Gugatan UU Pilkada: Kotak Kosong Jadi Sorotan, Parpol Dituduh Tak Mewakili Rakyat

waktu baca 3 menit

JAKARTA-KEMPALAN:
Di tengah kontroversi terkait Undang-Undang Pilkada, muncul dua isu penting yang memicu perdebatan publik. Pertama, pertanyaan tentang sejauh mana partai politik (parpol) mewakili kepentingan rakyat, dan kedua, dorongan untuk memasukkan opsi kotak kosong dalam setiap pemilihan kepala daerah.

Saat ini, sejumlah pihak menggugat UU Pilkada yang dianggap tidak memberikan ruang yang cukup untuk kotak kosong sebagai opsi dalam pemilihan. Para pemohon menginginkan agar setiap daerah memiliki opsi kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah, sebagai bentuk alternatif bagi pemilih yang tidak puas dengan calon yang ada.

Bukan saja penggugat, masyarakat luas juga berpendapat bahwa tanpa adanya opsi kotak kosong, pemilih terpaksa memilih antara calon yang ada, meskipun mereka merasa tidak ada calon yang memenuhi kriteria mereka. Dengan adanya kotak kosong, mereka berharap dapat memberikan sinyal kepada partai politik dan calon-calon bahwa ada ketidakpuasan di kalangan pemilih yang harus diperhatikan.

Di sisi lain, perdebatan juga mencakup sejauh mana parpol benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Beberapa kalangan menilai bahwa keberadaan parpol dalam sistem politik sering kali lebih mengutamakan kepentingan internal dan ambisi politik dibandingkan dengan aspirasi rakyat yang mereka wakili. Hal ini memicu seruan untuk reformasi dalam sistem politik, termasuk dalam proses pemilihan umum.

Gerakan dukung kotak kosong semakin menguat, dengan banyak kalangan masyarakat dan organisasi yang menyuarakan pentingnya opsi ini sebagai bentuk demokrasi yang lebih inklusif dan responsif. Mereka berpendapat bahwa dengan adanya kotak kosong, masyarakat dapat lebih aktif dalam mengekspresikan ketidakpuasan dan mendorong perbaikan dalam sistem politik.

UU Pilkada digugat

Ada tiga orang pemohon yang meminta agar terdapat opsi kotak kosong dalam kertas suara di semua daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2024, dan menghitungnya sebagai suara sah.
Ketiga orang yang mengajukan gugatan antara lain :
Heriyanto, S.H.,M.H (Pemohon I), Ramdansyah, S.H., M.H (Pemohon II), dan Raziv Barokah, S.H., M.H (Pemohon III).

Gugatan tersebut sudah tercatat dalam sistem pengajuan permohonan pengujian UU di MK :
UU Pilkada (5/9/24) jam 14:50 
No AP3: 120/PUU/PAN.MK/AP3/09/2024
Pokok Perkara :
Permohonan Pengujian Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Saat ini, gugatan terhadap UU Pilkada sudah berjalan dan gerakan dukung kotak kosong menjadi sorotan utama dalam diskusi nasional. Bagaimana langkah selanjutnya akan sangat bergantung pada respons dari pemerintah dan legislatif terhadap tuntutan ini. (Izzat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *