Pengakuan Sumiati
KEMPALAN: Suatu siang ada mobil parkir di depan toko ijo. Mobil sedan berplat AB. Sumi kaget. Pasti ini Dipo . Sudah malas dia berurusan dengan anak tirinya itu. Selain mendatangkan masalah nggak ada lagi yang lain. Sumi sudah langsung nggak bersemangat menemui. Tapi ternyata di luar perkiraan. Muka yang muncul adalah muka yang baru dia kenal belakangan. Iya, dialah dr Tirto. Sumi deg-degan. Dheg-dhegan karena dokter ganteng itu datang. Yang berikutnya bagaimana kalau Mas Sindhu tahu soal ini.
Memang mudah bagi dr Tirto mengetahui alamatnya. Dari data pasien semua sudah bisa dilacak.
Tapi sangat tidak disangka dokter itu datang sampai ke rumahnya.
“Permisi…” kata dokter itu sopan dan ramah.
“Oh ya dokter Tirto ya…ucap sumi berusaha ramah meski dia ragu.
“Iya mbak. Maaf boleh duduk..?”
“O iya..ya gini dok disambi buka toko..”
“Malah bagus mbak. Mandiri.”
Hmm Sumi merasa senang dipuji dokter ganteng itu. Tapi dia ragu sebenarnya melayani kedatangan tamunya ini. Dua minggu lagi dia akan menikah. Dokter itu juga belum tahu soal latar belakang Sumi dengan lika-liku kehidupannya.
“Orang tua dimana?”
“Oh itu di sebelah. “kata Sumi menunjuk toko bangunan di sampingnya.
Sekilas Tirto melirik. Dua orang tua, berkulit legam. Badan kurus dan nampak lebih tua dai orang-orang kota pada umur yang sama. Mereka Kartiyem dan Sugiyono.
“Oh itu orang tuanya mbak?”
“Iya mbok dan bapakku dok”, Sumi berusaha jujur.
Tirto belum berhenti keheranannya dalam hati. Dia jelas tidak menyangka dar dua orang tua itu muncul anak secantik Sumi. Kulitnya pun kontras. Kartiyem dan Sumi jauh wara kulitnya. Apalagi bapaknya.
“Orang tua kandung?” tanya dokter Tirto heran.
Sumi merasa tidak nyaman ditanya begitu. Beda sekali dengan Sindhu dulu yang datang dengan kebahagiaan. Ini dokter datang seperti melakukan diagnosa penyakit. Menyelidik.
“Iya simbokku. Bapakku bapak tiri.”
“Lalu bapak kandung?”
“Ada di Delanggu.”
“Oh pantes.”
Dokter itu melanjutkan berbincang dengan Sumi. Sumi sambil melayani pembeli di tokonya.
Tapi sepertinya tidak nyaman dokter berbicara dengan Sumi seperti halnya Sumi juga merasa tidak nyaman.
“Mbak Sum sudah punya pacar?” tiba-tiba kata-kata itu menghentak Sumi. Dokter Tirto pun memberanikan bertanya itu.
“Hmm..tepatnya calon dok..”
“oh begitu…” hati dokter Tirto seperti diiris. Namun untuk menutupi perasaan hatinya dia berusaha tenang.
“Iya dua minggu lagi kami akan menikah.”
“Calonnya?”
“Yang waktu itu di rumah sakit. Mas Sindhu.”
“Yang mana ya? Kok saya lupa.”
“oh memang orangnya biasa saja dok. Nggak gagah dan nggak ganteng. “
“oh…lalu?”
“Iya mas Sindhu baru lulus dari itebe.”
“oh..”
Dokter Tirto merasa tidak guna melanjutkan obrolan. Dia memilih pamitan daripada sakit hati. Sumi sudah punya calon dan cukup tangguh untuk bersaing. Walaupun Sumi sempat ragu melihat mobil dokter itu mewah. Sindhu belum punya apa-apa. Tapi Sumi menyadari cintanya dengan Sindhu sudah lama tumbuh. Sumi menemukan Sindhu sebagai sosok yang baik. Tidak kaya. Tapi ada modal untuk bisa kaya. Otak, etos kerja dan budi pekertinya adalah modal untuk maju.
Sindhu juga berasal dari keluarga yang baik. ‘Apalagi yang mau kucari’, begitu batin Sumi. Kekayaan memang perlu tapi itu tidak menjamin kebahagiaan.
Dokter Tirto pamitan. Tepat pada saat yang sama Sindhu datang.
“Permisi” dokter Tirto pamitan.
“Mangga dok..silakan..”
Sindhu langsung menatap dokter itu dari atas motornya. Minder juga Sindhu. Tapi dia menang set.
Dia amati hingga dokter itu pergi.
“Ada apa dia ke sini?”
“Nggak tahu juga. Ujug-ujug kok datang..”
“Nggak kamu bilang sudah ada calon?” Sindhu panas hatinya.
“Sudah mas. Jangan marahlah..” pinta Sumi sambil memegangi tangan Sindhu sambil digoyang-goyang.
“Nggak marah piye…lha sudah mau nikah kok diapeli. Mau bikin masalah apa”, Sindhu masih emosi.
“Ya dia kan nggak tahu mas, nggak tahu kita mau nikah.”
“Kan di rumah sakit dia tahu, aku nungguin kamu terus…”
“Ya tapi kan ..
“Tapi apa? Coba-coba?”
