Imlek dan PSN
Beberapa hari menjelang Imlek perayaan Tahun Baru China ini semarak perayaan Imlek tampak di banyak sudut kota ditandai dengan lampion2 berwarna merah bertuliskan Gong Xi Fat Choi. Ini terjadi hampir setiap tahun. Sebagai ‘udeg2’ seorang perempuan Tionghoa yg dipanggil Mbah Nyonya di Klaten di zaman perang Diponegoro, saya teringat satu peristiwa saat diundang makan malam bersama merayakan Imlek oleh rekan dagang almarhum ayah saya di Semarang saat saya masih SMA. Siangnya hari itu terjadi tawuran antara anak2 STM Pembangunan dan anak2 SMA Karangturi. Salah satu anak perempuan rekan ayah saya itu berseloroh “Gandung tadi ikut memeriahkan tawuran itu, ya ?”. Saya hanya bisa tersenyum kecut.
Darah Tionghoa Saya menurun ke anak laki2 saya, Luqman yg dikalangan teman2nya sering dipanggil Koko. Demikian juga sapaan para penjaga toko saat kami jalan2 di pertokoan. Bukti bahwa saya juga punya darah India ada pada anak perempuan saya, Fathimah. Sedangkan cucu saya Geca benar2 full-blown chinese looking dengan wajah khas Tionghoa.
Sebagai muslim yg dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah di Klaten, lalu di Semarang, saya dibesarkan di lingkungan yg relatif heterogen, baik bertetangga dengan kekuarga Tionghoa ataupun Arab. Saya kira Islam berperan besar dalam cara pandang kami melihat keragaman etnis ini. Menjadi orang Jawa, Madura, Batak, Arab atau Cina bukanlah keputusan kita. Asal usul ini tidak perlu dibangga-banggakan, juga jangan jadi kutukan. Asal usul primordial kita ini seperti panah yg ditembakkan ke kita tanpa bisa kita tolak. Islam adalah sebuah ajaran yg melampaui sukuisme. Ini juga menjelaskan mengapa bangsa Indonesia sebagai imajinasi bisa diterima oleh ratusan suku yg berbeda namun memeluk Islam di Indonesia.
Prasangka buruk terhadap etnis Tionghoa di Indonesia adalah hasil dari kombinasi sejarah panjang, politik, dan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks. Perkampungan Tionghoa sudah ada sebelum era Majapahit dan Demak Islam di Trowulan dan Pantura. Pada masa penjajahan Belanda, etnis Tionghoa sering diberi peran sebagai pedagang, perantara ekonomi, atau pemungut pajak, sementara pribumi dijadikan pekerja atau petani. Sistem ini menciptakan stratifikasi sosial yang memperdalam kesenjangan dan melahirkan kecemburuan. Politik divide et impera juga sengaja memecah belah hubungan antara kelompok etnis untuk mempertahankan kekuasaan kolonial.
Banyak etnis Tionghoa yang terlibat dalam sektor perdagangan dan bisnis, yang membuat mereka terlihat lebih sejahtera dibandingkan sebagian besar pribumi. Hal ini memperkuat stereotip bahwa mereka menguasai ekonomi, meskipun tidak semua etnis Tionghoa kaya. Ketimpangan ini kerap digunakan oleh pihak tertentu untuk menyebarkan narasi negatif.
Pada era Orde Baru, kebijakan asimilasi dipaksakan, termasuk pelarangan budaya Tionghoa secara terbuka. Hal ini membuat etnis Tionghoa terlihat eksklusif karena dipaksa menyembunyikan identitas budayanya. Di sisi lain, narasi bahwa etnis Tionghoa bukan “pribumi sejati” sering digunakan oleh pemerintah untuk mengalihkan isu ekonomi-sosial-politik. Oleh Presiden Gus Dur, stigma negatif kelompok etnis Tionghoa ini dikurangi.
Dalam sejarah Indonesia, seperti kerusuhan 1998, isu-isu terkait etnis Tionghoa sering dieksploitasi untuk memicu sentimen massa. Propaganda yang menyalahkan etnis tertentu menjadi alat politik untuk mencari kambing hitam. Media massa atau konten tidak bertanggung jawab kadang memperkuat stigma ini. Keterbatasan ksempatan untuk berinteraksi langsung dan pendidikan lintas budaya menciptakan jarak emosional. Ketidaktahuan sering kali melahirkan prasangka dan stereotip.
Hal ini bisa diatasi dengan pendidikan yang mengajarkan sejarah multikultural Indonesia secara objektif untuk menghilangkan stigma. Juga perku dilakukan dialog antar-budaya untuk memperbanyak ruang diskusi antara komunitas untuk memahami satu sama lain. Juga perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi pribumi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi agar tidak menjadi pemicu konflik. Kemudian juga perlu hukum yang tegas dengan menindak ujaran kebencian atau diskriminasi berbasis etnis.
Prasangka buruk ini sebagian juga disebabkan propaganda Barat selama perang dingin yang memosisikan RRC sebagai bahaya kuning dari Utara. Meski prasangka ini masih ada, banyak juga masyarakat yang semakin terbuka dan inklusif terhadap keragaman etnis, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini menunjukkan potensi perubahan positif ke depan. Ini perlu difasilitasi dengan cara mengurangi penggunaan mobil dan motor ke sekolah yg semakin menjadi alat segregasi sosial baru. Kota2 besar perlu menyediakan lebih banyak bus2 sekolah di mana pelajar dari berbagai latar belakang agama dan etnis bisa ngobrol di bus2 sekolah itu.
UUD2002 yg sangat liberal kapitalistik telah menyebabkan pemusatan sumberdaya ekonomi dan politik ke segelintir elite parpol dan pengusaha keturunan. Dibesarkan semula oleh Soeharto sebagai ersatz capitalists, kelompok2 pengusaha keturunan ini telah berkembang menjadi full-fledged capitalists yg mendominasi ekonomi nasional, terutama melalui penguasaan lahan yg tidak masuk akal. Perkembangan ini adalah perkembangan yg berbahaya. Proyek2 Strategis Nasional yg marak di era Jokowi kini banyak dinilai sebagai bagian dari perluasan sekaligus pendalaman dominasi para pengusaha keturunan dalam perekonomian nasional. Kita jelas membutuhkan investasi besar untuk tumbuh, namun kita berharap investasi itu tidak memperparah kesenjangan, tapi justru menguranginya.
Kini Indonesia sudah menjadi anggota BRICS yg dimotori RRC. Indonesia yg pada saatnya bakal memimpin ASEAN tidak boleh melakukan kesalahan stratejik seperti yg dilakukan Uni Eropa : memusuhi tetangga dekatnya sendiri Rusia demi menyenangkan tetangga jauhnya AS. Lebih baik kita meningkatkan kapasitas nasional untuk berkolaborasi setara dengan RRC, agar tidak menjadi satelitnya belaka. Oleh karena itu banyak PSN yg semula sangat teknokratik dan top-down dengan bias politik tinggi harus direkonstruksi agar menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui proses2 bottom-up yg inklusif untuk memastikan bahwa no one is left behind. Saya harap perayaan Imlek tahun 2025 mencerminkan semangat baru ini.
Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College AgroTren Wonosalam
● Wonosalam 600 mdpl, Jombang. 26 Januari 2025.
