Tancap Gas LPG Non-subsidi di Menit Akhir

waktu baca 3 menit
Ilustrasi gas LPG.
Bambang Budiarto (penulis).

Catatan Ekonomi Bambang Budiarto

KEMPALAN: Daya kejut itu selalu ada, utamanya daya kejut ekonomi. Di tengah kebahagiaan saling salam dalam ucapan selamat Natal  dan khusuk peribadatan, ternyata tak ketinggalan munculnya daya kejut ekonomi. Sah! Harga LPG non-subsidi naik per Sabtu, 25 Desember 2021.

Tentu saja diiringi dengan beberapa alasan pembenaran; guna merespons tren peningkatan harga pada contract price aramco (CPA) LPG yang terus naik sepanjang 2021, mendukung penyeragaman harga LPG, penciptaan fairness harga antar-daerah.

Dengan kenaikan porsi konsumsi nasional 7,5% di kisaran Rp 1.600 – Rp 2.600 per kilogram, hal ini menjadikan harga LPG non-subsidi berada di angka Rp 11.500 per kilogramnya. Besaran ini disebut masih kompetitif dan bertahan sejak tahun 2021, sesuai penetapan PT Pertamina (persero).

Fakta yang demikian ternyata masih lebih rendah dibanding Vietnam yang menetapkan harga di kisaran Rp 23.000 per kilogramnya. Filipina setara Rp 26.000 dan Singapura Rp 31.000. Sementara Malaysia dan Thailand memiliki harga yang lebih rendah dibanding Indonesia karena gelontoran subsidinya yang memang besar.

Meskipun LPG bersubsidi jenis 3 kilogram tidak mengalami perubahan harga, tampaknya kenaikan LPG non-subsidi dipastikan tidak akan sampai menimbulkan gejolak ekonomi yang berlebihan. Minim efek ekonomi.

Situasi ini sangat dimungkinkan karena beberapa fakta; 1). Kenaikan LPG non-subsidi terakhir kali dilakukan adalah empat tahun yang lalu, 2). LPG bersubsidi jenis 3 kilogram sudah dikonsumsi oleh lebih dari 92% angka konsumsi LPG nasional, 3). Jaminan PT Pertamina (persero) atas kepastian stok dan distribusi secara maksimal, 4). Kesadaran yang tinggi di masyarakat atas konsumsi LPG bersubsidi yang tepat sasaran.

Keresahan dan kekhawatiran dimungkinkan ada dan muncul, utamanya dari agen dan bukan dari pelanggan, yaitu tidak terserapnya LPG non-subsidi oleh konsumen akhir, khawatir akan bergeser ke LPG bersubsidi. Yang demikian sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan, situasi yang lebih berakibat kontra produktif adalah jika gejolak itu munculnya di pelanggan bukan di agen.

Satu hal lagi yang mesti dipahami adalah sifat dari pasar LPG. Disebut memiliki pesaing, Blue Gas produksi PT Blue Gas Indonesia, namun faktanya jika konsumen sudah menggunakan LPG tentu tidak sebegitu mudahnya untuk kemudian berpindah ke Blue Gas. Hal ini dapat terjadi karena property pendukung operasional penggunaan kedua gas tersebut  berbeda. Artinya jika terdapat geolak pada LPG ternyata masyarakat tetap saja tidak dapat serta merta pindah ke Blue Gas.

Pemahaman ini memberi makna bahwa PT Pertamina (persero) sesungguhnya tetaplah pelaku monopoli atas gas, minimal PT Pertamina (persero) adalah price maker. Masyarakat dan konsumen sebagai pengguna gas tentu saja bargaining power-nya rendah kalau tidak mau dikatakan tidak memiliki daya tawar.

Memahami situasi yang demikian, tentu saja mau tidak mau konsumen dan masyarakat pada umumnya adalah mereka yang berada dalam posisi harus menerima kenaikan harga LPG non-subsidi ini. Dampak tancap (baca: kenaikan harga) gas menit-menit akhir di akhir tahun 2021. Kejutan di akhir tahun yang mengiringi kemeriahan Natal 2021. Pertanyaannya sekarang adalah, adakah sebenarnya yang diuntungkan dari kenaikan harga ini? Salam.  (Bambang Budiarto – Dosen Ubaya, Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya, Redaktur Tamu Kempalan.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *