut KPK era Firli Bahuri sebagai KPK terburuk sepanjang sejarah. KPK dianggap berada pada titik nadir terendah. Banyak indikator yang mendukung anggapan itu. Pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis menjadi salah satu indikator terkuat.
Revisi UU KPK 2019 dianggap sebagai awal dari proses sistematis pengeroposan KPK. Dengan revisi itu kewenangan KPK dipereteli satu-persatu. Serangan sistematis datang bergelombang dari unsur eksternal maupun internal.
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan oleh KPK lebih mirip pangur gigi untuk membuat KPK semakin ompong. Sebanyak 57 pegawai yang tergusur oleh TWK justru adalah orang-orang yang paling berintegritas dan menjadi ujung tombak operasi tangkap tangan yang paling sering membuat koruptor terkencing-kencing.
Pengeroposan KPK semakin lengkap karena Firli Bahuri diadili oleh Komisi Etik karena bergaya hidup mewah yang bertentangan dengan spirit paling mendasar KPK, yaitu kesederhanaan. Firli lolos dari hukuman Komisi Etik dan hanya terkena peringatan ringan.
Ibarat bermain sepak bola…