Rayakan Hari Kedaulatan Indonesia Melalui Gerakan Kewajaran di Jawa Timur
SURABAYA-KEMPALAN: Bertepatan dengan Hari Kedaulatan Republik Indonesia, Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) menggelar Gerakan Kewajaran di Jawa Timur. Gerakan ini pertama kali digelar di Indonesia, dan diikuti sekitar 50 peserta dari berbagai daerah di Jawa Timur.
”Hari ini adalah hari penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia, 27 Desember 1949, 74 tahun lalu. Kita perlu mengingatnya melalui aksi gerakan kewajaran yang pertama kali di Indonesia,” ungkap Ketua SKI Jawa Timur, Thayyib Kartawi, Rabu (27/12) di Waroeng Joglo Merah Putih, Surabaya.
Ditegaskan, pihaknya menuntut kewajaran kepada penyelenggara daerah, misalnya kewajaran dalam layanan pendidikan dan kesehatan. ”Warga harus berdaulat memperoleh pendidikan yang baik. Ini soal kedaulatan diri sekaligus soal kewajaran,” tandas Thayyib.
Hadir sebagai narasumber acara, akademisi dari Universitas Trunojoyo Khairul Rosyadi, pengusaha Harsoyo dan akademisi Universitas Pajajaran Bandung AK Supriyanto. ”Kegiatan aksi penyadaran pentingnya kewajaran ini memang baru pertama kali digelar di Indonesia, ya di sini, di Surabaya,” tegas Supriyanto.
Menurut Supriyanto, selama ini berbagai tindak ketidakwajaran seperti pembiaran mahalnya harga kebutuhan pokok, pada akhirnya berdampak pada keseharian warga. Harga-harga jadi tak terkendali dan warga tak bisa berbuat apa-apa.
”Ketidakwajaran semacam itu dianggap lumrah, makanya kami meluncurkan gerakan ini. Tujuannya mengajak warga peduli sekaligus tahu cara mengembalikan kewajaran. Kami akan terus mengajak warga serta komunitas,” paparnya.
Beberapa peserta yang hadir di antaranya, tokoh Syarikat Islam (SI) Jawa Timur, Mashuri. Terlihat pula tokoh dunia pendidikan Jawa Timur Isa Anshori, dan juga aktivis organisasi kemasyarakatan asal Jombang, Qomaruddin.
Bagi Isa Anshori, gerakan kewajaran terkait pada tradisi atau kebiasaan. ”Sudah lama ketidakwajaran itu terjadi di daerah-daerah, jadi semestinya gerakan kewajaran harus juga memperhatikan cara-cara tradisi atau kebiasaan warga,” tegas pria yang juga aktivis lingkungan ini.*