“Ya kan begitu to laki-laki mas. Siapa tahu aku masih bebas. Kan begitu. Sudah mas jangan gitulah. Kalau marah gantengnya ilang lho,” rayu Sumi sambil membelai dagu Sindhu.
“Baru ada yang bilang aku ganteng,” Sindhu mulai tersenyum kecut.
“Ya kan aku memang yang pantas memujimu mas. Kau memang ganteng.”
Sindhu diam. Menghela nafas sejenak mengendalikan rasa kesalnya. ‘Bener memang mau nikah banyak godaan’, pikir Sindhu.
“Bagaimana lukamu sudah nggak sakit kan?” Sindhu mengalihkan pembicaraan sambil menikmati pujian dari Sumi.
“Kadang terasa gatal. Sedikit nyeri.”
“Ya itu mau pulih berarti.”
“Bagaimana untuk acara sudah beres mbak?” lanjut Sindhu.
“Undangan sudah beres. Kirun Cs memastikan bisa datang.”
“Lalu yang campusari dari Boyolali?”
“oo ya kemarin sempat ada kabar pemain keyboardnya nggak bisa. Tapi katanya sudah ada pemain penggantinya.”
“Oo gitu. Berarti sudah nggak ada masalah ya. “
“Mas Sindhu mau makan apa, bakso apa sate kambing?” Sumi kembali bersikap seperti biasa.
“Hmm..boleh…bakso saja.”
Sumi meminta tolong penjaga tokonya untuk memesan bakso di warung sebelah, beberapa blok dari toko ijo.
Setelah itu mereka berdua mendatangi papa Shanghai berboncengan motor.
Kali ini sumi sudah berani pegangan erat ke Sindhu.
“Masih ingat nggak dulu kita mau ke Prambanan?”
“Ya masihlah mas…”
“Kamu nggak takut?”
“hmmm..takut. Katanya kalau ke Prambanan terus putus ya?”
“Nah itu. Aku sih nggak percaya mitos itu.”
“Kalau ternyata putus?”
“Waduh, aku nggak mau nikah selain sama kamu.”
“Ah yang bener mas. Itu yang katanya anaknya pak lurah Jeblog? Kan cantik orangnya.”
“Ya aku nggak suka gayanya. Pasti susah diajak hidup prihatin. Kan mereka keluarga yang biasa hidup enak. Lagi pula paklikku kan cuma nawari. Belum tentu juga orangnya mau sama aku.”
“Kalau mau?”
”Ah nggak ah. Sumi sudah paling siip.”
“ah mbel…”kata Sumi sambil nyubit Sindhu bermanja-manja.
“Kalau doktermu itu? Dia kan kaya, ganteng lagi. Aku masih pengangguran.”
“Ya pokoke mas Sindhu paling josslah. Aku suka gaya anak itebe kok. Sedikit urakan, sombong tapi otaknya bisa diandalkan. Aku nggak mau yang lain,” balas Sumi sambil ketawa mengeratkan pegangannya.
“Joss itu nanti pas malam pertama,” pikiran Sindhu mulai ngeres akibat pelukan Sumi yang erat.
“Nunggu-nunggu ya?”
“Haha..iyalah. Kan aku lelaki sejati, tulen.”
“Kutunggu buktinya.”
“Wow siip. Akan kubikin megap-megap.”
” Walah tenane…” kata Sumi memepetkan tubuhnya ke punggung Sindhu. Sejenak Sindhu merasakan hangatnya tonjolan dua gunung kembar.
Tidak lama sampailah ke rumah papa Shanghai.
“oo Sumi sama Sindhu. Bagaimana kabarnya? Sumi sudah sehat?”
“baik sudah pa. “
“untuk acara nanti ?”
“iya nanti Sabtu malam acara midodareni seperti biasa, di rumah. Besoknya pernikahan dan pesta kawinnya di gedung seberang toko itu.”
“oh bagus-bagus,” kata tuan Shanghai semangat . Tuan Shanghai sudah menjelang 70 tahun. Sudah tua tapi masih segar. Tuan Shanghai rajin berolah raga. Setiap pagi jam 5 sudah bangun lalu jalan pagi. Lalu membuka toko. Aktivitasnya yang teratur membuat dia awet muda. Tapi semenjak ditinggal istrinya dia tidak ingin kawin lagi. Dia lebih suka menikmati masa tuanya sendiri bersama anaknya dan ada pembantu rumah tangga di rumah.
“kita akan ngundang lawak Kirun cs pa. Ada campursari. Biar mnghibur tetangga dan para tamu undangan.”
“Wah setuju papa juga suka. Anak cewek papa satu-satunya, harus meriah acaranya. Nati papa bantu untuk biayanya.”
Sumi dan Sindhu merasa lega.
“Kalian sudah makan belum..? Mau bakso Kribo?” Tuan Shanghai menawari bakso khas Delanggu yang sedang populer. Memang maknyuss bakso kribo yang pentolnya gurih dan dikasih irisan daging ayam. Pak Kribo penjualnya memang rambutnya kribo.
“Wah tadi sebelum ke sini baru kami makan.”
“kan cuma bakso. Mau ya?”
Akhirnya mereka pun dipesankan bakso Kribo.
Keakraban ayah, anak dan calon menantu tercipta, mereka makan bakso bersama sambil ngobrol.
Keduanya lalu pamit sesudah beberapa saat menyampaikan rencananya dan minta doa restu. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)
