Muslimat NU dan Peran Strategis Perempuan dalam Ketahanan Bangsa
Kongres ke-18 Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada 10 Februari 2025 menegaskan bahwa perempuan, khususnya para ibu, adalah pilar utama dalam membangun peradaban dan ketahanan bangsa.
Muslimat NU tidak sekadar menjadi wadah spiritual, tetapi juga kekuatan sosial yang melahirkan solusi nyata bagi tantangan masyarakat, mulai dari lingkungan, kemiskinan ekstrem, hingga kesehatan.
Presiden Prabowo Subianto, yang membuka kongres ini, menyoroti peran penting Muslimat NU dalam menjaga keseimbangan sosial.
Program Mustika Darling (Muslimat Cantik Sadar Lingkungan), Mustika Mesem (Muslimat Cantik Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem), dan Mustika Segar (Muslimat Cantik Sehat dan Bugar) membuktikan bahwa perempuan bukan sekadar pendamping dalam pembangunan, tetapi aktor utama yang memastikan kesinambungan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Pemikiran tentang peran perempuan dalam ketahanan negara bukanlah sesuatu yang baru. Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris, pernah menyatakan:
“Any woman who understands the problems of running a home will be nearer to understanding the problems of running a country.”
( “Setiap perempuan yang memahami masalah dalam mengelola rumah tangga akan lebih dekat dalam memahami masalah dalam mengelola sebuah negara.”)
Thatcher menekankan bahwa perempuan memiliki kepekaan sosial yang tinggi dalam mengelola sumber daya dan menyelesaikan masalah, baik dalam lingkup keluarga maupun negara.
Pemikiran ini sangat relevan dengan peran Muslimat NU, yang mengelola program-program berbasis komunitas dengan efektif dan efisien.
Sementara itu, dari dalam negeri, RA Kartini pelopor emansipasi perempuan Indonesia mengajarkan bahwa pendidikan dan pemberdayaan perempuan adalah kunci untuk kemajuan bangsa.
Dalam surat-suratnya yang dikumpulkan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menulis:
“Perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi yang kuat, berkarakter, dan berdaya saing.”
Pernyataan ini sejalan dengan pesan Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, yang dalam kongres ini menegaskan bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Jika ibu memiliki wawasan luas dan kepedulian tinggi, maka generasi mendatang akan tumbuh menjadi individu yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan global.
Presiden Prabowo dalam pidatonya juga menekankan pentingnya efisiensi dalam pemerintahan.
Ini menjadi pesan penting dalam konteks pengelolaan anggaran dan program sosial yang harus benar-benar memberi manfaat bagi rakyat.
Selain itu, humornya tentang “TNU” (Tentara Nahdlatul Ulama) yang jumlahnya melebihi Panglima TNI Jenderal Agus Subianto mencerminkan bagaimana pemimpin negara dapat membangun hubungan yang hangat dan akrab dengan masyarakat.
Kongres ini menegaskan bahwa Muslimat NU bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan yang aktif dalam pembangunan.
Dengan program-program konkret yang mereka jalankan, Muslimat NU tidak hanya merawat warisan keislaman, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Di tengah ketidakpastian global dan tantangan domestik, perempuan tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai pendamping—mereka adalah pemimpin yang membentuk masa depan.
Seperti yang ditunjukkan Muslimat NU, kekuatan perempuan bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam aksi nyata yang membawa dampak bagi Indonesia yang lebih kuat dan berdaya.
Oleh Bambang Eko Mei
