Pers Indonesia: Dari Kemerdekaan Menuju Kekacauan

waktu baca 5 menit
Dhimam Abror dan istri, mewakili IKWI (Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia) Jatim, di acara HPN 2025 Pekanbaru, Riau ()

Seperempat abad silam kebebasan pers di Indonesia adalah cita-cita suci yang diperjuangkan dengan darah dan air mata. Reformasi 1998 membuka ruang bagi media untuk tumbuh subur tanpa campur tangan negara. Tetapi, kebebasan tanpa kontrol melahirkan ironi! Media berkembang pesat namun kualitas jurnalisme merosot tajam. Hari ini masyarakat pers tengah menuai hukum karma dari kebijakan yang mereka dukung sendiri.

Sebuah ironi pahit terungkap dalam data. Dewan Pers mencatat ada lebih dari 60.000 media massa di Indonesia, tetapi hanya 1.500 yang terverifikasi. Berarti lebih dari 97% media yang beroperasi tanpa standar jelas. Bukan hanya soal legalitas tetapi juga tentang akuntabilitas. Berapa banyak media yang tidak memiliki redaksi yang jelas? Berapa banyak wartawan yang tak paham kode etik? Realitanya amat sangat buram.

Dr. Dhimam Abror Djuraid, Dewan Pakar PWI Pusat, pernah mengungkapkan sindiran tajam: “Lebih sulit mendirikan usaha tempe dibanding mendirikan media.” Betapa mirisnya ketika industri yang seharusnya menjadi benteng informasi malah menjadi sarang informasi sampah dan jurnalisme abal-abal. Maka yang mengherankan apabila fenomena media virtual yang ada sekarang sebagian besar merupakan sampah peradaban.

MACAN KERTAS
Sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjaga marwah pers, Dewan Pers justru terjebak dalam kelemahan sistemik. Sejak menjadi lembaga independen melalui UU No. 40 Tahun 1999, lembaga ini kehilangan kewenangan untuk mengontrol media secara efektif.

Apa yang bisa dilakukan Dewan Pers hanya sebatas menjaga kode etik, menyelesaikan sengketa pers, dan mengeluarkan sertifikasi wartawan.

Hanya saja realita atas semua itu tak cukup untuk menertibkan kekacauan pers. Dewan Pers hanya bisa mengeluarkan teguran tetapi tidak bisa menutup media yang melanggar kode etik. Keberadaannya tak ubahnya macan kertas tak bertaring. Hanya bisa mengkritik tetapi tak bisa menghukum. Bisa mengeluarkan sertifikasi tetapi tak bisa memastikan kualitasnya.

Lebih parah lagi, uji kompetensi wartawan (UKW) yang digelar kini justru menjadi bisnis tersendiri. Banyak wartawan yang lolos UKW tanpa kemampuan memadai, sekadar karena memiliki dana untuk mengikuti ujian. Hasilnya? Wartawan dengan sertifikasi resmi tetapi kualitasnya rendah. Kondisi ini justru makin memperburuk citra pers.

MEDIA SAKIT
Dewan Pers hanya salah satu dari banyak masalah dalam dunia jurnalisme kita. Masalah terbesarnya ada pada media sendiri.

Kondisi ini telah menciptakan ekosistem media yang sakit. Sebagian besar media tidak menggaji wartawannya. Kemudian membiarkan mereka mencari penghasilan sendiri dari “kerja sama liputan berbayar” atau bahkan pemerasan.

Jurnalisme clickbait mendominasi dengan berita bombastis yang tidak berbasis fakta tetapi hanya mengejar sensasi. Hilangnya fungsi kontrol sosial karena media lebih sibuk menjadi corong kepentingan kelompok tertentu daripada menyuarakan kebenaran.

Di tengah kegaduhan ini, wartawan bodrek semakin merajalela. Mereka bukan lagi pencari berita tetapi pencari keuntungan. Dengan bermodal kartu pers dan kamera ponsel, mereka menjelma menjadi “preman berjubah pers” yang lebih sering menekan ketimbang melaporkan.

Di lapangan, banyak pejabat yang mengeluh atas keberadaan wartawan-wartawan tanpa media jelas yang datang dengan ancaman tersirat. “Kami punya informasi negatif tentang Anda, tapi bisa kita selesaikan secara baik-baik.” Praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umum tetapi dibiarkan begitu saja.

Pekanbaru, Riau, 8 Februari 3025. Dalam sesi diskusi pada Sarasehan Nasional Hari Pers Nasional, Dr. Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat dan Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat, berbicara tentang pentingnya preservasi atau menjaga kelestarian jurnalisme untuk memperkuat demokrasi di era digital.

Dhimam menyatakan bahwa ruang digital memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk lebih aktif dalam berpartisipasi dalam proses demokrasi, tetapi juga menuntut media untuk tetap independen, akuntabel, dan beragam dalam pemberitaan.

Dhimam menerangkan, preservasi jurnalisme bukan hanya tentang mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme tradisional, tetapi juga bagaimana media beradaptasi dengan dunia digital untuk menyuarakan kebenaran.

BENANG KUSUT
Dialog jurnalistik tak ubahnya mengurai benang kusut. Menyalahkan kondisi ini tanpa solusi hanya akan membuat masalah semakin akut. Jika pers ingin kembali ke jalurnya, reformasi harus segera dilakukan.

Diantaranya melakukan regulasi ketat dalam pendirian media. Saat ini, siapa saja bisa mendirikan media dengan mudah. Kita memerlukan regulasi baru yang menetapkan standar lebih ketat termasuk transparansi manajemen dan struktur organisasi yang jelas.

Penguatan peran Dewan Pers, lembaga ini harus diberi wewenang lebih dari sekadar penjaga rambu. Tapi harus bisa menutup media yang tidak memenuhi standar, bukan cuma sekadar mengeluarkan imbauan.

Uji kompetensi harus dikembalikan ke esensi awalnya, yakni memastikan wartawan benar-benar kompeten. Prosesnya harus lebih transparan dan berbasis meritokrasi – mrmberikan penghargaan pada yang berprestasi – bukan sekadar bayar membayar.

Perlu mekanisme pengawasan media digital. Perkembangan media digital adalah realitas yang tak bisa dihindari. Tapi harus ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat, seperti sertifikasi bagi media online agar tidak semua orang bisa seenaknya menyebarkan informasi tanpa tanggung jawab.

Media yang sehat membutuhkan model bisnis yang berkelanjutan. Jika media terus mengandalkan “liputan berbayar” atau iklan tanpa integritas, jurnalisme akan terpuruk.

SELAMATKAN PERS
Suasana Februari terasa sesak dengan ucapan “Selamat Hari Pers Nasional.” Tetapi apa yang sebenarnya kita rayakan? Pers yang sakit juga wartawan yang tak berintegritas?

Jika masyarakat pers tidak memiliki keberanian mengubah perubahan, jangan kaget jika publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap media. Jurnalisme yang seharusnya menjadi pilar demokrasi bisa berubah menjadi alat penghancur.

Sekaranglah waktunya bagi pers untuk melakukan refleksi total. Apakah kita ingin tetap menjadi penjaga kebenaran atau justru menjadi bagian dari pengacau informasi?

Jika kita tidak segera bertindak maka sejarah akan mencatat bahwa, pers Indonesia pernah berjaya tapi kemudian hancur akibat ulahnya sendiri.

Oleh : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
10 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *