Ibu Kota Hantu?
Daniel Mohammad Rosyid
KEMPALAN: Sejak dua minggu ini, DPR bersama pemerintah sedang kejar tayang untuk meloloskan RUU Ibu Kota Negara sebagai pijakan hukum bagi pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke sebuah kawasan hutan seluas 180.000 ha di perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur. Biaya pemindahan IKN ini semula diperkirakan sekitar Rp 500 triliun, sebagian besar dari swasta yang menginginkan return on investment.
Disebut bahwa alasan pemindahan IKN ini adalah karena DKI Jakarta sudah tidak layak lagi sebagai IKN, sekaligus untuk memeratakan pembangunan yang Indonesia Sentris. Hemat saya, baik secara teknikal, spasial, temporal dan finansial rencana pemindahan IKN ini berpotensi menjadi monumen kegagalan berskala raksasa yang akan ditinggalkan oleh rezim saat ini. Resiko keterlambatan dan cost overrun selalu mengancam proyek-proyek mercusuar semacam ini yang kalau dihentikan akan menyebabkan femonena dilematis too big to stop.
Secara teknikal, kawasan IKN baru itu terancam bahaya laten kekurangan air bersih. Secara geoteknik, jaringan jalan dan bangunan-bangunan beton maupun baja yang akan dirancang bangun di atas kawasan gambut itu memerlukan rekayasa pondasi yang lebih mahal. Pasokan listrik memerlukan pembangkit baru yang situasinya kini justru over supply. Di samping sebagai lingkungan fisik, ibu kota negara adalah lingkungan sosio-kultur yang penting. Aspek ini yang dilupakan sama sekali oleh rencana IKN baru ini. Jakarta menyimpan nilai sentimental yang tak tergantikan. Marwah sejarah itu tidak ada di hutan Kalimantan Timur.
Secara spasial, ketimpangan antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia ini disebabkan oleh obsesi pertumbuhan tinggi selama Orde baru hingga hari ini telah menyebabkan pembangunan terkonsentrasi pada wilayah dengan kepadatan infrastruktur seperti listrik, air bersih dan jaringan transportasi terintegrasi serta dekat dengan pasar yang besar. Untuk memeratakan pembangunan, yang diperlukan adalah penyebaran kawasan industri. Artinya, perlu dilakukan relokasi industri dari Jabodetabek Punjur ke kawasan-kawasan baru di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia sebagai sumber bahan baku dan bahan mentah berbasis agromaritim ataupun pertambangan.
Relokasi industri itu harus didahului oleh penyiapan kawasan-kawasan pertumbuhan baru itu dengan prasarana yang cukup: energi, terutama listrik dan gas, air bersih, dan jaringan jalan ke hinterland kawasan-kawasan baru tersebut untuk memperbesar pasar. Juga diperlukan kebijakan transmigrasi yang progresif agar warga muda terampil sudi bekerja di kawasan-kawasan baru tersebut.
Penguatan sektor kemaritiman menjadi kunci dalam pemerataan pembangunan di negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa bercirikan Nusantara ini. Itu berarti diperlukan pengadaan armada kapal niaga dan perikanan dalam jenis dan jumlah yang cukup, serta tata kelola pemerintahan maritim yang efektif. Saat ini satu pemerintahan maritim dengan satu tanggungjawab belum ada sama sekali, termasuk perundang-undangannya. Sudah banyak kementrian dan lembaga yang memiliki tugas dan wewenang di laut, tapi belum ada satu pemerintahan maritim. Pemerintahan maritim ini mutlak bagi ketertiban dan keamanan operasi-operasi di laut sebagai upaya mempersatukan Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara temporal…