Jangan jadi Korban Kebebasan

waktu baca 3 menit
Ilustrasi Korupsi (foto: dok istimewa)

Republik Indonesia terus bergerak meniti arus zaman yang deras membawa serta harapan dan tantangan. Setiap zaman menuntut perbaikan bukan sekadar nostalgia akan kejayaan masa lalu. Dunia berubah dengan cepat, teknologi melesat, informasi berhamburan, perilaku manusia kian beragam. Semua ini menuntut kesiapan berpikir yang segar, terbuka dan adaptif. Hindari pemikiran yang tertutup dan konservatif.

Namun di tengah laju perubahan banyak yang mengatasnamakan kebebasan. Kebebasan yang semestinya mencerahkan justru sering menjadi ajang pembodohan. Di layar televisi di medsos, mereka yang digadang-gadang sebagai cendekia justru meracuni publik dengan opini sesat.

HASRAT SETAN

Kritik dilempar tanpa landasan seperti panah yang dilontarkan tanpa sasaran. Setiap kebijakan dihujat, setiap keputusan dicemooh, seolah kebenaran hanya milik mereka. Tapi apakah mereka menawarkan solusi? Tidak. Yang ada hanyalah narasi picik, penuh amarah yang dirasuki hasrat setan.

Masyarakat yang jernih nuraninya bertanya, mengapa para elite politik lebih sibuk merawat kepentingannya sendiri? Mengapa mereka tega mengorbankan ketentraman demi ambisi bisnisnya yang terganggu? Mengapa akademisi yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa malah melacurkan diri dalam permainan politik kekuasaan? Intelektualitas sepatutnya menjadi cahaya bukan api yang membakar negeri sendiri.

AROGANSI POLITIK

Kita sedang menyaksikan pertunjukan memalukan dari para pemimpin yang kehilangan arah. Mereka jumawa, merasa negeri ini milik nenek moyangnya. Ketika ada kader partai yang terbukti korup dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, mereka justru menyerukan perlawanan. Inilah wajah arogansi politik yang menjijikkan. Sebuah kebiadaban yang mencederai adab berpolitik.

Di tengah hingar-bingar kebebasan ini, kita perlu kembali pada nilai-nilai Pancasila. Kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kehancuran. Persatuan harus tetap dijaga. Jangan sampai kita terpecah oleh tipu daya kata-kata manis oleh hoaks yang merajalela.
Kita harus sadar bahwa yang menyatukan bangsa ini bukan sekadar kebiasaan berbagi tanah, melainkan modal sosial yang terjalin dalam keberagaman.

Jika kita terus bertikai memupuk kebencian satu sama lain maka Indonesia hanya akan menjadi cerita yang dikisahkan di buku sejarah. Bangsa ini bisa kembali tercerai-berai menjadi suku-suku kecil, tak lebih dari sekumpulan manusia yang kehilangan identitasnya.

Sejarah telah mencatat betapa banyak negara besar yang akhirnya terpecah belah dan kesulitan membangun kembali karakteristik kebangsaan mereka. Beberapa negara di Timur Tengah yang terus menerus merawat pertikaian akhirnya hancur lebur. Kita bisa melihat dampak dari Arab Spring di mana negara-negara adidaya menjalankan proxy war dengan memanfaatkan isu agama kemudian menghancurkan negara-negara yang sejatinya mewarisi kebudayaan purba. Bangsa-bangsa ini kehilangan stabilitas dan jatuh ke dalam kehancuran tanpa ada pemulihan yang nyata.

Para elite Indonesia tentu mengetaui peristiwa-peristiwa tersebut dan dampaknya. Namun, karena pikiran mereka picik dan rakus, mereka justru melacurkan diri untuk memperoleh keuntungan pribadi. Mereka menyebarkan narasi sesat, menghasut publik agar tidak mempercayai pemerintah, demi memastikan kepentingan bisnis bandarnya tetap berjaya. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan terjebak dalam skenario yang sama—mewariskan kehancuran kepada anak cucu kita.

MENOLAK MATAHARI

Kita harus belajar dari sejarah bukan hanya mengagungkan masa lalu. Banyak yang terjebak dalam pemikiran bahwa masa lalu selalu lebih baik tanpa mau membuka mata pada realita masa depan. Pemikiran seperti ini ibarat menolak melihat matahari di pagi hari hanya karena merindukan cahaya senja. Lalu kita pun terperangkap dalam kebingungan, terlambat menyadari dan akhirnya hanya bisa menyesal. Persis seperti kisah Nabi Adam yang menyesal setelah terusir dari surga. Sebuah penyesalan yang datang terlambat.

Kita tidak ingin mewariskan tanah air yang porak-poranda kepada anak cucu. Kita tidak ingin menjadi generasi yang hanya bisa mengeluh tanpa memberi solusi. Tugas kita adalah menjaga negeri ini dengan penuh kesadaran, merawatnya dengan kebijaksanaan dan mengarungi dengan kecerdasan.

Jangan sampai kebebasan justru menjerumuskan kita ke dalam jurang kehancuran. Kini saatnya untuk belajar, membaca fenomena serta memahami zaman agar kita tidak menjadi korban dari kebebasan yang kita elu-elukan sendiri.

Rokimdakas
Wartawan & Penulis
23 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *