Pengakuan Sumiati

waktu baca 5 menit

KEMPALAN: Sarmo pulang ke Bengkulu membawa rasa kecewa. Beda sekali dengan dulu ketika pertama merantau. Harapan begitu tinggi untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Kini apa yang dia impikan yaitu kekayaan sudah terwujud. Sayang kekayaan untuk membahagiakan bunga pujaannya justru kehilangan makna. Impian utamanya justru meleset. Kekayaan yang didapat untuk membangun rumah besar sepertinya tidak berarti lagi. Kadang kebahagiaan memang seperti fatamorgana. Dikejar tidak ketemu. Sumi nggak butuh rumah besar lagi darinya.

Sarmo sementara tidak tahu untuk apa ini semua. Dia ingat lagi kata-kata bapaknya dan pakliknya untuk nikah dengan adik sepupunya saja yang sudah jelas bibit bebet bobot.

Sumi kembali tenang bekerja. Toko tetap ramai bahkan bangunan sebelahnya dibeli untuk toko bahan bangunan. Sugiyono bapak tirinya pun semakin terlibat membantu pengelolaan toko bangunan. Bisa membantu melayani pembeli untuk soal bahan bangunan. Sumi terbukti tidak cuma kaya karena warisan tetapi mampu mengelola dan mengembangkan. Bahkan kedua orang tuanya ikut dilibatkan mengurus tokonya. Yang ditunggu Sumi kini adalah cinta. Keberhasilannya serasa belum sempurna. Sarmo ingin memberi cinta dan Sumi membutuhkannya. Tapi sayang bukan cinta Sarmo yang kini diharapkan Sumi.Sarmo bahkan tidak bisa lagi berkomunikasi seperti dulu.

Pada suatu hari malah datang Bimo pegawai pengadilan negeri itu ingin melamarnya.

“Mbak Sum aku ingin melamarmu, piye?”

“ hmm…jangan sekarang pak. “

“Kenapa mbak? Bukankah ini waktu yang tepat? Apa yang sampeyan tunggu mbak Sumi?” kata Bimo penuh harap.

“Ada pak. Ada seseorang.”

“hmm…daripada menunggu, bukannya aku yang sudah ada saja mbak?” Bimo makin agresif.

“Nggak bisa begitu pak.”

Sumi kali ini tidak bisa lagi mengulang apa yang dilakukannya dengan pak Jarwo. Dia ingin menikah dengan orang yang dicintainya. Apalagi dengan Bimo dia hanya kenal sebentar saja. Tidak ada hubungan apa-apa seperti halnya dengan Pak Jarwo.

Bimo akhirnya menyerah. Dia pamit pulang dengan rasa kecewa.Begitu sulit mendapatkan cinta seorang Sumiati.

Dalam suatu acara  rewang karena ada tetangga Sumiati yang punya hajat, Sumiati lagi-lagi ketemu bu Padmo, ibu Sindhu. Meskipun sudah jadi orang berada, Sumi tetap bergaul baik dengan tetangga. Rewang adalah adat membantu tetangga yang sedang punya hajat kawinan.

Tetangga Sumiati, Bu Siti, yang sedang punya hajat kebetulan adik dari bu Padmo. Maka tidak terhindarkan Bu Padmo dan Sumi mengobrol.

“Lho ibu kok di sini?” tanya Sumi kaget.

“Lha ini nduk Siti ini adik saya”.

“ oo ngaten nggih…wah kok kebetulan..”

“ Gimana kabarnya mbak?”

“oo sae bu. Ibu dospundi kabaripun?’

“Alhamdulillah..berkat doa anak-anak, sehat selalu mbak…”

Sumi merasa punya kesempatan untuk membicarakan soal Sindhu dengan kata-kata bu Padmo,

“Bagaimana kabar mas Sindhu?” tanya Sumi sambil tangannya membungkusi makanan untuk dibagikan ke tetangga.

Bu Padmo sudah menduga pembicaraan akan bergerak ke sana.

Bu Padmo sebenarnya senang ditanya soal Sindhu.

Tapi Sindhu belum memperlihatkan kemajuan berarti dalam studinya.

Seperti juga Sumi bu Padmo sedang sibuk  membungkusi pisang  yang dipotong kecil-kecil,  santan  dan telor untuk membuat pestuban dengan daun pisang sebelum dikukus. Pestuban makanan khas Klaten wajib ada dalam pesta manten.

“ Sindhu baik-baik mbak. Nggak tahu kapan kuliahnya kelar. Sepertiya kuliahnya tidak mudah. Sedang bimbingan skripsi katanya. Sudah habis banyak biaya.”

“ Nggih bu semoga cepat lulus. Padahal mas Sindhu itu pinter ya. “

“Wah kalau di sana banyak yang pinter mbak. Jadi Sindhu yang termasuk biasa-biasa saja.’

“Walah kok ngoten to bu.”

“Lha bener kok mbak. Kalau Sindhu bisa lulus saja ibu sudah bersyukur sekali.”

Sumi punya harapan yang sama. Dalam hati dia sangat menunggu Sindhu lekas lulus sehingga impiannya bisa dinikahi Sindhu bisa terwujud. Sayangnya Sindhu sampai saat ini belum pernah memberi kepastian. Sindhu belum mengatakan pada Sumi soal rencana masa depannya kembali ke desa.

“Kalau lulus nanti ibu minta pulang saja biar bertani atau apa biar ada yang nemani ibu.”

Mendengar keinginan bu Padmo Sumi merasa sangat bahagia. Begitulah perasaan orang yang punya bibit cinta. Pembicaraan sedikit saja tentang orang yang dicintainya sudah menumbuhkan sejuta pesona.

“Wah kalau mas Sindhu mau pulang dan mengembangkan usaha di sini akan bagus bu. Kula mendukung…” sahut Sumi penuh semangat.

“Ya mudah-mudahan mbak. Sindhu itu kalau punya kemauan sering sulit dihalangi.”

Mereka berdua ngobrol seakan ruangan tengah  bu Siti itu tidak ada orang lain. Cuma milik mereka berdua.

“Wah kalau mbak Sumi sudah ketemu Yu Padmo, gathuk…cocok..”celetuk bu Siti si tuan rumah.

“iya cocok banget” sahut bu Camat yang rumahnya depan bu Siti yang ikut rewang di situ.

Sumi tersipu-sipu dengan celetukan orang-orang itu.

Ibu-ibu paling suka membicarakan hal-hal seperti itu.

**

Sindhu sering melek malam sambil menghabiskan beberapa batang rokok mengerjakan skripsinya.

Ia ingin bisa menyelesaikan kuliahnya mesk dengan nilai pas-pasan.

Ia ingat tanggapan pembimbingnya, Prof Hasan Purbo.

“Tulisanmu masih belum bagus. Rumusan masalah dan metodologi harus diperbaiki lagi.”

Iya Sindhu menyadari itu. Dia sedang mengerjakan konsep pengembangan masyarakat miskin sekitar Gasibu.

Ketika mengikuti kuliah ada tugas-tugas yang membuat dia merasa bodoh. Sehingga ia sempat kehilangan rasa percaya dirinya. Dia yang dulu di SMA termasuk anak pintar , begitu kuliah dia merasa bukan siapa-siapa. Di atas langit masih ada langit dia rasakan betul saat ini. Dia belajar hal penting dalam hidup : rendah hati. Itulah pelajaran hidup terbesar sejauh ini yang justru dia dapat dari kampus ternama itu. Kali ini dengan kesulitan yang lebih tinggi Sindhu bertekad tidak boleh jatuh lagi. Hal-hal rumit nggak bisa ia ceritakan kepada Sumi. Tapi Sumi berperan besar sebagai model orang yang tahan banting.

Pembimbingnya adalah seorang dosen yang punya kepedulian tinggi pada pengembangan masyarakat bawah. Anakya juga kuliah di itebe, seangkatan dengan Sindhu tapi beda Jurusan. Sindhu pernah diajak mroyek sama dosennya untuk pengembangan masya rakat di daerah Bajawa, Flores NTT. Di sana dia melihat bagaimana masyarakat masih jauh tertinggal dibanding masyarakat di pulau Jawa. Tetapi mereka tetap bertahan hidup dalam kesulitan. Sindhu salut melihat kehidupan masyarakat di sana yang masih tinggi menjunjung tradisinya. Hidup menyatu dengan alam dan rukun antar sesama. Ini yang mginspirasi dirinya untuk pulang kampung setelah lulus nanti. Bayangannya adalah mengembangkan pertanian organik atau mengembangkan wisata di Cokro Tulung.

Meski dia arsitek tapi minat pertanian yang menurun dari bapaknya juga tinggi. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Sebuah Pertaruhan

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
1

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *