Budaya Malu
Kritik tajam yang dilontarkan Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus, dalam rapat bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP baru-baru ini menjadi tamparan keras bagi penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Pernyataan “Pemilu paling brengsek dalam sejarah” bukan sekadar ledakan emosi semata, melainkan cermin dari kekecewaan mendalam terhadap proses demokrasi yang seharusnya menjadi pilar utama kepercayaan publik.
Lebih jauh, pernyataan Deddy tentang budaya malu yang seharusnya dimiliki para pemimpin menyoroti aspek fundamental yang sering terlupakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: rasa tanggung jawab moral atas kegagalan publik.
Budaya malu ini bukan sekadar soal mundur dari jabatan, melainkan bentuk integritas untuk menjaga marwah demokrasi.
Dalam tradisi politik di beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, budaya malu menjadi standar moral yang sangat dijunjung tinggi.
Seorang pejabat publik yang gagal menjalankan tugasnya kerap memilih mundur sebelum diminta, sebagai bentuk tanggung jawab pribadi.
Budaya malu adalah fondasi dari masyarakat yang beradab. Pejabat publik yang memiliki budaya malu tidak perlu menunggu desakan publik untuk bertanggung jawab. Dia mundur sebagai bentuk penghormatan terhadap rakyat.
Sayangnya, di Indonesia, fenomena ini masih menjadi barang langka. Skandal demi skandal kerap menghiasi panggung politik, namun hanya segelintir pejabat yang memilih mundur secara sukarela.
Sebagian besar justru bertahan dengan berbagai dalih, seolah jabatan adalah hak pribadi, bukan amanah rakyat.
Kegagalan Kolektif
Kritik Deddy Sitorus terhadap penyelenggara Pilkada 2024 memperlihatkan betapa rendahnya akuntabilitas kolektif dalam sistem politik kita.
Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan 24 pemungutan suara ulang (PSU) menunjukkan bahwa ada pelanggaran signifikan yang terjadi secara sistematis.
Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Zainal Arifin Mochtar, menegaskan bahwa kegagalan pemilu bukan hanya tanggung jawab KPU atau Bawaslu semata.
Pilkada adalah proses demokrasi yang melibatkan banyak pihak, mulai dari penyelenggara, pengawas, hingga partai politik.
“Jika terjadi kegagalan, semua pihak harus berani bertanggung jawab,” ujarnya.
Namun, alih-alih mundur secara ksatria, yang sering terjadi justru saling lempar tanggung jawab. KPU menyalahkan aturan yang membelenggu, Bawaslu menyalahkan keterbatasan kewenangan, sementara pemerintah cenderung abai.
Reformasi Integritas
Kegaduhan ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi kembali integritas politik di Indonesia. Jika pejabat publik memiliki budaya malu, maka langkah pertama yang harus diambil adalah pengunduran diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.
Namun, budaya malu tidak lahir dari ruang hampa. Ia harus ditanamkan sejak awal melalui pendidikan etika politik, pengawasan publik yang ketat, serta sistem hukum yang tegas.
Jika sistem hanya berorientasi pada kekuasaan tanpa nilai-nilai moral, maka budaya malu hanya akan menjadi utopia.
Dibutuhkan Teladan
Seorang pemimpin yang berintegritas akan menjadi role model bagi bawahannya. Dalam hal ini, Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan budaya malu di jajaran pemerintahannya.
Pemerintahan baru harus menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk mempertahankan jabatan, melainkan amanah untuk melayani rakyat. Pejabat yang gagal menjalankan tugasnya harus berani mundur tanpa menunggu desakan publik.
Kritik Deddy Sitorus seharusnya menjadi renungan bagi seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya KPU, Bawaslu, atau Kemendagri.
Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dalam ekosistem di mana integritas menjadi standar, dan budaya malu menjadi pilar utamanya.
Masyarakat pun harus aktif menuntut akuntabilitas, bukan sekadar menjadi penonton di pinggir lapangan. Jika kita ingin melihat perubahan, maka budaya malu harus dihidupkan kembali—mulai dari pemimpin, hingga ke akar rumput.
Sebagaimana pepatah lama, “Malu adalah separuh dari iman”, maka tanpa rasa malu, demokrasi kita hanya akan menjadi panggung sandiwara yang kehilangan maknanya.
***
Oleh Bambang Eko Mei
