Muncikari
KEMPALAN: Dulu orang menyebutnya sebagai germo, induk semang yang punya tempat untuk menampung perempuan-permpuan yang memberi layanan seksual berbayar. Sekarang, sebutan germo dianggap terlalu kasar dan diperhalus menjadi muncikari. Meski ganti casing tapi pekerjaannya tetap sama, menjadi broker laki-laki iseng yang mencari hiburan.
Muncikari—banyak orang menyebutnya mucikari—berasal dari paduan dua kata Bahasa Jawa, ‘’munci’’ yang berarti gundik atau wanita simpanan, dan ‘’kari’’ yang berarti ketinggalan, tidak dibawa, atau tidak disertakan. Muncikari kemudian diartikan sebagai germo penyedia perempuan pelayan laki-laki iseng.
Para perempuan yang menjadi anak asuh muncikari dulu disebut sebagai pelacur yang berarti seseorang yang buruk laku. Kemudian istilah itu dihaluskan dengan sebutan ‘’wanita tuna-susila’’ atau WTS. Tuna berarti ‘’tidak punya’’ dan susila berarti ‘’perilaku baik’’. Wanita tuna susila berarti wanita yang tidak punya perilaku baik.
Istilah itu sekarang sudah tidak terdengar lagi. Anak-anak milenial yang lahir pada era 2000-an hampir pasti tidak mengenal istilah itu. Sebagai ganti sekarang muncul istilah ‘’pekerja seks komersial’’ alias PSK. Para perempuan yang dulu dianggap lacur dan tidak punya susila sekarang disebut sebagai pekerja seks profesional, sama dengan pekerja yang bekerja di pabrik atau di dunia industri lain.
Penyebutan pelacur dan WTS dianggap diskriminatif dan seksis yang melecehkan perempuan. Sementara para lelaki yang menjadi pelanggan tempat pelacuran hanya disebut sebagai ‘’pria hidung belang’’ (tidak pernah disingkat PHB). Entah mengapa disebut sebagai hidung belang, padahal tidak ada indikasi fisik yang menunjukkan belang di hidung laki-laki yang habis melacur.
Para germo atau muncikari biasanya dipanggil ‘’mami’’ oleh anak semang maupun para pelanggannya. Ini berarti profesi germo lebih melekat kepada kaum perempuan, meskipun pada praktiknya banyak juga germo laki-laki, atau yang biasa disebut ‘’papi’’.