Matamu
KEMPALAN: Kata merupakan tanda/simbol. Kata bisa berbentuk tulisan maupun suara. Ini menjadi penanda (signifier) yakni bendanya dan juga merujuk pada yang tertanda atau pemahaman dalam benak kita (signified).
Konsep tersebut digagas oleh seorang filsuf dan ahli bahasa Swiss yang bernama Ferdinand de Saussure. Di dalam bukunya yang berjudul Course In General Linguistics.
Misalnya kata kucing. Kata ini merujuk pada kucing sebagai penanda, dan juga merujuk pada pemahaman kita tentang kucing. Demikian juga kata mata merujuk pada benda yakni mata yang ditandai dan juga pada pemahaman kita tentang mata.
Roland Barthes meningkatkan konsep semiotika Saussure dengan menambahkan konsep konotatif dan denotatif pada tanda.
Denotasi merupakan sistem makna pertama yang telah disepakati secara kovensional atau kesepakatan sosial. Denotasi menjelaskan hubungan penanda dan tertanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.
Konotasi merupakan sistem makna kedua yang tersembunyi. Tahap ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi.
Kata matamu merujuk mata dari orang kedua yang diajak berbicara dan juga pemahaman tentang mata yang sebenarnya. Namun, Barthes menambahkan bahwa kata matamu itu bermakna konotatif yang berbeda dari makna sebenarnya ketika terinjeksi emosi.
Kata Matamu di Mata Orang Jawa
Dalam tradisi Jawa ada ungkapan yang unik dengan menggunakan kata yang merujuk organ tubuh.
Pada dasarnya, kata tersebut bermakna netral untuk menunjuk bagian tubuh, seperti mata dan kepala (“endas”), namun ketika diungkapkan dengan keras dan emosional, maka ia bermakna peyoratif, bermakna umpatan.
Kata matamu tersebut, dalam tradisi Bahasa Jawa, mengikuti pemahaman Roland Barthes, memiliki makna konotatif, sebuah umpatan.
Dalam Bahasa Jawa, umpatan ini hanya ada di ranah level ngoko (bahasa Jawa kasar) saja, pada ranah krama (bahasa Jawa halus) tidak akan diungkapkan.
Kata “mata,” ketika ditambahkan imbuhan kata pengganti orang kedua, “mu,” menjadi “matamu” dengan intonasi tegas dan sorot mata tajam, adalah lontaran ungkapaan keras kepada orang yang diajak bicara secara langsung dan terang-terangan, tanpa “teding aling-aling”, “blaka suta.”
Bisa jadi itu adalah Sebuah sikap “gentle” bagi seseorang untuk tidak sembunyi-sembuyi menyampaikan adanya kesalahan pamahaman/konsep atau perilaku seseorang secara langsung. Kesalahan yang benar-benar dungu.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kata “matamu’ tak melulu diucapkan karena emosi. Kata “matamu” diucapkan sebagai candaan sesama teman (peer group) yang tak jarang juga diungkapkan oleh pelawak dalam pertunjukannya: “matamu!” namun bermakna perkawanan.
“Matamu!” dalam konteks berikut ini sebenarnya bermakna positif, namun tidak pada maksud amelioratif, karena berusaha mengingatkan orang yang diajak bicara tentang kekeliruan yang dilakukannya.
Kata mata itu identik dengan indra penglihatan atau visual, sehingga secara tersirat orang yang mengatakan “matamu” bermakna menyampaikan pihak lawan bicaranya itu “tidak bisa melihat,” dan dengan tegas menginformasikan untuk membuka mata atas fakta yang ada dan melihat dengan benar.
Dalam konteks tersebut, ungkapan “matamu” itu berarti menyampaikan adanya ketidakmampuan lawan bicara untuk melihat fakta tentang adanya kekeliruan, kesalahan dan harus segera sadar untuk membenahi kekeliruan.
Bisa jadi ini adalah cara kedua untuk meluruskan suatu kekeliruan/kesalahan seperti yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, bahwa jika melihat kemungkaran agar kita berusaha untuk mengubahnya dengan tangan kita yang bermakna kekuasaan yang kita miliki. Jika tidak mampu, maka dengan lisan kita dengan mengingatkan lawan bicara kita secara langsung maupun tidak langsung. Dan, jika tidak mampu maka dengan hati kita; Ini adalah sikap selemah-lemahnya iman. Namun Islam mengajarkan untuk mengingatkan dengan cara yang terbaik.
Buwas dan Matamu
Kata “matamu!” pernah diungkapkan oleh Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas), tiga tahun lalu. Kala itu Buwas menolak impor beras lagi karena tak ada lagi ruang di gudang untuk menampung beras. Respons Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang bersikukuh untuk mengimpor beras kemudian membuat Buwas mengumpat.
Buwas menjelaskan, pihaknya harus menyewa gudang Rp 45 miliar demi menampung beras, termasuk menampung gelontoran beras impor. Bila ada lagi beras impor yang datang, entah harus ditaruh di mana lagi.
“Saya bingung ini berpikir negara atau bukan. Coba kita berkoordinasi itu samakan pendapat, jadi kalau keluhkan fakta gudang saya bahkan menyewa gudang itu kan cost tambahan. Kalau ada yang jawab soal Bulog sewa gudang bukan urusan kita, matamu! Itu kita kan sama-sama negara,” papar dia di Perum Bulog, Jakarta Selatan, Rabu (19/9/2018)
Dia menjelaskan, saat ini gudang Bulog penuh karena cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton, belum termasuk dengan beras hasil panen. Sehingga, jika ditambah dengan beras impor, maka Bulog akan membutuhkan tambahan gudang.
Kata matamu itu menyiratkan dan menyuratkan bahwa Mendag tidak bisa melihat fakta bahwa tidak ada lagi gudang yang bisa menampung, dan bahwa dirinya juga adalah sama-sama aparatur Negara.
Di tahun 2021 ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kembali berrencana mengimpor 1 juta beras. Airlangga mengatakan langkah itu diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga di Tanah Air. Impor tersebut adalah bagian dari rencana penyediaan beras sebesar 1-1,5 juta ton oleh pemerintah.
Ditambahkan juga oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bahwa impor beras 1 juta ton di 2021 tidak akan menghancurkan harga di tingkat petani. Dia memastikan bahwa kebijakan itu bertujuan menjaga stok dan menstabilkan harga beras (15/3/2021). Selain itu beras impor tidak akan digelontorkan ke pasar saat periode panen raya, melainkan ketika ada kebutuhan mendesak seperti bansos ataupun operasi pasar untuk stabilisasi harga.
Namun problemnya bukan pada harga. Tapi pada surplus ketersediaan beras. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo membeberkan data prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan pokok periode Januari-Mei 2021. Berdasarkan data tersebut, Syahrul menyebut neraca pangan pokok, khususnya untuk komoditas beras dalam keadaan surplus kurang lebih 12 juta ton (18 Maret 2021).
Dalam data tersebut, Syahrul mencatat stok beras pada akhir 2020 sebesar 7,38 juta ton. Sementara perkiraan produksi dalam negeri sebesar 17,51 juta ton. Sehingga, jumlahnya menjadi sekitar 24,9 juta ton.
Karena itu tidak salah jika ungkapan pak Budi Waseso diungkapkan lagi kepada mereka yang tidak bisa melihat fakta yang terang benderang, cetha wela wela.
Matamu yan Lain
Namun memang persoalannya tidak bisa melihatnya para pemimpin dan pemangku hukum dengan realitas itu terjadi tidak hanya pada pertanian. Pada bidang kesehatan, ada kekeliruan mencermati fakta seperti yang dituduhkan pada pelanggaran UU kesehatan yang dituduhkan kepada Habib Rizieq Syihab (HRS). Bahwa terjadi “kekaburan” dalam mencermati beberapa fakta yang dituduhkan melanggar UU kesehatan karena memicu kerumunan kepada HRS.
UU yang dituduhkan kepada HRS tidak berlaku pada Presiden Joko Widodo yang dengan terang dan jelas memicu kerumunan, namun tidak ditindak oleh pihak keamanan karena dianggap tidak sengaja. Jika tidak sengaja, persoalannya adalah mengapa kemudian presiden malah melambaikan tangan kepada masyarakat dan berbagi bingkisan. Kerumunan pun semakin menjadi-jadi.
Demikian juga dengan undangan resepsi pernikahan putri ketua Banggar DPR RI politisi PDIP Said Abdullah di Sumenep – Madura. Hajatan resepsi itu dijaga ketat aparat dari Kepolisian dan TNI. Satpol PP juga dikerahkan untuk mengatur lalu lintas yang sebagian akses jalan Kota Sumenep ditutup.
Hajatan politisi senior PDI Perjuangan ini diperkirakan dihadiri 30 ribu undangan lebih. Ini berdasarkan jumlah undangan yang disebar sebanyak 20 ribu buah. Setiap kartu undangan berlaku untuk dua orang.
Demikian juga pada bidang Hak Azasi Manusi (HAM) pada terbunuhnya enam anggota FPI oleh kepolisian pada awal tahun 2021 ini yang dengan jelas, cetha wela-wela terjadi penembakan oleh kepolisian kepada warga yang belum terbukti bersalah. Namun dinilai bukan pelanggaran HAM.
Jika meminjam bibir Sujiwo Tedjo, sang presiden Janjukers, tentu kata matamu itu yang dilontarkan akan bertambah lebih keras lagi: Matamu, c**k! (*)