Keputusan MK soal UU Pilkada, Menguatkan Demokrasi dengan Pendekatan Pragmatis

waktu baca 4 menit

Oleh: Sultoni Fikri (Peneliti di Nusantara Center for Social Research)

KEMPALAN – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengenai Undang-Undang Pilkada (UU Pilkada) adalah contoh nyata bagaimana prinsip pragmatis dalam penegakan hukum dapat mempengaruhi dan memperbaiki sistem demokrasi kita. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, dan menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada adalah inkonstitusional. Keputusan ini bukan hanya merupakan langkah penting dalam penegakan hukum, tetapi juga mencerminkan pendekatan pragmatis yang sejalan dengan pandangan Oliver Wendell Holmes Jr. tentang penerapan hukum.

Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada sebelumnya menetapkan bahwa hanya partai politik yang memiliki kursi di DPRD yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Ketentuan ini telah menuai kritik karena dianggap membatasi partisipasi politik dan tidak mencerminkan prinsip demokrasi yang sehat. MK memutuskan bahwa pasal ini bertentangan dengan konstitusi dan dapat mengancam kesehatan demokrasi di Indonesia.

Hakim MK Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa norma dalam pasal tersebut telah kehilangan relevansi dan harus dihapus agar proses demokrasi tetap sehat dan adil. Jika merujuk pada pandangan pragmatis Oliver Wendell Holmes Jr. mengajukan bahwa hukum harus dipahami dan diterapkan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik di mana hukum tersebut berlaku. Menurut Holmes, penegakan hukum tidak dapat dipahami hanya melalui teks hukum yang tertulis. Sebaliknya, hakim dan pengacara harus mempertimbangkan konteks yang mempengaruhi penerapan dan interpretasi hukum. Keputusan MK untuk mencabut Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada mencerminkan pemahaman ini dengan menilai dampak praktis dari ketentuan tersebut terhadap partisipasi politik dan proses demokrasi.

“Saya berpendapat bahwa hakim MK tidak hanya bergantung pada teori hukum abstrak, tetapi menilai konsekuensi praktis dari keputusan mereka. Artinya, mempertimbangkan bagaimana ketentuan yang membatasi akses pencalonan dapat memperburuk situasi demokrasi dan menghambat partisipasi berbagai partai politik. Dengan mencabut pasal tersebut, MK telah mengambil langkah pragmatis yang penting untuk memastikan sistem pemilihan kepala daerah menjadi lebih terbuka, serta memberikan kesempatan yang lebih adil bagi berbagai partai politik untuk berpartisipasi,” kata Sultoni Fikri, dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan peneliti di Nusantara Center for Social Research.

Selain itu, MK mengubah Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada untuk menyesuaikan persyaratan pencalonan berdasarkan jumlah suara sah yang diperoleh di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Perubahan ini menunjukkan bagaimana hukum dapat diterapkan secara lebih fleksibel dan relevan dengan kondisi nyata di lapangan. Sebagai contoh, persyaratan pencalonan yang disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi atau kabupaten/kota memungkinkan partai politik dari berbagai ukuran untuk mengajukan calon, menghindari ketentuan yang terlalu ketat yang dapat membatasi partisipasi.

Pendekatan pragmatis ini menempatkan perhatian pada dampak nyata dari penerapan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempertimbangkan bagaimana hukum akan mempengaruhi kehidupan masyarakat serta struktur sosial, ekonomi, dan politik secara lebih luas, MK menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip pragmatisme seperti yang diusulkan oleh Oliver Wendell Holmes Jr. Keputusan MK untuk mencabut pasal yang dianggap tidak konstitusional bukan hanya sekadar tindakan formal, melainkan langkah yang menunjukkan kepedulian terhadap efektivitas hukum dalam dunia nyata.

“Keputusan MK ini bukan hanya soal mencabut pasal yang tidak konstitusional, tetapi juga tentang memastikan bahwa hukum benar-benar berfungsi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya menjaga agar sistem hukum tetap relevan dan dapat diandalkan dalam menghadapi dinamika sosial dan politik, sehingga hukum benar-benar dapat melayani kepentingan umum,” ujar Sultoni Fikri.

Keputusan MK ini menggarisbawahi pentingnya memahami konteks sosial, ekonomi, dan politik dalam penegakan hukum. Seperti yang disarankan oleh Oliver Wendell Holmes Jr., hakim perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang konteks di luar hukum itu sendiri. Dalam hal ini, MK mempertimbangkan bagaimana ketentuan yang membatasi akses pencalonan dapat mempengaruhi partisipasi politik dan kualitas demokrasi. Dengan demikian, keputusan ini mencerminkan pemahaman bahwa hukum harus berfungsi dalam konteks politik yang lebih luas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Keputusan MK mengenai UU Pilkada adalah contoh konkret bagaimana prinsip pragmatis dalam penegakan hukum dapat memperbaiki sistem demokrasi dan memastikan bahwa hukum diterapkan secara efektif dan relevan. Dengan mencabut pasal yang dianggap inkonstitusional dan mengubah ketentuan pencalonan, MK menunjukkan bahwa hukum harus dipahami dan diterapkan dengan mempertimbangkan konteks politik dan praktis. Ini adalah langkah penting menuju sistem politik yang lebih demokratis, di mana partisipasi politik lebih terbuka dan adil bagi semua pihak. Keputusan ini adalah cerminan dari prinsip pragmatisme yang mengarahkan perhatian pada bagaimana hukum dapat berfungsi secara efektif dalam konteks dunia nyata dan memberikan hasil yang bermanfaat bagi masyarakat.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *