Pengakuan Sumiati

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Sarmo pulang. Sudah beda kondisi dia kali ini. Dia naik pesawat dari Bengkulu ke Yogyakarta. Pengalaman pertamanya dia. Tidak butuh puluhan jam seperti dulu. Sebagai anggota dewan dan juga pengusaha dia sudah pantas naik pesawat. Kepulangannya sebenarnya untuk memastikan apakah Sumi masih ada kemungkinan diajak nikah. Kepulangan yang tidak disukai pakliknya. Sarmo juga ingin menunjukkan pada Sumi bahwa dia sudah berhasil. Hanya ada dua airline yaitu Garuda dan Sempati. Dia memilih Sempati, meski anggota dewan tapi dia pulang untuk kepentingan pribadi.

Agak kikuk dia check in di bandara. Maklum baru ini dia ke bandara.

Di atas pesawat Sarmo agak canggungj juga. Melihat kiri-kanan gimana cara memakai seat belt. Lalu dia mencoba bersikap tenang seakan sudah biasa. Dia baca-baca majalah yang ada di kantong kursi depannya untuk menghilangkan kekakuan.  Sejenak pesawat terbang dia mulai ngantuk. Tidak berapa lama beberapa awak penerbangan membangunkannya untuk menikmati snack dan minuman. Sarmo menikmati sekali penerbangan ini walau deg-degan..

Sejam ditempuh untuk sampai Jakarta. Menunggu beberapa jam di Cengkareng lalu lanjut ke Jogja.

Sarmo menyewa mobil dari bandara Adisucipto ke desanya. Mobil melewati Prambanan, Klaten, Karanganom, Ponggok hingga Cokro.

Lalu lintas makin padat dibanding saat dulu dia pergi.

Lik Marto menyambut dengan suka cita kedatangan anaknya.

” Jam piro mau budhal?”

” Jam 7 esuk.. transit dhisik”.

” oo mampir to maksudnya? ” sahut lik Marto putri.

” Iya turun di Cengkareng.”

” Iki mau mudhun Panasan apa Meguwo Jogja?”

” Terus piye rencanamu?”

” Hmm. Ya nengok bapak simbok. Pingin ketemu Sumi.”

” Wah Sumi saiki tambah ayu. Awake apik..kelihatan kopen”.

” Oh ngono ya mbok.”

” Beda..beda banget,” sahut Lik Marto Putri bersemangat.

” Wah apa isih kenal karo aku ya?”

” Ya kenal. Sumi habis urusan pengadilan. Soal warisane Pak Jarwo.”

” Iya katanya Mas Dipo nuntut?”

” Lha itu. Tapi wis beres kok. Kasihan Sumi masalahnya nggak habis-habis “.

” Ya mau mukti harus ada biaya”, sahut Lik Marto sinis.

Sarmo agak tersinggung mendengar bapaknya terlihat sinis dengan nasib Sumi.

*

Esoknya di pasar ramai warung lik Marto orang ramai membicarakan Sarmo.

” Wah Sarmo mana Lik?”

” Di rumah. Malu dia ke pasar atau capek mungkin..”

” Wah naik pesawat kok capek. Wis dadi anggota dewan, nggak panteslah nongkrong neng warung tengah pasar.”

” Mesti saiki gagah no Sarmo.”

Pembicaraan orang pasar memang seenaknya. Asal ramai sambil menikmati segarnya soto atau es teh manis.

*

“Gimana Sum kabarnya?” tanya Sarmo agak canggung di depan Toko Ijo. Tempat dulu dia sering membantu membuka tutup toko. Sudah 3 tahun tidak bertemu. Sarmo melihat Sumi makin cantik.

” oo kang Sarmo. Apik kang. Sudah jadi anggota dewan ya?” pancing Sumi. Sumi bingung harus mulai darimana.

” Ya begitu Sum.” Sarmo tidak berubah sikapnya. Dia tidak jadi sombong. Tapi memang sudah beda penampilan.

Sarmo lebih necis meski kulitnya tetap coklat hitam. Tidak seperti dulu hanya pakai celana pendek dan kaosan saja.

Sepertinya perlu waktu dan tempat khusus mereka untuk mengobrol lebih nyaman. Tidak bisa di toko lagi. Sarmo sudah menjadi orang penting.

**

Sore Sarmo berkunjung ke rumah Sumi.

Sarmo kaget melihat Sumi sudah tinggal di rumah besar. Walaupun dia sudah mendengar sebelumnya tapi baru kali ini ia melihat langsung. Ia lalu ingat janjinya ingin membuat rumah besar untuk Sumi. Sarmo jadi mikir bahwa cita-citanya sudah nggak cocok lagi dengan kondisi Sumi sekarang. Sumi sudah punya rumah besar.

” Wah enak ya Sum rumahmu besar.”

Sumi bingung harus menjawab apa. Dia mendapatkannya dengan mengorbankan perasaan. Harus kawin dengan Pak Jarwo yang nggak dia cintai. Jadi serba susah untuk memberi respon soal rumah itu.

” Hmm..ya beginilah Kang…”

Sarmo kesulitan menemukan bahan obrolan. Sepertinya semua sudah beda dengan dulu. Kenangan memang lebih indah dari kenyataan. Keseharian mereka kini berbeda. Sumi pun merasakan kekakuan. Beda sekali dengan ketika Sindhu datang, meski lama tidak bertemu seperti ada ikatan batin, obrolan mengalir begitu saja. Sumi merasakannya.

” Gimana kerjaanmu di sana kang?” Sumi mencoba memecah kebekuan.

” Ya sekarang ngantor, rapat. Usaha sudah dijalankan orang lain. Dulu tiap hari keliling cari dagangan terus dikirim ke kota. Keluar masuk pasar.”

” Wah enak ya kerjanya rapat sekarang.”

Ya pembicaraan berlangsung kaku, tidak mengalir.

Getar-getar asmara tidak lagi terasa.  Sarmo nggak mungkin mengajak bicara soal masa depan. Dari kekakuan itu saja sudah sulit untuk berbicara dari hati ke hati.

Sarmo merasa pertemuan ini tidak seperti yang ia harapkan.

Tidak lama kemudia sarmo mohon pamit.

“Aku pamit dulu ya Sum.”

“Lho kok buru-buru kang. Belum disuguhi.”

“Nggak papa, lain kali saja Sum.” Sarmo pulang dengan hati tidak bersemangat. Dia berpikir lalu buat apa semua capaiannya jika ternyata gadis yang dia banggakan itu ternyata tidak lagi seindah dulu.

Sarmo merencanakan ingin segera kembali ke Bengkulu, tidak jadi dia ingin mengajak jalan-jalan Sumi.

**

Andi masih menyimpan rasa ingin ketemu dengan Sumi yang ternyata saudaranya. Andi jadi dekat dengan bapaknya semenjak mamanya meninggal setahun silam. Pembicaraan soal Kartiyem dan Sumi mungkin tidak akan terjadi selagi mamanya masih ada.

“Pa apa papa nggak ingin memberikan sesuatu sebagai penebus kesalahan untuk mbok Kartiyem?”

Tuan Shanghai kaget anaknya bicara begitu pada suatu malam. Hal yang sebenarnya sempat dipikirkannya tetapi dia takut anaknya protes. Ini justru anaknya yang punya ide.

Shanghai menangis dalam hati punya anak berhati luhur. Dia mengira anaknya akan memaki-maki dia karena perbuatan masa lalunya.

“Anakku..papa terharu. Papa nggak menyangka kamu berpikiran begitu.”

Suasana sejenak hening.

“Papa sempat berpikir begitu. Tapi papa tidak sampai hati mengatakannya.”

“Terserah papa mbok Kartiyem harus diberi ganti rugi yang pantas atas penderitaannya.”

Ya Shanghai makin kagum pada anaknya. Anaknya tidak cuma garang di ruang pengadilan. Tapi hatinya memang punya kepedulian pada orang kecil. Itu kekayaan yang sangat berharga bagi orang tua.

“Ya papa akan mencari waktu yang cocok untuk memberikan bantuan untuk Kartiyem” kata tuan Shanghai lirih. Kekayaan materinya cukup besar. Dari bisnisnya ada beberapa tanah dan tabungan yang nggak akan habis untuk dia dan dua anaknya. Anaknya yang satu sedang studi di Singapura. Dia pikir anak satunya lagi akan mampu menghidupinya sendiri.

Sindhu susah payah mengejar ketertinggalan kuliahnya. Dia baru sadar terlalu banyak yang dia korbankan selama 1,5 tahun meninggalkan kuliah. Meski terseok-seok dia ingin bisa lulus. Sumiati menjadi penyemangatnya. Nggk boleh dia kalah dengan Sumiati. Dari sisi potensi diri, kekayaan dan pendidikan dia mestinya lebih unggul.

Dia dulu yang menyemangati Sumi untuk berpikir maju. Kini malah dia yang belajar dari Sumi.

Di lubuk hatinya dia ingin lulus dan pulang. Dia ingin berkarya di desa. Entah mengembangkan pertanian organik atau membangun sekolah alam atau mengembangkan wisata di daerahnya. Sudah terlalu banyak sarjana yang berkarya di kota besar. Kesempatan dia mengembangkan daerah asalnya. Penting sekali bagi dia untuk bisa lulus agar dipercaya rekan bisnisnya nanti.

Dipo masih terseok-seok dengan skripsinya. Hartanya juga menipis gara-gara berurusan dengan hukum. Dia berpikir ulang jika tetap mempermasalahkan warisan dari orang tuanya.

“Temui dosenmu mas katakan anak bininya butuh makan, biar cepet lulus.” kata Retno istri Dipo suatu malam.

“Tidak mudah bicara hal-hal non teknis di luar masalah skripsi.” Dipo mencoba menjelaskan ke istrinya yang belum lulus SMA.

Nasehat istrinya tidak salah. Tapi bukan hal yan mudah mengatakan hal seperti itu pada dosen yang berfikiran feodal. Dia merasa nasibnya tidak sebaik kakanya, Anwar yang mengelola toko. Dia kuliah diharapkan jadi insinyur sipil dan akan sukses bekerja sebagai kontraktor. Melihat hidup kakaknya atau Sumi, Dipo makin iri.

“Apa rumahmu yang di desa Cokro sana di jual saja untuk membuka usaha di sini,” usul istrinya.

“Mau usaha apa?”

“Buka toko.”

“ah sudah banyak toko di sini. Aku mau coba jadi kontraktor.”

“Ya dicobalah cari borongan bangunan-bangunan kecil dulu.”

Dipo bersemangat lagi untuk mencapai mimpinya. Yang pertama harus beres dulu kuliahnya.

Sumi sabar menunggu mas Sindhu bisa selesai kuliahnya. Dia tidak bisa bicara banyak selain memberi semangat saja. Dia merasa hanya lulusan SMP, nggak bisa membantu lebih dari itu.

Sumi belum tahu Sindhu ingin pulang nanti untuk berkarya di daerahnya. Kalau tahu itu pasti Sumi akan berbunga-bunga. Dia siap mendukung Sindhu. (Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya/bersambung)

 

BACA LAINNYA

Sebuah Pertaruhan

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
1

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Ambane Jangkah

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *