Dolly Salim, Menyanyi Kemerdekaan Saat Bangsa dan Negara Belum Merdeka
“Saudara-saudara, lagu ini kita ucapkan dengan perkataan mulia, walau kita tau sama tau soal ini.”
W.R. Soepratman, 1928
KEMPALAN:: Tahun 1928 adalah babak kebangkitan nurani bangsa. Saat rakyat belum memiliki negara, belum mengibarkan bendera, bahkan belum menyebut dirinya Indonesia, sekelompok pemuda menyalakan obor cita-cita kemerdekaan.
Di tengah penjajahan, di rumah sederhana milik Sie Kok Liong di Jalan Kramat Raya 106 Batavia, mereka berikrar untuk bersatu dalam tanah air, bangsa, dan bahasa yang sama: Indonesia.
Dari ruang sempit itulah lahir getaran abadi, lagu Indonesia Raya.
W.R. Soepratman, wartawan dan seniman, menggesek biolanya, memperdengarkan melodi yang menembus batas ketakutan.
Kata “merdeka” yang ditulis dalam lirik aslinya diganti menjadi “mulia” karena tekanan sensor kolonial. Namun setiap pemuda yang hadir paham, “mulia” itu sesungguhnya “merdeka” yang belum bisa diucapkan.
Putri Haji Agus Salim
Lagu itu menggema, dan hadirin meminta untuk dinyanyikan ulang. Maka tampillah seorang gadis berusia 15 tahun bernamaTheodora Athia Salim atau Dolly Salim, putri dari Haji Agus Salim.
Ia datang bukan sebagai anggota kongres melainkan wakil dari organisasi kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij), gerakan pramuka Islam-nasionalis di bawah Jong Islamieten Bond.
Dolly tak pernah sekolah Belanda. Ayahnya menolak pendidikan kolonial dan mendidik anak-anaknya di rumah, menjadikannya pelopor homeschooling di Indonesia. Dari rumah itu, Dolly belajar berpikir merdeka dan mencintai bangsanya.
Dengan suara jernih, ia melantunkan Indonesia Raya di hadapan para pemuda lintas suku dan agama. Kata “merdeka” diganti menjadi “mulia”, tapi maknanya sama, suatu tekad untuk berdiri sebagai bangsa. Saat lagu usai, tepuk tangan menggemuruh. Di ruangan kecil itu, lahir suara sebuah bangsa.
Dolly kemudian menikah dengan Mr. Soedjono Hardjosoediro, tokoh pergerakan sekaligus pendiri Universitas Nasional. Ia aktif di organisasi perempuan seperti Wanita Persahi dan Women’s International Club, memperjuangkan pendidikan serta peran perempuan Indonesia.
Ia wafat di Jakarta pada 24 Juli 1990, dua hari sebelum ulang tahunnya ke-77. Suatu keheningan yang seolah kembali menyisakan gema lagu yang ia nyanyikan di usia remaja.
Sedangkan W.R. Soepratman, sang pencipta, meninggal muda pada 17 Agustus 1938, tujuh tahun sebelum kemerdekaan. Ia tak menyaksikan merah putih berkibar, tapi bangsa ini hidup sambil merawat ciptaannya.
97 Tahun Indonesia Raya
Kini, 97 tahun setelah Kongres Pemuda II, semangat itu dihidupkan kembali.
Sekelompok pemerhati kebangsaan menyiapkan Prosesi Penghormatan 97 Tahun Indonesia Raya, yang akan digelar pada Selasa, 28 Oktober 2025 di Makam W.R. Soepratman, Jalan Kenjeran Rangkah, Surabaya.
Acara akan dihadiri sekitar 200 undangan dari kalangan jurnalis, pelajar, akademisi, dan pegiat kebangsaan. Mereka akan menyanyikan Indonesia Raya tiga stanza di tempat peristirahatan sang komponis.
Di tengah udara sore dan bayangan biola yang abadi, bangsa ini kembali menundukkan kepala, bersyukur kepada mereka yang telah memberi nada pertama bagi kemerdekaan.
Penulis:
Rokimdakas
26 Oktober 2025









